Jokowi akan Senasib Ahok

Jokowi (Presiden Joko Widodo) dan Ahok (Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama). (Ilustrasi: NUSANTARANEWS.CO)
Jokowi (Presiden Joko Widodo) dan Ahok (Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama). (Ilustrasi: NUSANTARANEWS.CO)

Oleh: Dr. Fuad Bawazier*

NUSANTARANEWs.CO – Sejak Jokowi berkuasa 2014, sebagian umat islam Indonesia merasakan adanya tekanan tekanan dan ancaman ancaman politis, hukum, bisnis dan bahkan keamanan. Diawali dari penistaan agama oleh Ahok, Gubernur DKI saat itu. Semula umat islam ini mengira bahwa puncak tekanan dan ancaman adalah ketika pilgub DKI. Kenyataannya berlanjut sampai sekarang. Pelan tapi pasti, tekanan, ancaman dan ketidakadilan yang mereka terima justru telah menyatukan umat islam yang di wujudkan antara lain dalam bentuk Aksi Damai 411 dan 212 tahun 2016. Kegigihan umat islam ini menarik perhatian dan simpati banyak kalangan, sehingga mampu memenangkan telak pilgub DKI yang sebelumnya dilukiskan Ahok tidak mungkin terkalahkan. Padahal Ahok didukung kekuasaan, dana yang besar, media, lembaga survey dan konsultan serta macam macam jaringan ini itu. Ujian demi demi ujian atau ketidak-adilan demi ketidak-adilan yang diterima umat islam dan mereka non muslim yang bersimpati kepadanya telah menfilter mana mana dan siapa siapa tokoh dan aktivis yang munafik, oportunis, dan bayaran yang “berguguran” termasuk yang bergelar ulama atau tokoh dengan gelar terhormat seperti kiai haji, buya, tuan guru, guru besar dll.

Ujian, godaan, tekanan dan ancaman yang dihadapi umat islam dan non-muslim simpatisan perjuangan mereka memang berat dan kadang menakutkan. Terutama label anti NKRI, anti Bhineka Tunggal Ika, anti Pancasila, SARA, radikalisme, intoleran dll. Tuduhan atau Laporan yang umumnya asbun, yang diyakini semata mata hanya untuk menakut nakuti dan membungkam gerakan atau perjuangan umat yang tidak mendukung Jkw atau Ahok.

Sebelumnya untuk memadamkan gerakan perlawanan, penguasa mencoba menggunakan senjata “bom nuklir” dengan tuduhan upaya makar. Tuduhan ini kandas. Sementara aktor aktor intelektual Aksi Akbar (Aksi Damai) umat islam 411 tahun 2016 utamanya Habib Riziek Syihab (HRS) “dikerjain” menjadi TSK chatting porno sehingga hijrah ke Makkah sampai sekarang. Dengan pertolongan Allah swt, kondisi HRS yang sempat tersudut dan mencekam, kini Alhamdullilah telah aman dan mampu menggerakkan Reuni Akbar 212.

Hingga saat ini tidak henti hentinya kami menerima laporan dari para ustad pendukung 212 yang notabene pendukung Paslon 02 Prabowo-Sandi bahwa rejeki mereka dihabisi. Tempat tempat (masjid dll) dimana para ustad ini biasa mengisi termasuk kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, BUMN/ BUMD dll seperti ada yang mengomando tiba tiba menghentikan/menolak mereka. Bahkan ada kisah pilu seorang ustad yang jauh jauh terbang keluar Jawa untuk memenuhi undangan ceramah panitia maulid nabi. Sesampai ditempat tujuan, meski spanduk acara dan namanya masih terpampang tetapi tempatnya di gembok dan tidak ada panitia yang menemuinya. Sang ustad tahu hanya tangan penguasa yang mampu berbuat seperti itu. Dalam kepedihan dan tangisannya, para ustad ini berdoa dan tetap Istiqomah. Insha Allah doa para terdholimi ini makbul. Allah swt akan membukakan pintu rejeki halal yang lain, dan para ‘pendusta ustadz’ ini menerima hukuman yang setimpal atas kedholimannya.

