Puisi Rahmat Akbar
PECAH MENJADI HIDUP
Seorang wanita menenteng perutnya
Membuncit, menendang-nendang, meraba-raba
Di sekujur tubuhnya nampak lebam
Mulai dari muka sampai ujung kakinya.
“Sudah sembilan bulan. Nak, kau bersarang di tubuhku. Ucap wanita itu.”
Kelak kau akan lihat dunia dimana ada aku dan ayahmu
Kemudian dipegangnya, sambil membacakan surah Tuhan.
Tepat pukul lima subuh
Dia keluar dari lorong kecil yang kemudian membesar
Tampak kepala dan batang hidungnya
Ada pecah menjadi hidup
Disambut suara azan yang merdu.
Kotabaru, 2018
KETIKA KUCING MEMINTA, TIKUS MALAH MENCURI
Kucing pergi ke kolong jembatan
Memunguti nasi yang ada di jalanan
Lalu membawanya pulang untuk anak-anaknya
Kemudian menyantap bersama.
Ketika kucing meminta hak dan kewajibannya
Agar bisa terpenuhi, malah yang didapat hanya berita duka
Tak usah bersuara lapar, apabila tidak ingin dilempar
Ke ruangan besi yang dijaga antek-antek tikus.
Kucing pun berkumpul
Dari kucing desa hinga kucing kota
Membawa spanduk bertuliskan hancurkan kebijakan
Yang merugikan kami semata.
Bukannya hak yang didapat
Malah gas air mata yang disemprotkan ke muka
Ah, sungguh biadab meraka.
Sementara tikus malah enak berdiri
Beorasi-bahkan bikin hukum sendiri
Padahal mereka kerja hanya duduk di kursi
Sambil menikmati kopi dan ekstasi
Kemudian mabuk dalam dunia mencuri.
Tikus itu kemudian lari terbirit-birit
Katanya ingin sembelit, padahal sebenarnya dalam keadaan sulit
Ketika ada kucing mengacungkan sebuah celurit
Celurit yang di dalamnya penuh dengan rahasia kaum elit
Hingga bersembunyi di balik parasit.
Koatabru, 2018
TAMAN SASTRA
Nak, tulislah puisimu
di taman ini
rangkailah kata
di kedalaman laut
di ketinggian gunung
di keluasan hutan
di relung-relung jiwa merekah
dari lubuk hati-telah tertanam kata
melebur bersama makna tentang kotamu-kini kian indah
serupa taman sastra, kita bangun bersama
telah tertanam ikatan rasa
bahwa kita pernah hidup disuatu massa.
Nak, tulislah apa yang kau bisa
berkutatlah dengan kata
menarilah di atas kertas-tulislah dengan pena
hingga terukir makna yang dibaca melalui suara
bahwa kita telah sampai pada suatu peristiwa
peritiwa yang abadi dalam suatu pengalaman semata.
Nak, siramilah taman ini dengan kata
hingga tumbuh rasa
hingga bergetar jiwa
hingga kita nanti tiada
yang harus diingat, bahwa kita pernah duduk bersama.
Kotabaru, Oktober 2018
Rahmat Akbar, lahir di Kotabaru, Kalimantan Selatan, 04 Juli 1993. Puisinya pernah menggisi beberapa media massa seperti Kabapesisir, Radar Banyuwangi, Koran Dinamikanews, Analisa Medan, Malang Post, Magelang Ekspres, Flores Sastra, Koran Merapi, Tribun Bali, Media Kalimantan dan sejumlah antologi bersama. Sekarang bekerja sebagai Guru Bahasa Indonesia di SMA Garuda Kotabaru dan pendiri sekaligus pembina bagi siswanya di komunitas Taman Sastra SMA Garuda Kotabaru. Akbar bisa disapa melaluiemail Rahmatakbar464@gmail.com, fb: Kai.akbar
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com