BILA BURUNG SURIK HINGGAP DI BUBUNGAN RUMAHMU SUATU MALAM
bila burung surik hinggap di bubungan rumahmu
suatu malam. janganlah berlagak paham
makna nyanyiannya yang tak merdu itu.
tapi bagaimana mungkin kau bisa menafsirkannya seperti sajak
menduga-duga maknanya berkabar tentang kematian
yang membuat siapa saja di dalam rumahmu akan menduga
si sakit di ranjang itu segera didatangi mautnya
surik itu sesungguhnya sekadar hinggap di bubungan rumah
terbang di gelap malam, suaranya yang tak merdu
adalah isyarat bagi kekasihnya yang pergi terlalu lama
semacam peta atau petunjuk arah agar kembali padanya
tapi tafsirmu sudah keterlaluan, terlalu jauh menerawang,
mengaburkan aturan. dan orang-orang yang menunggu si sakit
dengan mata berair melingkar di ranjang, menduga-duga
kapan kematian akan datang dan bila mana kematian tiba.
SEBATANG LILIN
engkau sebatang lilin di dalam rumahku,
nyala tubuhmu mengajari cara bertahan dalam gelap
yang samar-samar. dengan pendar api
yang tak mampu menerangi sudut-sudut
paling remang dan misteri
nyalamu pun tak bisa dipakai menghangatkan
ruang-ruang yang dihantam angin
dingin memaksa kami melingkar
salaing merapatkan
tapi, ternyata, cepat sungguh api melelehkan tubuhmu
menghanguskan sumbu. sedang malam
masih pekat, masih panjang waktu
sebelum pagi merapat.
siapa lagi yang akan mengajari kami cara bertahan
dalam gelap, tanpa cahaya.
sedang di luar sana, malam telah penuh dengan bayangan
serupa ruh yang bergentayangan
kami akan segera lenyap, menyusulmu
sebab tabiat gelap selalu punya tangan
senantiasa ingin memeluk dan mendekap,
dan kami tak tahan bau tubuhnya
yang menguras segar udara.
KAU AKAN AKU LUPAKAN
kau akan aku lupakan
sekalipun tak mudah
selamanya.
aku segera pergi,
meninggalkanmu
begitu saja
dari kepala, kulolosi ingatan-ingatan
tentang dirimu. aku lepas ikatan-ikatan
yang mengikatku pada hatiku
potret-potretmu aku lepas
dari album dan aku bakar habis
tak perlu aku sesalkan apapun
setelah itu. aku akan bebas
serupa burung terbang
cepat dan lekas
usia telah tak bersisa
untuk segala yang sia-sia
di depan sana masih banyak
belum aku tahu. masih banyak
ingin aku tahu. masih banyak
mungkin aku akan istirah
lepas ini. di sebuah rumah
sambil menulis puisi
JUBAH SERIGALA
kau bisa apa bila dengar kesah serigala
tentang bulunya. dipintal jadi pakaian paling cemerlang.
baju yang dikenakan orang-orang saat rapat
di meja-meja bulat menata muslihat.
orang-orang yang gemar bertukar hikayat
tentang sempurnanya cara lintah menyedot darah
tanpa si korban merasa. sambil membayangkan hal sama
darah-darah berpindah ke tubuh mereka
tanpa perlu meluka
sebaiknya kau tak membuat pengakuan
telah melihat semuanya. sebisa mungkin kau hapus jejak
hingga hilang tanda kau pernah ada di sana. biarlah
segala muslihat yang terlihat, berlangsung akurat
bagi mereka
bila serigala saja bisa berkesah, apa bisa kau buat
kau timbang saja saat untuk segera menyingkir
sebelum segala jadi getir
bayangkan gigi taring serigala pada mulut mereka
menancap di urat darahmu. kau akan serupa anak domba
kelejotan menanggung perih luka.
segera pergi dan tinggalkan serigala
yang masih saja berkesah tentang jubahnya sirna.
*Budi Hatees, lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Juni 1972. Menulis sajak serbasedikit. Kitab sajaknya, Narasi Sunyi (1996), dan terkumpul dalam sejumlah antologi. Tinggal di Kota Padangsidempuan.