Dengan Puisi, Penyair Nusantara Hadir untuk Perdamaian Dunia di PPN X

Chavchay Syaifullah Penanggung Jawab Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X, waktu baca puisi di Singapura. Foto Istimewa

Chavchay Syaifullah Penanggung Jawab Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X, waktu baca puisi di Singapura. Foto Istimewa

NusantaraNews.co, Jakarta – Penyair, dengan kata-katanya yang tajam, tegas, lugas dan menghanyutkan setiap pembaca dan pendengarnya, sepatutnya menjadi sandaran bagi jiwa-jiwa yang kering dan gersang dari air ruhani dan kebajikan. Dengan segenap kebijaksanaan sang penyair yang tersurat dan tersirap dalam puisi-puisinya, mestinya menjadi pembangkit jiwa-jiwa manusia yang dimatikan oleh ambisi, tipudaya, dan muslihat saling menguasai.

Barangkali, atas dasar itulah, panitia Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X tahun 2017 mengusung tema “Puisi untuk Perdamaian Dunia”. Sebab, tema ini disandarkan pada sebuah kenyataan yang terjadi di berbagai negara dengan pertunjukan kekerasan, pembantaian dan perang tanpa ampun.

Penanggungjawab PPN X Chavchay Syaifullah menyampaikan, di tengah merebaknya konflik, kekerasan, dan perang di sejumlah negara, sudah sepatutnya mendapatkan empati, kepedulian, dan sikap dari kita sebagai penyair. Benturan berdarah di Myanmar, Irak, Libya, Suriah, Mesir, Prancis, Inggris, dan di kawasan lainnya semakin menambah luka sejarah peradaban manusia.

“Khusus dalam kasus Myanmar, di bumi Asia Tenggara itu, memang ada sejumlah faktor penyebab yang menyulut terjadinya konflik di kawasan tersebut, tapi justru karena itulah kita sebagai penyair perlu menyumbangkan pandangan dan solusi untuk mengakhiri konflik tersebut dan kalau bisa mencegahnya secara abadi agar tidak terjadi kekerasan di masa yang akan datang melalui kata-kata dan bahasa, yang dalam hal ini puisi,” kata Chavchay seperti dikutip dari TOR PPN X, Rabu (11/10/2017).

Menurut Chavchay, puisi sesungguhnya dapat menjadi media dan jembatan yang strategis untuk menyuarakan pandangan dan kepedulian kita untuk menyikapi sejumlah konflik dan perang di belahan dunia ini dalam rangka mengumandangkan welas-asih dan melantangkan suara-suara kemanusiaan. “Kita perlu menyuarakan keprihatinan dan sikap kita terhadap banyak kekerasan dan perang,” serunya.

Penyair sekaligus Ketua Umum Dewan Kesenian Banten ini mengisahkan bahwa, Annemarie Schimmel sebelum meninggal sempat menulis puisi (yang mirip dengan puisinya W.B. Yeats yang berjudul Aedh Menggelar Kain dari Surga): “Sang pencinta, menenun satin dan brokat dari air mata, duhai sahabat, agar dapat menghamparkannya suatu hari, di bawah telapak kakimu…dan aku menenun sutera kata-kata yang selalu baru hanya untuk menyembunyikanmu.”

“Tepat sekali sebagaimana ilustrasi di atas, puisi dapat melahirkan kebajikan sekaligus dapat dijadikan sebagai senjata keburukan, semisal dapat digunakan untuk mengungkapkan cinta dan persahabatan sekaligus dapat digunakan untuk menyebar fitnah dan dusta,” kata Chavchay.

Di musim semi 1996, sambungnya, Schimmel, perempuan berperawakan mungil itu menjadi satu-satunya pusat perhatian dalam pertemuan yang dihadiri para penulis, penerbit, dan pejabat tinggi Jerman, termasuk Presiden Roman Herzog. Saat itu ia berbicara tentang kata. “Kata yang baik laksana pohon yang baik…”, demikian dia mengutip Al-Quran. “Kata diyakini sebagai suatu kekuatan kreatif oleh sebagian besar agama di dunia; katalah yang mengantarkan wahyu; kata diamanahkan kepada umat manusia sebagai titipan yang harus dijaga, jangan sampai ada yang teraniaya, terfitnah, atau terbunuh oleh kata-kata,” demikian paparnya.

“Kata memiliki kekuatan yang tak dapat kita ukur. Dan pada kekuatan kata inilah terletak tanggung jawab para penyair, lebih-lebih lagi para penerjemah, karena satu kesalahan samar saja dapat memicu kesalahpahaman yang berbahaya.”

“Betapa puisi dalam kehidupan manusia adalah ‘ruh’ dan ‘jiwa’ kehidupan manusia itu sendiri, dan karena itu pula betapa pentingnya ‘puisi’ dijaga dari upaya-upaya untuk menjadikannya sebagai alat destruksi dan menjadi media-media kezaliman dan praktik-praktik tidak kreatif yang akan ‘melukai’ kemanusiaan manusia,” hemat Chavchay.

Secara khusus, tambahnya, lewat puisi, PPN X akan dijadikan enerji dan sikap penyair yang mendorong para pemimpin dan elit-elit politik di Asia Tenggara untuk berada di garda depan dalam mengupayakan terciptanya perdamaian dunia.

“Inilah dasar ditetapkannya tema ‘Puisi untuk Perdamaian Dunia’ di perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X di Banten, Indonesia, 15-17 Desember 2017,” tandas Tuan Rumah perhelatan PPN X ini.

Pewarta/Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version