Dugaan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh penguasa ini ditengarai telah merambah ke semua lini kekuasaan sampai ke RT-RW dan menjadi sorotan kritis dari banyak kalangan, antara lain dari tulisan tulisan rutin jurnalis senior Hersubeno Arief, dan Selamat Ginting (Republika) pada 12 Desember 2018. Demikian pula analisis Dr. Thomas Power of the Australian National University tanggal 11 Desember 2018 dengan judul Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Declined yang juga membahas penyalahgunaan kekuasaan hukum dan intelijen untuk memenangkan Jokowi dalam Pilpres yad ini. Langkah represif terhadap oposisi yang merusak kualitas demokrasi. Menurut Dr.Power, Presiden Jokowi telah menjadi atau mengarah sebagai penguasa otoriter. Banyak para purnawirawan TNI dan polisi dikubu Prabowo yang prihatin dengan penyalahgunaan TNI dan polisi untuk menggembosi oposisi dan membantu memenangkan Jkw-MA. Meski begitu para purnawirawan TNI dan polisi ini percaya bahwa masih lebih banyak polisi dan prajurit yang sapta margais setia membela negara, bukan abdi penguasa. Justru yang profesional itulah yang “mencatat atau mendata” penyimpangan penyimpangan yang terjadi dan siapa para pelakunya. Selain itu, menurut para purnawirawan senior TNI dan Polisi di kubu Prabowo bahwa mereka yang masih aktip juga kecewa dan gelisah dengan promosi jabatan dan pangkat yang beraroma politis dan nepotisme.

Langkah langkah kubu Jokowi yang tengah berkuasa ini ternyata kontra produktip sehingga menggerus elektabilitas Jokowi-Maruf Amin. Disektor perikanan, kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti juga telah lama membuat nelayan gusar. Kebijakan impor tenaga kerja China telah membangkitkan kemarahan publik khususnya buruh. Demikian pula kebijakan impor pangan khususnya beras, ditengarai telah memicu kemarahan petani. Walhasil hampir semua kebijakan pemerintahan Jkw termasuk pengaturan jilbab untuk pegawai negeri sipil dan pengaturan dibukanya sektor usaha UKM untuk asing dinilai tidak pro-rakyat, sewenang-wenang dan kontra produktip. Kubu Prabowo-Sandi otomatis panen elektabilitas dari blunder saingannya.

Ditengah suasana yang serba babak belur dan kepanikan akan kalah, kebijakan pemerintah Jkw justru semakin represif terhadap kubu lawannya. Para pejuang pro Prabowo masih saja dihadapkan dengan berbagai macam laporan rekayasa tuduhan atau fitnah hukum dan harus berurusan dengan aparat penegak hukum. Mereka merasa diperlakukan tidak adil dan berat sebelah dalam urusan atau pelayanan hukum. Sering merasa di kriminalisasi, yang selalu di bantah oleh pemerintah. Sementara tokoh oposisi yang di labeli ASU oleh Bupati Boyolali belum ada tanda tanda sang Bupati akan diproses. Begitu pula tokoh anti oposisi yang mengancam akan membunuh muslimin, tidak di proses.

Meski tidak terlihat nyata, umat juga merasakan adanya permainan intelijen, dan cabang kekuasaan lainnya. Misalnya, adanya keluhan bahwa permohonan izinnya dipersulit, atau tidak bisa diperpanjang atau pembatasan tayang dlsb. Sayangnya mereka yang berkeluh kesah ini belum bersedia membawa keluhannya ke ruang publik. Mereka selalu berharap perbaikan dan keadilan nanti setelah ada pergantian rezim.

Untuk menghentikan perjuangan para ulama, habaib, dan dai, Kemenag mengeluarkan sejenis sertipikat layak khotib yang kontroversial dan alhamdulillah program ini layu sebelum berlanjut. Demikian pula ketika ada upaya paparan masjid masjid yang di cap radikal yang disambut dingin dan sinis.

