NusantaraNews.co – Usainya hiruk pikuk politik di DKI Jakarta sejak awal 2017 semestinya berakhir disaat Gubernur dan Wakilnya mengucapkan sumpah janji sebelum menjalankan amanah yang telah diberikan untuk lima tahun ke depan. Namun realitas yang terjadi justru sebaliknya, aroma untuk mempersiapkan olangkah politik menuju 2019 semakin kental, cukup beralasan ketika SBY mengatakan bahwa Pilkada DKI 2017 syarat dengan rasa pemilihan presiden.
Yang menjadi pertanyaan, apa benar pasca Pilkada 2017 polarisasi yang terjadi ketika tahapan pemilihan berlangsung akan mempengaruhi kontestasi pemilu 2019 sehingga menimbulkan reaksi yang semestinya tidak dilakukan? Setidaknya terdapat dua jawaban dari kelompok berbeda, satu kelompok masyarakat akan mengatakan, bahwa kontestasi Pilkada 2017 tidak akan mempengaruhi kontestasi untuk 2019. Pemikiran tersebut sangatlah wajar, jika diutarakan oleh mereka yang mengusung atau mendukung incumbent dalam Pilkada, atau hanya bentuk paranoid suatu kelompok tertentu yang memiliki kekhawatiran jika isu-isu selama Pilkada akan kembali digoreng dan berdampak pada perolehan suara mereka. Pada sudut berbeda, untuk mereka yang saat ini diselimuti rasa syukur atas kemenangan pasca dilantiknya Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (16 Oktober 2017). Sebagai orang beriman, keberhasilan merebut Kursi DKI 1 merupakan turning poin untuk meningkatkan rasa syukurnya, bahkan dalam Islam, hari ini harus lebih baik dari hari kemaren, cukup beralasan jika keimanan itu semakin kuat untuk memasuki langkah selanjutnya yaitu memenangkan Pemilu 2019.
Terlepas dari agenda politik nasional 2019, pidato yang memunculkan frase “pribumi” ternyata menimbulkan reaksi berlebihan yang sebenarnya menunjukkan satu kebodohan dan kekhawatiran kelompok tertentu. Semestinya mereka paham, delik sejarah penggunaan frase “pribumi” sudah tuntas bagi Indonesia ketika bangsa ini merdeka. Sehingga bagi masyarakat Indonesia frase “pribumi” bukan hal baru, bukan juga frase yang menakutkan, akan tetapi jika ada satu pihak yang merasa terganggu berarti frase “pribumi” itu dimaknai sebagai bentuk “perlawan”, dengan demikian kita sangat setuju ada kolonialisme di depan mata saat ini meskipun tidak menggunakan cara kontak senjata.
Meminjam pandangan Gramsci, yang mengatakan peperangan terhebat bukan lagi menggunakan kekuatan senjata, akan tetapi kekuatan bahasa dan penggunaan simbol lebih memiliki peranan sangat sentral ketimbang kekuatan senjata. Bahasa meskipun satu kata, akan menciptakan simbol kekuatan yang dapat digunakan untuk mengintimidasi lawan secara terselubung. Maka hal yang akan terjadi jika meminjam pendapat Loui Althuser, penggunaan frase “pribumi” memenuhi prinsip hegemoni bagi pengguasa saat ini yang dapat digunakan untuk menetralisir dan selanjutnya membangun konsensus dengan pihak yang berbeda.
Kecerdasan seorang Anies memahami psikologi kekuasaan yang diturunkan pada konteks kekinian, disaat masyarakat Indonesia mengalami degradasi nilai, prinsip dan budaya asli bangsa Indonesia, telah memperlihatkan adanya suatu kelompok elit politik yang ingin menciptakan transhegemoni di negeri ini, yaitu fenomena peleburan prinsip, alat, bentuk nilai ke dalam budaya massa yang kemudian keduanya tidak ada lagi batas. Pada konteks inilah, mereka menilai tidak perlu ada batasan antara pribumi dan non pribumi, melainkan sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi kebatinan masyarakat Indonesia sangatlah berbeda, karena Indonesia hasil perjuangan, bukan berarti juga kita menolak transhegemoni, namun kita juga harus membatasi bahkan tidak mengistimewakan.
Skizofrenia Politik
Kata “pribumi” belakangan ini memang sangat menarik perhatian, banyak ulasan dari berbagai tinjauan yang kembali membuka lembaran sejarah Indonesia kebelakang. Anies Baswedan telah membukakan mata kita semua, membuat kita tercenggang, seakan kita lupa siapa akan diri kita sebenarnya selama ini. Kita adalah pribumi, owner terbesar bangsa ini, pemiliki kedaulatan, pemegang saham bahkan darah kader bangsa membanjiri untuk satu kata merdeka. Untuk mereka yang masih mempersoalkan kata pribumi sebaiknya kembali pada jatiditi kita sebagai bangsa Indonesia.
