Ketika Kucing Meminta, Tikus Malah Mencuri

Lukisan tentang Kucing dan Tikus. (Cat Digital Art - Cat And Mouse by Karen Alsop/Foto: Fine Art America)
Lukisan tentang Kucing dan Tikus. (Cat Digital Art – Cat And Mouse by Karen Alsop/Foto: Fine Art America)

Puisi Rahmat Akbar

 

PECAH MENJADI HIDUP

 

Seorang wanita menenteng perutnya

Membuncit, menendang-nendang, meraba-raba

Di sekujur tubuhnya nampak lebam

Mulai dari muka sampai ujung kakinya.

 

“Sudah sembilan bulan. Nak, kau bersarang di tubuhku. Ucap wanita itu.”

Kelak kau akan lihat dunia dimana ada aku dan ayahmu

Kemudian dipegangnya, sambil membacakan surah Tuhan.

 

Tepat pukul lima subuh

Dia keluar dari lorong kecil yang kemudian membesar

Tampak kepala dan batang hidungnya

Ada pecah menjadi hidup

Disambut suara azan yang merdu.

 

Kotabaru, 2018

 

 

KETIKA KUCING MEMINTA, TIKUS MALAH MENCURI

 

Kucing pergi ke kolong jembatan

Memunguti nasi yang ada di jalanan

Lalu membawanya pulang untuk anak-anaknya

Kemudian menyantap bersama.

 

Ketika kucing meminta hak dan kewajibannya

Agar bisa terpenuhi, malah yang didapat hanya berita duka

Tak usah bersuara lapar, apabila tidak ingin dilempar

Ke ruangan besi yang dijaga antek-antek tikus.

 

Kucing pun berkumpul

Dari kucing desa hinga kucing kota

Membawa spanduk bertuliskan hancurkan kebijakan

Yang merugikan kami semata.

Bukannya hak yang didapat

Malah gas air mata yang disemprotkan ke muka

Ah, sungguh biadab meraka.

 

Sementara tikus malah enak berdiri

Beorasi-bahkan bikin hukum sendiri

Padahal mereka kerja hanya duduk di kursi

Sambil menikmati kopi dan ekstasi

Kemudian mabuk dalam dunia mencuri.

 

Tikus itu kemudian lari terbirit-birit

Katanya ingin sembelit, padahal sebenarnya dalam keadaan sulit

Ketika ada kucing mengacungkan sebuah celurit

Celurit yang di dalamnya penuh dengan rahasia kaum elit

Hingga bersembunyi di balik parasit.

 

Koatabru, 2018

 

 

TAMAN SASTRA

 

Nak, tulislah puisimu

di taman ini

rangkailah kata

di kedalaman laut

di ketinggian gunung

di keluasan hutan

di relung-relung jiwa merekah

dari lubuk hati-telah tertanam kata

melebur bersama makna tentang kotamu-kini kian indah

serupa taman sastra, kita bangun bersama

telah tertanam ikatan rasa

bahwa kita pernah hidup disuatu massa.

 

Nak, tulislah apa yang kau bisa

berkutatlah dengan kata

menarilah di atas kertas-tulislah dengan pena

hingga terukir makna yang dibaca melalui suara

bahwa kita telah sampai pada suatu peristiwa

peritiwa yang abadi dalam suatu pengalaman semata.

 

Nak, siramilah taman ini dengan kata

hingga tumbuh rasa

hingga bergetar jiwa

hingga kita nanti tiada

yang harus diingat, bahwa kita pernah duduk bersama.

 

Kotabaru, Oktober 2018

 

Rahmat Akbar, lahir di Kotabaru, Kalimantan Selatan, 04 Juli 1993. Puisinya pernah menggisi beberapa media massa seperti Kabapesisir, Radar Banyuwangi, Koran Dinamikanews, Analisa Medan, Malang Post, Magelang Ekspres, Flores Sastra, Koran Merapi, Tribun Bali, Media Kalimantan dan sejumlah antologi bersama. Sekarang bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMA Garuda Kotabaru dan pendiri sekaligus pembina bagi siswanya di komunitas Taman Sastra SMA Garuda Kotabaru. Akbar bisa disapa melaluiemail Rahmatakbar464@gmail.com, fb: Kai.akbar

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com

Exit mobile version