NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Sektor pajak memiliki peran strategis dalam pembangunan. Posisi Dirjen Pajak yang memiliki beban kerja berat dengan target penerimaan negara pada APBN tahun 2018 sebesar Rp 1.618,1 triliun harus diisi orang-orang yang memiliki kompetensi leadership dan manajemen yang unggul.
“Kita juga tidak mau mengulang sejarah yang sama bahwa kinerja DJP tidak maksimal dan dipenuhi skandal pejabatnya dan gagalnya capaian penerimaan megara pada tahun 2017. Meskipun ada program tax amnesty per September hanya mampu mengumpulkan pajak sebesar Rp 770,7 triliun dari total APBN-P Tahun 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. Kegagalan sudah di depan mata karena hanya memiliki waktu 2 bulan untuk memenuhi sisa target dari APBN sebesar 30 persen,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro, Jakarta, Rabu (1/11/2017).
Kini, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi segera memasuki masa purnabaktinya pada 1 Desember 2017 mendatang. Namun, aroma tak sedap tarik manarik kepentingan pemilihan Dirjen Pajak definitif mulai tercium. Tarik menarik kepentingan ini terlihat ketika belum ada satu tujuan antara Menteri Keuangan maupun jajaran pajak sendiri untuk membawa institusi pajak berjalan on the track sebagai motor pembangunan.
“Meskipun yang muncul baru empat kandidat yang berasal dari internal dan eksternal pajak, namun Tim Pansel belum final dalam melakukan seleksi , belakangan muncul rumor bahwa calon harus ada yang berasal dari pejabat eselon I dan Eselon II baik di internal maupun eksternal institusi pajak,” ujar Gigih.
Ia memaparkan, pemilihan Dirjen Pajak kali ini sangat rentan terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) di tengah ambisi pemerintahan memenuhi target pencapaian penerimaan negara tahun 2017 melalui penegakan hukum (law enforcement) kepada wajib pajak.
“Program tax amnesty, pajak online, hingga pajak penulis pun belum cukup efektif mengumpulkan pajak, ditambah lagi masih banyak pejabat pajak berperilaku korup, melakukan persekutuan jahat dengan wajib pajak dengan maksud untuk mengurangi beban kewajiban yang harus dibayarkan kepada negara. Program-program pengumpulan pajak yang selama ini diterapkan di satu sisi justru telah menimbulkan keresahan baru bagi dunia usaha di tengah iklim usaha yang belum stabil,” paparnya.
Conflict of Interest makin kuat ketika muncul beberapa nama calon dirjen pajak yang dengan sengaja di-endorse kepentingan partai politik yang pernah berkuasa dan sedang berkuasa saat ini. Tidak hanya itu, kepentingan modal pun ikut-ikutan (perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia dan selalu bermasalah tidak hanya pada sektor pajak) juga berada di belakang nama-nama calon yang beredar saat ini.
“Mereka dengan berbagai cara meng-endorse calon-calon dirjen pajak dan tentunya juga melakukan lobi kepada decision maker (Pemerintahan cq Menkeu) agar dapat mengamankan kepentingannya di sektor pajak,” katanya.
Sektor pajak saat ini telah menjadi medan pertarungan oligarki politik dan kepentingan modal menuju pemilu 2019. Pemilu 2019 dengan biaya tinggi, telah menjadi beban tersendiri bagi oligarki politik dan pemilik modal di tengah situasi ekonomi dunia dan nasional yang belum stabil.
“Masuknya dua kepentingan jahat oligarki politik dan kepentingan modal tidak lain adalah untuk mengkerdilkan peranan pajak sebagai penerimaan negara. Jika target ini terpenuhi, mereka akan leluasa mencari keuntungan untuk kepentingan kelompoknya dalam memenangkan Pemilu 2019. Sementara itu, mudahnya intervensi partai politik dan pemilik modal dalam pemilihan Dirjen Pajak tidak terlepas dari rendahnya integritas pejabat di jajaran Menkeu yang masih berpikiran pragmatis dan hanya mengeruk keuntungan semata,” jelas Gigih lagi.
Oleh karena itu, Tim Pansel dan Menkeu harus memiliki prinsip kehati-hatian dalam melakukan uji investigatif – due diligence terhadap calon-calon Dirjen Pajak baik dari internal maupun eksternal Pajak. Tahap awal ini adalah untuk melakukan penilaian secara obyektif agar calon harus bebas kepentingan atau independen (politik dan pemodal), tidak termasuk bagian dari pemilik rekening gendut agar institusi pajak tidak dijadikan alat kekuasaan dan pemodal semata yang menguntungkan kelompoknya.
“Untuk menguji calon terbebas dari kepentingan maka harus memiliki keberanian dalam melakukan pemberantasan terhadap praktek mafia pajak (law enforcement) yang sudah mengakar dan terus menjadi beban negara,” imbuhnya.
Kata Gigih, jika prasarat ini dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, maka Institusi Pajak akan bebas nilai. Sektor Pajak dengan mengedepankan law enforcement akan bergerak pada role-nya, tidak sebagai alat kekuasaan untuk mengejar ambisinya dalam memenuhi target penerimaan negara yang akan menimbulkan keresahan baru bagi dunia usaha. Dengan Pajak pembangunan dapat bergerak cepat dan kesejahteraan dapat terpenuhi secara adil. (ed)
Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews