Gerakan Zionisme: Pemboman Markas Besar Militer Inggris di Palestina

Gerakan Zionisme 1

NUSANTARANEWS.CO – Pada 12 Juli 1946, pukul 12.37 malam, ledakan besar merobek sayap selatan hotel Raja Daud di Baitul Maqdis Palestina. Ledakan dahsyat melemparkan potongan-potongan besar dari baja, beton, batu-batu dan bagian tubuh manusia ke bangunan sekitarnya. Selama tujuh puluh dua jam berikutnya, petugas penyelamat berhasil menarik enam korban yang terluka parah dari puing-puing namun sembilan puluh satu orang – Inggris, Arab dan Yahudi – tewas dalam ledakan itu.

Peristiwa pemboman Hotel Raja David 72 tahun lalu, sama mengejutkannya dengan penghancuran World Trade Center pada tahun 2001. Perdana Menteri Inggris Clement Attlee (1945-1951) menyatakan di House of Commons, bahwa peristiwa pemboman itu sebagai tindakan paling pengecut yang tercatat dalam sejarah.

Hotel Raja Daud menempati sebuah lokasi seluas empat setengah acre yang menghadap Kota Tua Yerusalem di atas tanah yang dibeli dari Patriarchate Ortodoks Yunani oleh konsorsium yang dipimpin oleh Azra Moseri, seorang bankir Yahudi Mesir yang kaya yang memiliki Shepheard’s Hoteber 1930. Hotel memiliki bangunan enam lantai besar dengan konstruksi anti gempa. Dengan 200 kamar yang dilengkapi pemanas sentral, lapangan tenis, dua restoran, aula perjamuan, grand lobi mewah dan taman mawar.

Selain sebagai tempat peristirahatan bagi para jenderal, negarawan, raja, maharaja dan putri, Raja Daud juga merupakan pusat sosial kosmopolitan Yerusalem. Namun pada tahun 1946, Hotel Raja Daud berubah menjadi markas besar militer dan sipil Inggris untuk seluruh Palestina.

Tidak mengherankan bila Hotel Raja Daud kemudian menjadi target utama gerakan zionisme yang dilakukan oleh ”Organisasi Militer Nasional” atau, dalam bahasa Ibrani, Irgun Zwei Leumi yang didirikan pada tahun 1931. Dipimpin oleh seorang Yahudi Polandia berusia tiga puluh tiga tahun yang bernama Menachem Begin, dan pemerintah Inggris memburunya dengan hadiah 2.000 poundsterling: hidup atau mati.

Bagi kebanyakan orang Yahudi di Palestina dan diaspora Yahudi, Begin adalah pejuang kemerdekaan yang tak kenal takut. Para pejuang muda memandangnya dengan penuh kekaguman. Padahal sejarah mencatat bahwa Begin tidak pernah memimpin pasukan ke medan pertempuran.

Namun di bawah kepemimpinannya, Irgun tidak pernah mengalami perpecahan, tidak ada upaya untuk menggulingkannya. Sehingga Irgun terkenal sebagai sayap militer Yahudi yang menakutkan karena gerakan terorismenya.

Sejak Deklarasi Balfour 1917 dan gagasan membagi tanah Palestina menjadi dua negara terpisah di tolak oleh orang-orang Arab – telah mengakibatkan pemberontakan Arab selama hampir tiga tahun, dari 1936 hingga 1939. Sebuah perang gerilya singkat dan kejam dengan tentara Inggris.

Ketika Perang Dunia II mulai pecah di Eropa, Inggris yang ingin tetap mempertahankan aset strategis seperti Terusan Suez dan ladang minyak di Timur Tengah – berusaha mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab di Timur Tengah. Untuk itu, Inggris kemudian menerbitkan The White Paper of May 1939, tepat ketika pemberontakan Arab mereda mengenai kebijakan baru Inggris untuk Palestina yakni: imigrasi Yahudi harus dibatasi secara ketat, penjualan tanah untuk orang-orang Yahudi harus dibatasi, dan setelah sepuluh tahun orang Yahudi dan Arab akan berbagi kekuasaan.

