NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pengamat Politik dan Peneliti dari Research and Development Indo Survey & Strategy, Herman Dirgantara menilai stagnannya elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dibanding Joko Widodo (Jokowi) tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam memprediksi persaingan di Pilpres 2019 mendatang.
Ini menyusul rilis hasil survei publik yang dikeluarkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), elektabilitas Prabowo Subianto yang dianggap stagnan dibandingkan Jokowi.
“Hasil itu tentu tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk memprediksi hasil pilpres 2019. Masih peta awal saja saat ini. Dalam pemilu presiden, baik Jokowi maupun Prabowo punya peluang yang sama, karena waktu masih cukup panjang,” ujarnya kepada Nusantaranews, Kamis (14/9/2017) di Jakarta.
Namun dirinya menambahkan, survei tersebut tetap sangat berguna sebagai bahan evaluasi masing-masing poros kekuatan yang nantinya bertarung di pemilu presiden 2019.
“Namun harus jadi bahan evaluasi masing-masing poros kekuatan yang akan bertarung, karena survei bersifat ilmiah. Jadi kalau ada yang bilang ya wajar bila stagnan bukan berarti tenang-tenang saja. Ibarat balapan, kecepatannya perlu ditambah dalam menaikkan elektabilitas. Karena elektabilitas bersifat dinamis dan terukur,” tambahnya.
Sebelumnya, survei yang dilakukan CSIS terhadap 1.000 orang yang tersebar merata di 34 provinsi, dari 23-30 Agustus 2017 menunjukkan salah satu temuan yaitu tingkat elektabilitas Presiden dan tokoh-tokoh politik.
Hasilnya elektabilitas Jokowi meningkat dari 36,1 persen (2015), 41,9 persen (2016), menjadi 50,9 persen (2017). Sementara itu, elektabilitas Prabowo cenderung mengalami stagnasi dari 28 persen (2015), 24,3 persen (2016), menjadi 25,8 persen (2017). (*)
Pewarta/Editor: Romandhon