Cupu Indradi-Cupu Anjani, Kurusetra, dan Pancasunya – Puisi S. Arimba

Lukisan "Kurukshetra" By Rohini Kummitha, Sanskrit Art (2010)/Foto: Dok. foundmyself.com

KURUKASETRA

(1)
Tak perlu Pandawa atau Kurawa mencipta Baratayuda
panah, tombak, gada menjelma kata-kata
dalam hembusan dan tarikan nafas
ada perang yang harus dimenangkan
tapi siapakah para satria
gugur sebelum bertempur
meninggalkan medan laga
sebelum pataka pertama di ayun
sebelum genderang ditambur

(2)
Perlukah kita gerilya
bila maju satu-satu hanya akan kehilangan
apalah beda ditebas punggung atau dada
dua-dua sama luka, sama meregang nyawa
sudah jelas kalah senjata, kalah balatentara
masih berartikah sikap pahlawan
bila lawan bukan lagi manusia

(3)
Kita hanya kumpulan manusia tanpa nama
tanpa kehendak, cita-cita
yang bising lalu hening
ketika senja memungkas cahaya
menunggu drama selanjutnya
di tepi tegal Kurukasetra

Yogya, 2015

CUPU INDRADI-CUPU ANJANI

Sebab bermula pada janji

Perempuan Indradi
: akan kusimpan hadiah darimu kekasih
asmara  tersimpan dalam lipat dan sekat
sebab perempuan menjadi pemberian, atas nama pengabdian.
Lelaki tua dapat memiliki raga,
tapi jiwa, siapa dapat mengekangnya.

Perempuan Anjani
: akan kusimpan tanya dalam diamku
lelaki yang berkelebat dari kamar Ibu
dan kuterima tanda mata
sebagai bukti kinasihmu
Hanya perempuan yang dapat memahami seorang perempuan.

Sebab bermula pada janji
kata-kata perkara mudah ingkari
tapi bencana
diri mana bisa lari

raga jadilah batu
raga jadilah wanara
siapa peduli siapa tahu
cinta memang tak selalu berhenti pada bahagia

Yogya, 2015

PANCASUNYA

Ia berjalan menuju telaga
langkah perlahan namun terjaga
tidak ada air mata, meskipun kegembiraan juga sirna
di genggaman sebuah kotak berbungkus kain
di tepian ia buka, mulutnya mengucap doa
tangan halus menebar isinya
abu terpencar ditiup angin, berguguran, abu-abu

dari riak air ia muncul
perempuan bersimpuh, telapak tangan menyatu
“Selamat datang senopati, selamat kembali suami”
ia tersenyum
“Kekalahan, hanyalah kemenangan yang tertunda”
bisiknya.

Yogya, 2016

S Arimba

*S.Arimba, lahir di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Menulis puisi, cerpen, esai, kritik, naskah drama dan skenario film. Karyanya ada dalam antologi bersama Syair Angin (2009), Wajah (2010), Satu Kata Istimewa (2012). Kumpulan puisi tunggalnya Obituari Rindu (2013) dan Onrust (2016). Cerpennya dimuat dalam antologi Kata yang Paling Sepi (2013). Essainya dimuat dalam Tiga Belas, Catatan Perjalanan Studio Pertunjukan Sastra. Menulis naskah drama adaptasi diantaranya Onde-Onde Lumut (2007), dan Menghisap Kelembak Menyan (2009). Menulis Skenario Film Rantang (2015) yang produksi oleh Suryakanta Film. Pernah bekerja sebagai Redaksi di Majalah Sastra Sabana. Pengelola kegiatan di Studio Pertunjukan Sastra, Senthong Seni Srengenge dan PKKH UGM. Menjabat Ketua I Himpunan Sastrawan dan Komunitas Sastra DIY. Produser Pentas Drama Kolosal Njemparing Rasa (2014), Pentas Teater Kolosal Cupu Manik Hasthagina (2015), dan Mimbar Pertunjukan Sastra Nusantara (2016). Saat ini bermukim di Muja-muju Yogyakarta.  Bisa dihubungi via e-mail: tiyangmardika@gmail.com/ telp. 085643103787.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version