Deklarasi GARBI Jakarta, Fahri Hamzah: Inilah Puncak Dari Seluruh Kegelisahan

fahri hamzah, garbi, kegelisahan, nusantaranews
Fahri Hamzah. (Foto: Instagram/Fahri Hamzah)

NUSANTARANEWS.CO, JakartaFahri Hamzah mengungkapkan kembali bahwa perjalanan Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) sebagai buah dari perjalanan gelombang kegelisahan anak-anak muda di tanah air. Fahri menyebut gerakannya sebagai kafilah.

Hal tersebut disampaikan Fahri sebagai pengantar topik pembahasannya pada acara Deklarasi GARBI di Epicentrum Jakarta, Minggu, 3 Maret 2019. Di samping itu, ia tertarik mengisahkan ulang lantaran lokasi deklarasi ditempatkan di Episentrum tersebut.

Menurut Fahri, Episentrum dalam makna harfiah adalah daerah permukaan pada pusat gempa.

“Saya tak tahu, apa ini kebetulan. Tapi memang, guncangan kegelisahan anak-anak muda pada masa depan yang terkanalisasi dalam wadah GARBI, bermula dari gempa gejolak rasa jiwa dan pikiran muda,” tutur Fahri dalam cuitan Twitter-nya, Sabtu (2/3/2019) malam.

Fahri bersyukur bisa ikut mengalami semua ini. Menurutnya, gejolak itu lahir secara natural, sebuah protes atas kezaliman. Lalu ia pun mengamati dan merenungi bahwa gelombang yang akan menentukan sejarah di masa depan memang harus dimulai dengan melawan kezaliman.

“Dan memang sering kita dengar dan saya katakan bahwa dalam setiap 20 tahunan, negeri ini akan menghadapi gelombang sejarah. Ada siklus yang terus berulang yang harus kita siapkan kehadirannya. Kita hadapi, selancari atau kita tergilas oleh gelombang yang datang,” katanya.

Fahti menunjukkan lahirnya gerakan di Indonesia mulai dari 1908, 1928, 45-48, 65-68, 78 hingga 1998. “Ada Semacam siklus tumbuh-layu-tumbuh kembali. Ujian 20 tahunan yang menguatkan bangsa ini. Mulai ujian nyali dan identitas, ujian ideologi dan persatuan, daya tahan, sampai kapasitas kolektif kita,” ujarnya.

Lalu, kata dia, ada perasaan yang mengatakan bahwa mendekati dan setelah 2018 akan terjadi guncangan awal yang menandai sesuatu.

“Sejak Januari 2016, saya katakan di hadapan teman-teman mulai dari Barat dan Timur Indonesia: Bersikaplah, karena kalian akan menjadi pelaku sejarah perubahan!,” tuturnya.

Alarm jam gerakan telah berbunyi, dan aktivis harus turun tunaikan tugas Sejarahnya. Dulu kita turun pada 98. Mengoreksi arah yang salah dari perjalanan Orde Baru. Kini kita persiapkan diri untuk memberikan arah yang benar dari perjalanan bangsa ini,” imbuhnya.

Beragam acara dibuat, lanjut Fahri, temanya Pemimpin Baru, Arah Baru memimpin Indonesia Baru. Pemimpin, Arah dan Indonesia. Tiga tema yang yang dibahas dalam pusaran tata Dunia Baru. Menghasilkan kesimpulan prediktif: Indonesia akan mengalami benturan.

Kesimpulan prediktif itu menuliskan bahwa Indonesia akan menjadi ajang pertarungan negara-negara besar dan kita tidak cukup antisipatif untuk meliuk-liuk di antara dua karang raksasa sebagaimana pernah diceritakan oleh Hatta; mungkin ekonomi, mungkin juga ideologi.

Tiba-tiba, kata dia, Suhu Jakarta sejak Oktober 2016 memanas. Rupanya ada guncangan yang justru digerakkan oleh ormas Islam. Berawal dari pidato Al-Maidah 51 oleh Gubernur DKI, rakyat kemudian tersadarkan bahwa ada kekuatan besar yang ingin terlibat menentukan arah Jakarta dan Indonesia.

“Entahlah apa yang terjadi, mungkin itu semua kita anggap kesimpulan yang melompat atau gerakan yang emosional tanpa dasar, atau hanya sentimen sesaat. Tapi, lihatlah apa yang terjadi, gerakan ini tak ada niat berhenti, menjalar dan terus merangsek dan bergolak,” ujarnya.

“Baru kali ini kita melihat aktivis-aktivis masjid kampung, orang-orang desa, emak-emak menjadi pelopor perubahan. Dulu kita berharap pada punggung anak-anak muda. Tapi rupanya, kegeraman dan kegelisahan rakyat nampak sekali sudah berada di ujung kepala,” imbuhnya.

Lalu, kisah Fahri, terciptalah gelombang protes pertama di Bulan Oktober. Berlanjut ke 411 di mana Fahri juga terlibat dan membersamai dalam momentum aksi umat tersebut. Hingga kemudian estafeta gerakan itu menciptakan momen fenomenal yakni Aksi212! “Bisakah ini kita sederhanakan?,” cetus Fahri.

“Inilah puncak dari seluruh kegelisahan yang pernah saya katakan di forum-forum pemuda mulai dari Sabang, Banda Aceh, Makassar, Ternate, Jakarta, Padang, Lombok dan seterusnya. Kegelisahan akan menjadi gelombang, kita berada di tepi sejarah perubahan!,” urai Fahri.

Perihal Jakarta disebut episentrum, ia menyatakan bahwa, rakyat dan umat memenangkan pertarungan politik di tengah gempuran kekuatan modal yang tidak terbayangkan besarnya. Berkat persatuan, solidaritas, dan kesadaran, gelombang kegelisahan rakyat menghadirkan kemenangan pada Pilgub DKI.

“Kenapa DKI penting? Karena ini adalah wajah nasional kita. Siapa yang memenangkan pertarungan politik di DKI, maka ia selangkah lebih maju dalam mempersiapkan kemenangan dalam pertarungan elektoral nasional. Sekali lagi Jakarta adalah episentrum,” katanya.

Memang, kata dia, kemenangan gelombang pertama adalah DKI. Tapi masih ada Gelombang lanjutan. “Rakyat dan bangsa harus menang. Sebab, kemunafikan sudah sedemikian akut. Penyakit harus diobati. Kerusakan harus diamputasi. Dan kegilaan harus dikoreksi,” kata Fahri.

“Untuk mempersiapkan gelombang lanjutan, teman-teman berkumpul kembali, mereka yang kini sudah alumni mahasiswa dan kaum pergerakan,mencanangkan sebuah gerakan bernama Pawai Kebangsaan; dari titik 0 di Sabang ke seluruh Indonesia,” imbuhnya.

Pewarta: Achmad S
Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version