Gejala Fisik Ini Dapat Mengidentifikasi Adanya Stres

Stres

ILUSTRASI: Stres. Foto: FlexJobs

NUSANTARANEWS.CO – Setidaknya ada tujuh gejala fisik yang dapat membantu mengidentifikasi kapan seseorang stres menurut pada ahli gizi dan pemerhati stres.

Seorang penulis The De-Stress Effect, Charlotte Watts seperti dikutip Independent, mempercayai bahwa nutrisi memainkan peranan penting dalam bagaimana tubuh merespon stres.

Dalam wawancaranya dengan Healthista, Watts menjelaskan bahwa gejala stres sering kali dikaitkan dengan defisiensi vitamin dan mineral.

“Masa stres menggunakan sebagian besar nutrisi menjadi lebih cepat, karena saat stres terjadi keseluruhan sistem kita termasuk energi, respons otak, hormon dan kekebalan semuanya bekerja pada tingkat yang lebih tinggi dan lebih cepat,” katanya.

Hal tersebut dapat menyebabkan kekurangan vitamin dan mineral dalam jangka panjang, tambah Watts.

Watts juga memaparkan gejala-gejala yang dapat menandakan diri seseorang berada dalam tekanan. Di antara pertanda tersebut adalag bibir pecah-pecah yang menandakan kekurangan vitamin B6, menguningnya gigi sebagai akibat dari kurangnya asupan vitamin B5, bintik putih pada kuku yang diyakini berkaitan dengan kurangnya seng, terjadi konstipasi dan diare karena kurang asupan magnesium yang dibutuhkan tubuh, gusi berdarah sebagai tanda kuragnya vitamin C, timbul bintik pada anggota tubuh yang berarti memerlukan asupan vitamin E serta inveksi tenggorokan dan dada yang berarti anda harus banyak memakan makanan mengandung vitamin A.

Efek atau gejala fisik yang ditimbulkan stres sebagaimana dipaparkan di atas menunjukkan bahwa stres memiliki efek yang bisa terlihat melalui tubuh kita dikarenakan stres dapat membawa defisiensi nutrisi yang artinya kondisi dimana manusia tidak mendapatkan unsur vitamin dan mineral pengembang tubuh dari apa yang ia konsumsi sehingga unsur pembangun tubuh seperti vitamin dan mineral tersebut tidak terdapat dalam jumlah yang ideal.

Stres juga dikaitkan dalam beberapa penelitian dikaitkan dengan perubahan yang terjadi pada lingkar pinggang. Akan tetapi belakangan dikatakan bahwa gejala ini lebih umum terjadi pada wanita.

Hal ini sebagaimana sebuah penelitian yang dilakukan di Universitas California menemukan bahwa wanita mengalami stres memiliki risiko lebih tinggi terkena obesita dari pada mereka yang jarang mengalami stres. Profesor Michelle A. Albert yang merupakan pemimpin penelitian tersebut mengatakan, “Kami tahu bahwa stres mempengaruhi perilaku termasuk apakah orang-orang yang kemudian menjadi kurang atau berlebihan makan, serta aktivitas neuro-hormonal yang meningkatkan produksi kortisol, yang terkait dengan penambahan berat badan.”

Para peneliti dari Universitas Northwestern, Illinois mengklaim bahwa dalam jumlah yangkecil stres sebenarnya juga mampu memberikan manfaat tersendiri bagi kesehatan. Hal ini sesuai dengan sebuah penelitian yang dipublikasikan di Cell Report yang menemukan bahwa hormon stres atau kortisol memiliki kemampuan melindungi sel-sel penuaan dan mengurangi risiko penyakit degeneratif seperti Alzheimer dan Huntingdon’s.

Penulis: Riskiana’
Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version