NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Situasi saat ini jika dibandingkan situasi krisis tahun 1998 memiliki kemiripan. Yakni sama sama mengelami pelemahan kurs rupiah yang tajam. Namun ada anomali di balik fenomena tersebut. Jika dulu saat krisis 1998, ketika rupiah anjlok, sejumlah petani karet, kopra, kakao (coklat) dan sawit di luar Jawa menyambut baik karena harga panenanya menjadi mahal, tapi sebaliknya hari ini, para petani mengeluh karena harga komiditas perkebunannya menurun.
Situasi ini yang membuat ekonom senior, Rizal Ramli kemudian membuat kesimpulan bahwa krisis itu penuh teka-teki. “Memang teka-teki, ketika krisis 1998, kurs Rp (rupiah) anjlok dari 10.000 ke 15.000, petani karet, kopra, sawit, coklat di luar Jawa gembira mendadak kaya. Tahun 2018, rupiah anjlok, harga komoditi juga anjlok, sangat rugikan petani karet, kopra, sawit, coklat dll,” tulis RR sapaan Rizal Ramli melalui akun twitternya, Rabu (28/11/2018).
Mencermati hal itu, RR kemudian menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan terobosan baru. “Harus ada terobosan,” sambungnya.
Sebagaimana diketahui, saat ini harga sejumlah komoditas pertanian seperti karet, sawit, kakao (coklat), kopra (kelapa) dan sejenisnya terus mengalami penurunan harga bersamaan dengan menurunnya nilai tukar rupiah.
Sebagai contoh untuk harga karet pada Agustus 2018 di Kabupaten Mukomuko Bengkulu anjlok hingga 38 persen. Dari harga sebelumnya Rp6.500 per kilogram menjadi Rp4.000/kg.
Dikutip dari Tribun Sumsel, Arip (38) petani karet di Desa Jambu Rejo, Kecamatan Sumber Harta tidak mengetahui jelas apa yang menjadi pemicu turunnya harga jual getah karet saat ini.
“Kami bingung kenapa harga karet ini terus turun. Kalau pun naik namun tidak lama. Karena setelah itu kembali turun lagi,” kata Arip, Kamis (22/11/2018).
Hal sama disampaikan Jajang (38), ia mengatakan harga getah karet tidak sebanding dengan harga beras. Sebab, 2 kg getah karet baru bisa membeli satu kilogram beras. “Menyadap karet sendiri saja hasilnya tak seberapa, apalagi petani yang mengambil upah sadap karet orang lain, kami para petani karet semakin terjepit,” katanya.
Selain harga karet yang turun, salah komoditas perkebunan nasional yang mengalami penurunan harga adalah kelapa sawit. Dimana harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) turun drastis. Sejak tujuh bulan terakhir, perusahaan yang membeli TBS kelapa sawit dari petani jauh di bawah standar yang ditetapkan Pemprov Kaltim, yakni Rp 720 per kilogram (kg)-nya. Padahal, TBS untuk sawit usia lebih dari 10 tahun sebesar Rp 1.322 per kg.
Keluhan tersebut disampaikan Seto Rachman, petani kelapa sawit di Kelurahan Maridan, Kecamatan Sepaku. Harga TBS yang dibanderol untuk perusahaan Rp 700–720 per kg. Jauh lebih rendah dari biaya produksi yang dikeluarkannya mencapai Rp 885 per kg.
Sementara itu untuk harga kopra (kelapa) juga mengalami penurunan dalam beberapa bulan terakhir. Dimana harga kopra anjlok tajam hingga Rp 2.000-Rp 3.000 per-kg dari rata-rata antara Rp 7.000 – Rp 10.000 per-kg.
Hal ini memicu protes para petani dan mahasiswa di beberapa daerah seperti di Ternate (Maluku Utara), Manado (Sulawesi Utara) hingga Jakarta. Sejak pekan lalu para petani dan mahasiswa di Ternate melakukan aksi demonstrasi.
Begitupun dengan harga biji kakao (coklat) juga mengalami penurunan. Pada Juni 2018 lalu harga kakao yang semula Rp.33.000 per-kg, anjlok menjadi Rp.26.000 per-kg. Situasi ini membuat Nurna, petani kakao di Desa Sondana, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolsel mengeluh.
“Saat awal panen raya pada awal bulan Juni harganya masih Rp 33 ribu, tapi saat ini tinggal Rp 26 ribu per kilogramnya,” ujar Nurna, dikutip dari Tribun Bolsel, Kamis (28/6/2018).
Editor: Romandhon