Hebatnya, meskipun merasakan serangan ini itu, “ sisa” umat dan tokoh non muslim yang bersimpati yang sudah teruji atau lulus ujian bukannya berkurang tetapi malah bertambah besar, solid, dewasa dan militan seperti yang antara lain terlihat ketika REUNI 212 tahun 2018.

Lalu apa yang membuat umat islam semakin solid dan luas dukungannya selain perasaan bahwa pemerintahan Jkw tidak friendly terhadap islam dan tokoh tokoh islam? Karena umat islam dan para simpatisan ini yakin bahwa mereka bukanlah seperti yang di tuduhkan sebagai intoleran dlsb itu. Bahkan umat yakin sebagai kelompok yang amat toleran. Sebaliknya umat merasakan ketidakadilan dan tindakan repressif. Umat merasa bahwa untuk memenangkan pilpres 2019, penguasa sudah main kayu yang mengancam kehidupan berdemokrasi seperti yang di analisa Dr. Power diatas.

Umat islam merasa bahwa pemerintahan Jokowi intoleran terhadap pengkritik beliau tetapi toleran terhadap pelaku korupsi sehingga banyak koruptor yang kabur, perdagangan narkoba sehingga tetap marak dan tidak ada lagi eksekusi, terhadap penista agama yang pro Jkw sehingga tidak diproses hukum.

Memasuki tahun politik 2019 khususnya pilpres dengan hanya ada dua pasang, sikap umat islam dan pendukung perubahan rezim (baru) semakin percaya diri bahwa cahaya kemenangan sudah di depan mata. Bukan saja karena blunder demi blunder yang dibuat kubu Jkw-Ma’ruf Amin, tapi merapatnya (meski sebagian masih diam diam) sel sel kubu Jokowi ke kubu Prabowo-Sandi, semakin meyakinkan bahwa dukungan kepada Jkw-Ma’ruf Amin tengah rontok. Kampanye Jkw dan MA umumnya sepi pengunjung. Pengarahan politik oleh kubu Jkw-MA baik melalui jalur Timses (TKN) maupun jajaran birokrasi agar memilih Paslon 01 kabarnya ditolak atau dilawan rakyat baik diam diam maupun terbuka, bahkan ada yang dilaporkan ke Bawaslu. Begitu pula klaim klaim sukses pembangunan oleh Jkw dan jajarannya mulai di bongkar oleh rakyat, terakhir klaim pembangunan jalan Trans Papua di bantah oleh Natalius Pigai dan viralnya rekaman video pidato Presiden Suharto.

Akibatnya Elektabilitas JKW-MA terus menurun sementara elektabilitas Prabowo-Sandi terus meningkat. Trend ini begitu pasti sehingga tidak terbendung. Bisik bisik di kalangan asingpun sudah merata bahwa 2019 akan ada presiden baru. Prediksi yang dapat di percaya, walau masih bisik bisik sampai pada angka 40/42% – 60/58% untuk kemenangan Prabowo-Sandi.

Upaya upaya ala band-wagon effects yang gencar dilakukan oleh surveyors tertentu yang sudah dikenal tidak independen, mulai dicibir dan dicuekin publik. Publik sudah mencatat bahwa surveyors itu sudah tidak kredibel. Kami meyakini mereka hanya menjalankan bisnis upahan. Publik masih ingat bagaimana surveyors itu meramal kemenangan Ahok, atau memprediksi perolehan suara Cagub Jabar Sudrajat dan Cagub Jateng Sudirman Said yang ternyata meleset jauh diluar margin of error. Karena itu tidaklah salah bila publik mencibir bahwa survey survey itu adalah pesanan berbayar.

Semua ini sedang mengantarkan karir politik Jokowi dalam pilpres 17 April 2019 akan senasib dengan Ahok, kalah meyakinkan.

Jakarta, 18 Desember 2018

*Dr. Fuad Bawazier, Pengamat Ekonomi dan Politik.

Exit mobile version