NUSANTARANEWS.CO – Memoar-memoar yang di tulis Etgar Keret begitu ringan dan mudah dipahami pembacanya. The Seven Good Years sebenarnya menceritakan 7 tahun kehidupan di Tel Aviv bersama Lev putranya dan Shira istrinya. Gaya bertutur yang unik dan humoris mengingatkan kita pada almarhum Gerson Poyk, sastrawan kelahiran Kupang. Etgar mengemasnya dengan sangat apik dan ringan bergaya cerita pendek.
Buku The Seven Good Year dibagi 7 bab sesuai tujuh tahun perjalanan hidupnya. Di dalamnya tidak hanya kehidupan pribadi saja tapi kritik sosial dan politik juga tersaji. Seperti diketahui bahwa Etgar Keret ini adalah seorang penulis beragama Yahudi yang hidup di Israel berdekatan dengan Palestina.
Peristiwa mengebom ke kota Tel Aviv oleh gerakan Hamas garis keras sudah jadi kebiasaan rutinitas dan pemandangan sehari. Itu terlihat pada kisah Pastrami di bab tahun ke-7. Dalam “Pastrami” menceritakan saat ia sekeluarga berkunjung ke utara Tel Aviv menemui saudaranya. Di tengah jalan ada sirene peringatan serangan udara. Lev anaknya ketakutan, Etgar harus membujuk dia agar tidak takut dengan cara membuat permainan roti pastrami (makanan khas Israel).
“Kamu mau bermain game roti tangkup pastrami” aku bertanya kepada Lev. “Apa itu?” dia bertanya, tidak mau melepaskan tanganku.
“Mommy dan aku adalah sekerat roti,” aku menjelaskan. “Dan kamu adalah sepotong pastrami, dan kita harus membuat roti tangkup pastrami secepat yang kita bisa. Ayo, pertama kamu tengkurap diatas Mommy” kataku dan Lev berbaring pada punggung Shira dan memeluknya sekuat dia bisa. Aku tengkurap di atas mereka, menahan dengan tanganku di tanah yang lembab agar tidak menekan mereka (hal. 191).
Persoalan sensitif tentang agama pun ditanggapi santai Etgar. Sang ayah korban Holocaust Jerman ini mengkhawatirkan anaknya datang ke Indonesia, gerakan anti Semit dan pembakaran bendera Israel di Jakarta membikin ngeri. Tapi Etgar menanggapi dengan nyeleneh, ia hanya menunjukkan wikipedia bahwa di Ubud Bali itu mayoritas beragama Hindu dan tak mungkin mereka menanyakan agama apa yang ia anut setibanya di sana. Cuplikan itu tercantum dalam bab tahun kedua dalam kisah Teman Tidur Yang Aneh.
Tidak hanya itu Etgar juga mengkritik tentang korupsi yang terjadi di negaranya tapi sekali lagi dengan ungkapan yang menggemaskan. Menurut dia semua koruptor itu kucing, ini dikarenakan ia berkiblat pada Lev anaknya. Pada suatu hari Etgar dipanggil gurunya Lev bahwa anaknya suka memakan permen coklat yang diberikan juru masak sekolah. Peraturan dalam sekolahnya tidak boleh memakan coklat di lingkungan sekolah tapi Lev melanggarnya.
Etgar bertanya kepada Lev “Kenapa kau lakukan itu?” jawaban dari Lev “Aku ini bukan manusia tapi kucing.. meoow.. meow,” jawaban itu membuat Etgar berimajinasi tinggi mengapa pejabat negara suka korupsi?
Ternyata semua itu bukan manusia tapi kucing. Semua itu tersaji dalam bab tahun kelima dalam esai Kucing Gemuk. Betapa herannya Etgar kenapa sekelas perdana menteri Ehud Olmert melakukan korupsi, ia juga tidak kelaparan atau miskin. Khayalan Etgar terpampang dalam rangkaian dialog antara hakim dan Olmert.
Sebagai seorang Yahudi, ia selalu dihantui oleh paranoid jika beredar luar negeri. Ia merupakan anak generasi kedua yang selamat peristiwa Holocaust-pembasmian ras Yahudi di Jerman. Begitu paranoid akan kata-kata ”Juden Raus” yang artinya Yahudi Keluar, ini terjadi pada saat Etgar mengikuti festival buku di Jerman. Saat malam ada seorang mabuk Jerman masuk restoran terus mengatakan “Juden Raus. Juden Raus” dipikir itu menghina dia hingga mendatangi pemabuk tersebut.
Tulisan-tulisan Etgar ini layaknya menertawakan kehidupan karena tawa adalah obat terbaik akan kesedihan daripada menyesalinya. Dikemas dengan humor gelap dan sindiran-sindiran yang membuat kita ketawa sendiri.
*Ferry Fansuri, peresensi adalah travel writer, fotografer dan entreprenur lulusan Fakultas Sastra jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya.
_____________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.