Babak baru demokrasi Indonesia sejak tahun 1998, Mosca sangatlah beralasan, bahwa demokrasi merupakan khayalan kebodohan. Demokrasi kita secara tidak sadar telah membawa anak bangsa pada sebuah khayalan kebodohan, khayalan yang telah melupakan identitas bangsa ini sebenarnya, sehingga antar anak bangsa saling berhadapan tanpa rasa malu, tidak ada lagi identitas, nilai dan makna politik Indonesia dikedepankan. Inilah yang memang diinginkan oleh sekelompok elite yang ingin meguasai Indonesia secara perlahan, aktor yang memainkan peran atas kondisi Indonesia saat ini sangat memahami psikologis, sosial, budaya, pendidikan dan geopolitik Indonesia.
Secara konsepsional, aktor politik telah berhasil menerapkan konsep skizofrenia politiknya yaitu dengan membelah diri yang terbelah untuk menciptakan kegalauan identitas, nilai dan makna politik. Konsep ini sangat didukung dengan sikap beberapa elite partai politik yang melakukan perselingkuhan politik karena disebabkan longgar atau lenturnya peraturan. Kita bisa saksikan beberapa partai pengusung saat pilkada berlangsung elite partai politik tidak lagi mengindahkan identitas, nilai, dan makna politik bahkan tidak sungkan untuk menabrak kaidah organisasi partainya sendiri. Kondisi inilah secara langsung semakin mempemudah para aktor melanjutkan agendanya terhadap masyarakat Indonesia.
Kembali kita diingatkan pada kata “pribumi”, saya sangat sependapat dengan Syahganda Nainggolan, yang menyatakan bahwa pidato Anies, telah menempatkan kembali visi kebangsaan, kedaulatan dan sekaligus keadilan, sebuah visi yang selama ini hilang selama rezim Jokowi berkuasa. Maka yang terlihat saat ini skizofrenia politik yang dilakukan aktor politik tengah mengalami suatu kegalauan dan kekhawatiran diantara mereka sendiri. Anies sangat menyadarkan kita, dengan kata pribuminya telah kembali menempatkan pribumi sebagai identitas yang telah dilupakan. Identitas yang semestinya selalu dijaga dalam bernegara.
Oligarki Kebangsaan
Kata “pribumi” yang telah menimbulkan kontroversial dimasyarakat seakan belum lengkap, kalau kita tidak membaca teks secara keseluruhan isi pidato Anies Baswedan. Kita hanya meributkan kata “pribumi”. Kalau kita baca secara utuh, dalam Pidato Anies, mengajak kita bangsa Indonesia untuk membangun sebuah oligarki baru. Oligarki yang berbeda dengan istilah yang dikemukakan oleh Winters, oligarki yang dimaksud oleh Winters adalah kekuasaan politik hanya dijalankan oleh kelompok kecil masyarakat dan teristimewa.
Tapi oligarki yang perlu dibangun adalah oligarki kebangsaan. Jelas dalam teks pidatonya, Anies menuliskan beberapa istilah-istilah dari daerah di Indonesia. Ini menunjukkan Indonesia kaya akan budaya dan bangsa. Oligarki kebangsaan inilah yang kemudian semestinya dapat dilihat secara utuh, bagaimana seorang Anies menyakatan pepatah Batak “Holong manjalak holong, holong manjalak domu”, kemudian dalam pepatah Aceh “cilaka rumah tanpa atap, cilaka kampung tanpa guyub” bahkan pepatah orang Minang pun tidak luput dari pidatonya Anies yang menunjukan musyawarah diutaman untuk menghasilkan kesepakatan dan kesepahaman “Tuah Sakato”.
Belum lagi bahasa Minahasa yang “salapik sakaguringan, sabantal sakalang gulu” satu tikar tempat tidur, satu bantal penyanggah leher. Dengan demikian Indonesia yang terdiri dari beragam bangsa memerlukan langkah politik untuk membangun suatu oligarki kebangsaan. Oligarki yang menempatkan pribumi Indonesia sebagai pemegang kendali kekuasaan negara, agar cita-cita bangsa dan tujuan hidup bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. []
Penulis: Ahmad Yani (Anggota DPR 2009-2014, Founder Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa, Advokat)