Divestasi 51 Persen Saham Freeport dan Kisah Perjuangan Evo Morales

global bond, evo morales, saham freeport, divestasi saham, pemimpin bolivia, nusantaranews
Presiden Bolivia, Juan Evo Morales Ayma. (Foto: Reuters)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Gembar-gembor divestasi 51% saham Freeport oleh pemerintah menuai berbagai komentar. Istilah yang dipakai oleh media-media arus utama dengan ‘menguasai’ dianggap sebagai pembodohan publik.

Klaim seolah-olah pemerintah telah melakukan langkah yang spektakuler, alih-alih dianggap blunder konyol yang tidak berkesudahan karena membeli saham Freeport dengan hutang dalam bentuk Global Bond melalui PT Inalum. Ini serta merta membuat negara tidak secara mutlak menguasai 51% pembelian saham dengan hutang yang diberi oleh para pihak swasta asing tersebut.

Kekonyolan ini membuat kita teringat dengan langkah Presiden Bolivia Evo Morales. Pada Januari 2002, seorang pribumi dikeluarkan dari parlemen Bolivia. dan 4 tahun kemudian, tepatnya 22 Januari 2006, di gedung parlemen yang sama, orang tersebut diangkat menjadi Presiden Bolivia. Dia adalah Evo Morales.

Baca juga: Anies, Mandela dan Evo Morales: Aspek Teoritik dan Sejarah Perjuangan Pribumi

Dalam hal kekayaan alam, Bolivia memiliki segala-galanya. Minyak, gas, emas, timah, hidrokarbon dan lithium. Sayang, selama 400 tahun lebih kekayaan alam itu dikeruk tanpa henti oleh bangsa asing. Hingga pada 2002, terjadi protes atas kepemilikan asing terhadap gas Bolivia. Rezim neoliberal Bolivia menindas protes itu dan menyebabkan 60-an nyawa rakyat melayang.

Evo Morales berjanji di hadapan warga Bolivia jila dia dipercayakan rakyat Bolivia untuk memimpin akan mengembalikan kedaulatan dan kekayaan bumi Bolivia untuk rakyatnya.

Juan Evo Morales Ayma adalah pribumi pertama yang memerintah Bolivia. Dia adalah seorang Indian dari suku Aymara. Dan dia dilantik menjadi Presiden Bolivia pada tahun 2006. Hanya 3 bulan setelah dilantik, Presiden Evo Morales mengeluarkan dekrit untuk menasionalisasi perusahaan gas dan minyak.

Presiden Evo Morales tidak mengambil-alih paksa aset-aset perusahaan asing tersebut. Dia hanya menawarkan kepada perusahaan-perusahaan itu 3 pilihan.

Pertama, perusahaan asing itu membayar royalti 18% lebih tinggi, kenaikan pajak 32% dan untuk gas alam yang menghasilan 100 juta kaki kubik per hari.

Baca juga: Belajar Dari Revolusioner Venezuela, Hugo Chavez

Kedua, jika perusahaan-perusahaan tersebut tidak setuju, boleh angkat kaki dari Bolivia. Ketiga jika melawan, mereka berhadapan dengan kekuatan militer Bolivia.

Presiden Evo Morales sangat percaya diri dan memberi waktu kepada 44 perusahaan asing untuk melakukan renegosiasi dalam waktu 6 bulan. Gila-gilaan memang, dan perusahaan-perusahaan itu pada senewen serta uring-uringan. Tapi pada akhirnya mereka bersedia, walaupun terpaksa, untuk melakukan renegosiasi dengan Morales. Mereka tidak punya pilihan.

Di bawah aturan baru, perusahaan migas Bolivia, Yacimientos Petrolíferos Fiscales Bolivianos (YPFB) mulai diberi kepemilikan separuh saham di perusahaan-perusahaan asing. Bolivia tak sepenuhnya menendang keluar investor asing. Sebaliknya, Evo Morales bilang, Bolivia menginginkan teman, bukan majikan.

Alhasil, langkah Evo Morales itu membawa berkah bagi rakyat Bolivia. Pendapatan migas Bolivia naik dari 173 juta dollar AS pada tahun 2002. Sebelum Evo Morales berkuasa menjadi 1,57 miliar dollar AS pada tahun 2007. Sebagian besar keuntungan itu didistribusikan untuk pendidikan, kesehatan, penciptaan lapangan kerja dan pembangunan infrastruktur.

Lebih dari separuh (60,6%) rakyat Bolivia hidup dalam kemiskinan. Setahun kemudian, Evo Morales telah menurunkannya hingga 48,5%. Kemiskinan ekstrem juga berkurang dari 38,2 persen menjadi 24,3 persen.

Presiden Morales melakukan 4 kali nasionalisasi. Nasionalisasi minyak dan gas tahun 2006, nasionalisasi perusahaan telekomunikasi tahun 2008, nasionalisasi pembangkit listrik tenaga air tahun 2010, serta nasionalisasi perusahaan listrik utama tahun 2012. Pemerintah Bolivia juga sudah mulai menasionalisasi perusahaan timah dan perak.

Dilansir BBC, Morales memerintahkan militer untuk mengambil paksa perusahaan listrik Transportadora de Electricidad (TDE), anak perusahaan REE milik Spanyol. Morales mengatakan, akuisisi dilakukan untuk menghormati rakyat Bolivia yang seharusnya menguasai sumber daya.

Morales sepertinya tahu apa dan siapa yang dihadapinya. Kaum kapitalis ini tak peduli sebuah rezim zalim atau tidak, demokratis atau tidak, korup atau tidak, yang penting menguntungkan mereka, persis pepatah mantan pemimpin RRC Deng Xiaoping ‘tak penting kucing itu putih atau hitam, yang penting bisa menangkap tikus.’

Akibatnya, yang diandalkan Morales adalah sepenuhnya dukungan rakyatnya. Dia tidak mengelabui rakyatnya dan menempuh bahaya bersama rakyatnya. Pendekatan Morales yang meninggalkan kebijakan ekonomi pasar bebas menuju kebijakan yang berorientasi kemakmuran bersama adalah jantung kebijakannya. Akuisisi dilakukan untuk menghormati rakyat Bolivia yang seharusnya menguasai sumber daya, kata Morales.

Dan Morales tidak perlu berhutang untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan yang mengeruk bumi Bolivia.

(znmd)

Editor: Almeiji Santoso/dari berbagai sumber

Exit mobile version