NUSANTARANEWS.CO – Hari ini, 26 September, diperingati sebagai Hari Statistik Nasional Indonesia. Tanggal ini dipilih karena pada 26 September 1960, pemerintah menetapkan UU Nomor 7 Tahun 1960 tentang Statistik sebagai pengganti Statistiek Ordonnantie 1934. Sekarang UU tersebut telah diperbarui menjadi UU Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik.
Dalam pertimbangan UU 16/1997 poin a disebutkan, “Bahwa statistik penting artinya bagi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi penyelenggaraan berbagai kegiatan di segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, untuk memajukan kesejahteraan rakyat dalam rangka mencapai cita-cita bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.”
UU ini secara umum juga membagi statistik menjadi 3 bagian, yaitu pertama, statistik dasar yang penyelanggaraannya dilakukan oleh Badan Pusat Statitik (BPS). Kedua, statistik sektoral yang penyelenggaraannya bisa dilakukan oleh instansi pemerintah yang harus berkoordinasi dengan BPS, dan ketiga, statistik khusus, yang penyelenggaraannya dilakukan oleh masyarakat, baik lembaga, organisasi, atau individu yang bisa dilakukan secara mandiri atau bersama BPS.
Menjamurnya lembaga riset global di sini tentu saja berdampak positif bagi perkembangan industri riset di Indonesia. Hal ini juga menujukkan kepercayaan industri global yang ada terhadap ekonomi Indonesia yang semakin baik, sehingga berdasarkan hasil riset perusahaan di Indonesia lebih mudah untuk menggaet investor.
Keberadaan UU Statistik ini semakin penting bagi bangsa Indonesia mengingat semakin penting dan sensitifnya penggunaan data di Indonesia. Data statistik yang sama bisa memiliki arti berbeda, tergantung siapa yang menggunakan data tersebut. Dalam konteks politik misalnya, data hasil survei sekarang bukan lagi sebagai alat menyusun strategi kampanye atau alat untuk evaluasi, tapi sudah menjadi bagian dari alat kampanye politik.
Mengingat pada pemilu pemilihan presiden 2014, berbagai lembaga pun bermunculan dan menjadi lembaga komersial, bahkan berperan ganda sebagai peneliti sekaligus konsultan atau tim sukses. Bagaimana nanti saat pemilihan gubernur provinsi DKI Jakarta 2017? Untuk itu, lembaga riset yang ada jangan sampai terima hasil riset ‘pesanan’ politik, dan jangan karena ‘basah’, hasil survei bisa diperdagangkan.
Lembaga survei kini dinilai sebagai ‘algojo’ penentu opini publik. Dengan kata lain, alih-alih mengintip opini publik, lembaga survei justru menjadi pembentuk opini publik itu sendiri.
Dengan kata lain, publikasi hasil survei dinilai sebagai bagian dari upaya menggiring opini dan memengaruhi pilihan rakyat. Perilaku pemilih berupa “ikut yang rame aja” atau “ngikut yang bakal menang” dimanfaatkan sebaik mungkin oleh lembaga survei dan para sponsornya. Hasil survei dapat menjadi bahan kampanye: “Survei membuktikan, kamilah yang unggul, maka pilihlah kami…”.
Kalangan peneliti yang umumnya para intelektual atau akademisi bergelar master atau doktor itu sering mendapat kritisi, karena publikasi hasil ‘survei pesanan’. Berkedok metode ilmiah, para peneliti bisa saja mengarahkan hasil surveinya dengan memilih responden yang sudah ditunjuk atau dipersiapkan.
Masihkah lembaga dan hasil survei bisa dipercaya?
Bagi peneliti dan statistikawan nasional, teruslah meningkatkan kompetensi lalu bersaing sesuai dengan standar riset global, dan tunjukan hasil statistik yang jujur. Kita mengambil dan mengolah data dari Tanah Ibu Pertiwi untuk “memajukan kesejahteraan rakyat Indonesia” sesuai yang tercantum dalam UU 16/1997. (Andika)