Kebijakan Inggris yang baru di Palestina telah membuat marah gerakan Zionis di mana-mana. Meski begitu, arus utama tetap dapat dikendalikan di Palestina oleh David Ben-Gurion. Sementara pempimpin gerakan Zionisme Internasional Chaim Weizmann, tetap bertahan di Inggris membina hubungan dengan teman-teman yang kuat di London dan salah satunya adalah Winston Churchill, yang dianggap oleh Weizmann sebagai teman pribadi dan pendukung Zionis sejak Inggris diberi Mandat untuk mengelola Palestina oleh Liga Bangsa-Bangsa pada bulan Juni 1922.

Sebagai Menteri Pertahanan dan juga perdana menteri sejak Mei 1940, Churchill memegang teguh pada pengambilan keputusan strategis tetapi dia tidak menentang kebijakan yang telah disetujui oleh anggota kabinet lainnya, bahkan mereka yang secara pribadi tidak disukai. Meski keberatan atas kebijakan Inggris di Palestina, namun Churchill tetap fokus berperang dengan Hitler.

Di Timur Tengah sendiri, komunitas Yahudi Palestina mulai memberontak terutama oleh sayap organisasi militer revisionis dipimpin oleh ideolog Zionis Ze’ev Jabotinsky. Jabotinsky telah memisahkan diri dari gerakan arus utama pada tahun 1925, marah pada apa yang dianggapnya sebagai penghalang terhadap penciptaan tanah air Yahudi yang kuat yang terbentang dari Sungai Nil hingga Efrat.

Salah satu murid Eropa Timur Jabotinsky adalah Menachem Begin, seorang mahasiswa hukum Polandia yang lahir di Brest-Litovsk pada tahun 1913. Selama Revolusi Arab, anggotanya menanggapi serangan terhadap orang Yahudi dengan gerakan terorisme.

Pada musim panas 1942, Korps Afrika Rommel hanya delapan puluh mil dari Alexandria, seluruh pejuang zionis gemetar dengan rencana invasi Nazi yang akan segera terjadi, tetapi, kemenangan Montgomery di El Alamein pada bulan November, membuat ancaman menjadi surut.

Tapi kemarahan Yahudi sekali lagi diarahkan kepada Inggris karena penolakan mereka untuk mengizinkan sejumlah besar orang Yahudi melarikan diri dari Nazi yang menduduki Eropa agar memasuki Palestina. Pada tanggal 1 Februari 1944, Irgun mengumumkan perang terhadap Mandat Britania. ‘Anak-anak’ Begin menyerang pos-pos Inggris yang bertanggung jawab untuk memantau lalu lintas imigran Yahudi ilegal dan kemudian melakukan teror dengan merampok bank, membom gedung-gedung pemerintah dan membunuh polisi.

Pada 5 November 1944, Lord Moyne, Menteri Negara untuk Timur Tengah, teman dekat Churchill di tembak mati oleh teroris Zionis. Dalam House of Commons dua minggu kemudian, Churchill memperingatkan gerakan arus utama Zionis: Jika ada harapan akan masa depan damai dan sukses untuk Zionisme, kegiatan teror ini harus dihentikan dan mereka yang bertanggung jawab diadili.

Untuk mengambil hati Churchill, arus utama Zionis kemudian menggerakkan Haganah untuk menjinakkan Irgun. Selama perburuan para ‘pembangkang’ ditangkap, dipenjarakan, dan disiksa. Banyak yang diserahkan ke Inggris.

Pada 8 Mei 1945, arus utama Zionis percaya bahwa, kebijakan Inggris terhadap Palestina akan bergeser tegas dalam mendukung mereka. Bulan Juli 1945, Partai Buruh yang dipimpin oleh Clement Attlee meraih kemenangan yang menentukan atas Churchill dalam pemilihan umum Inggris. Selama bertahun-tahun, konferensi Partai Buruh tahunan telah memilih mendukung sebuah negara Yahudi di Palestina, bahkan merekomendasikan pengalihan orang-orang Arab dari wilayah Yahudi dalam rencana pembagian.

