NUSANTARANEWS.CO – Firma Hukum Foley Hoag LLP yang menjadi tim hukum Filipina dalam sengketa hukum putusan Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA-Tribunal) yang menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line mengatakan bahwa putusan tersebut ada kaitannya dengan negara-negara lain yang berbatasan dengan Laut China Selatan, termasuk Indonesia.
Hal itu disampaikan pengacara dari Firma Hukum Foley Hoag LLP, Paul Reichler di laman resminya oleyhoag.com. “Keputusan bersejarah ini memberikan kejelasan yang sangat dibutuhkan mengenai hak dan kewajiban hukum Filipina di bawah Konvensi Hukum Laut yang ditandatangani lebih dari 180 negara lain,” ujar Reichler.
Reichler mengungkapkan, klaim China itu juga tidak sah untuk negara-negara lainnya yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam.
“Putusan pengadilan tidak hanya menguntungkan Filipina, tetapi juga bermanfaat bagi negara lain yang berbatasan dengan Laut China Selatan seperti Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Jika garis sembilan atau nine-dash line China tak berlaku untuk Filipina, berarti tak berlaku juga bagi negara-negara tersebut, dan bahkan seluruh komunitas internasional,” papar Riechler.
Riechler menyebutkan, putusan di Den Haag melibatkan lima anggota Pengadilan Arbitrase sesuai dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut. Kelima anggota tersebut terdiri dari otoritas terkemuka di dunia mengenai Hukum Laut dan dipimpin oleh Thomas Mensah dari Ghana, mantan Presiden Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut di Hamburg, Jerman. Sementara tiga lainnya adalah ahli Hukum Laut.
“Ini tidak diragukan lagi. Mereka panel unggulan dan dihormati di kalangan arbiter untuk ihwal kasus Hukum Laut,” ujar Riechler lanjut.
Sejak 2013, China telah mengklaim hak eksklusif dan yurisdiksi 90 persen perairan dan dasar Laut China Selatan beserta seluruh sumber daya lautnya. Negara komunis itu juga tidak mengizinkan Filipina mengeksploitasi ikan dan minyak di perairan strategis di kawasan Zona Ekonomi (ZEE) Filipina, utamanya Scarborough Shoal. Atas sikap dan tindakan China, Presiden Filipina waktu itu, Benigno Aquino meluncurkan gugatan ke Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag dan selang tiga tahun kemudian Filipina memenangkannya.
“Keputusan ini benar-benar bersejarah. Terutama soal putusan Pengadilan di lingkungan laut. Ini adalah pertam kalinya sebuah pengadilan internasional telah membuat ketentuan tepat terkait dengan perlindungan lingkungan laut. Seluruh negara harus tahu bahwa mereka telah sah atas kewajiban mereka melindungi dan melestarikan lingkungan laut dan lautan di seluruh dunia,” papar pengacara Firma Hukum Foley Hoag lainnya, Lawrence Martin.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mendesak semua pihak menghormati putusan PCA serta hukum internasional yang telah diadaptasi, termasuk Unclos 1982. Kendati putusan itu disebut memberikan dampak bagi Indonesia, Menlu RI belum punya sikap tegas dan menuturkan posisi Indonesia masih dalam tahap memantau perkembangan yang terjadi. “Saya yakin konflik terbuka bukan opsi yang baik bagi kita semua dan saya kira power projection juga perlu diupayakan untuk terus dihindari,” ucap Menlu RI. (sego/red)
Artikel terkait: Tolak Hasil Keputusan Mahkamah Arbitrase, Cina Siap Perang