Gerakan Zionis mengharapkan bahwa pemerintah Inggris yang baru akan bergerak cepat untuk menghapus Buku Putih tahun 1939 tetapi Menteri Luar Negerinya, Ernest Bevin, tidak melakukan itu. Prospek ekonomi pascaperang Inggris yang suram dan tanda-tanda pertama Perang Dingin dengan Uni Soviet, dengan cepat menyimpulkan bahwa Inggris masih tidak mampu menyerahkan kendali atas Terusan Suez atau ladang minyak Timur Tengah. Oleh karena itu, garnisun Inggris yang substansial akan tetap berada di Palestina dan batasan ketat pada imigrasi Yahudi akan tetap ada.

Jika “Kertas Putih” tahun 1939 telah melukai Deklarasi Balfour dan janjinya untuk mengamankan pendirian tanah air Yahudi, Bevin “membunuhnya” pada tahun 1945. Sehingga gerakan Zionis Internasional sekarang melihat mereka harus berperang dengan Inggris.

Di Amerika Serikat (AS), gerakan Zionisme melancarkan propaganda yang sangat efektif yang menjelekkan Bevin karena menghalangi jalan ke Palestina bagi kaum Yahudi di kamp-kamp pengungsi.

Di Palestina sendiri, dari Oktober 1945 hingga Juni 1946, gerakan terorisme sayap militer Yahudi terus menyerang gedung-gedung pemerintah, pangkalan militer, kantor polisi, lapangan udara, jalan dan rel kereta api yang menewaskan dan melukai ratusan tentara Inggris.

Untuk memadamkan kekacauan, otoritas Mandat membangkitkan peraturan darurat yang sama yang digunakan untuk mengalahkan pemberontakan Arab di akhir tigapuluhan. Namun anggota parlemen Partai Buruh Dick Crossman menulis dalam buku hariannya selama kunjungan ke Palestina pada Maret 1946: ‘Tidak ada keraguan bahwa Palestina saat ini adalah negara polisi’. Namun demikian, ia bertanya-tanya siapa yang bertanggung jawab, mengamati: The Jewish Agency, sebuah negara di dalam negara, dengan anggarannya sendiri, kabinet rahasia, tentara, dan dinas intelijen serta tidak takut kepada kami.

Atas desakan Field Marshal Montgomery yang telah mengunjungi Palestina pada Juni 1946 sebelum menjadi Kepala Staf Umum Kerajaan, memerintahkan Komisaris Tinggi dan 5.800 polisi Inggris dan 80.000 tentara di bawah komandonya untuk menyerang The Jewish Agency dan Haganah. Pada hari Sabtu 29 Juni 1946, 17.000 pasukan Inggris melancarkan ‘Operasi Agatha’, menduduki Gedung Agen Yahudi di Yerusalem dan menyita dokumen dan anggota eksekutifnya ditahan.

Dengan dukungan operasi intelijen, pasukan Inggris menyisir Tel Aviv dan dalam empat puluh delapan jam, 2.718 orang telah ditangkap beserta hampir 600 pucuk senjata, setengah juta amunisi dan seperempat ton bahan peledak.

BenGurion berhasil melarikan diri dari jaring Inggris karena berada di Paris. Moshe Sneh, komandan Haganah, juga berhasil kabur menghindari penangkapan, tetapi bagi Jewish Agency dan Haganah, ‘Operasi Agatha’, atau secara lokal disebut sebagai ‘Black Saturday’, merupakan pukulan berat.

Sebagai pembalasan atas operasi militer Inggris terhadap Jewish Agenscy dan Haganah, pada 1 Juli 1946, Moshe Sneh dan petugas operasinya, Yitzhak Sadeh, meminta bantuan Irgun dan Lehi untuk membom Hotel Raja Daud.(as)

Exit mobile version