Cegah Khotbah Bermuatan Radikal, Rektor UIN Jakarta: Perlu Pedoman Khotbah

Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, Dede Rosyada. (FOTO: Istimewa)
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, Dede Rosyada. (FOTO: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Salah satu cara mencegah tidak adanya khotbah yang mengandung unsur radikalisme dan intolerasnis ialanya diperlukan adanya pedoman bagi pengelola masjid dan penceramah.

“Memang saat ini yang menjadi problem terbesar dari pengurus masjid adalah memilih dan menyeleksi para penceramah atau pengkhotbah,” kata Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta, Dede Rosyada dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Jumat (30/11/2018).

Baca Juga:

Kementerian Agama (Kemenag), kata dia, telah menyusun daftar penceramah yang direkomendasikan, tetapi mendapatkan kritikan bahkan penentangan dari banyak pihak.
“Padahal, sebenarnya ada baiknya juga ketika Kementerian Agama mengeluarkan rekomendasi itu sebagai panduan bagi para pengurus masjid untuk menentukan penceramah sekaligus menyeleksi materi khotbah yang akan disampaikan,” hemat peraih gelar doktor dari McGill University, Kanada ini..

“Tiba-tiba penceramah langsung berbicara di mimbar, pengurus masjid sebelumnya tidak tahu materi yang akan disampaikan, dan ternyata yang disampaikan penceramah itu sedikit masuk domain-domain radikalisme dan sebagainya,” imbuh Dede.

Lebih lanjut dia mengatakan, perihal batas materi khotbah itu masuk kategori radikalisme atau tidak, perlu ada kesepakatan dari organisasi Islam dan dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, yakni Bimas Islam Kementerian Agama.

“Sehingga nantinya akan ada gambaran untuk membandingkan misalnya penceramah A khotbahnya bagus, penceramah B berbicara begini, lalu penceramah C berbicara di mimbar seperti mengandung unsur radikal atau intoleransi sehingga tidak direkomendasikan lagi ke depannya,” ujar Dede.

Kalau pengurus masjid sudah mengetahui ada penceramah menyampaikan materi khotbah yang mengandung radikalisme dan intolerasi, kata dia, maka sudah seharusnya pengurus masjid tersebut tidak memberikan tempat lagi bagi penceramah tersebut.

“Jadi, seleksinya seperti itu, dan tentunya hal itu juga perlu disampaikan kepada pengurus masjid yang lain atau dicatat bahwa penceramah tersebut materi ceramahnya seperti apa,” katanya.

Menurut Dede, ceramah bermuatan radikal dan intoleransi berbahaya jika diserap oleh umat yang pengetahuan agamanya masih kurang. Begitu juga oleh orang yang tingkat pendidikannya rendah. Ia pun berharap organisasi keagamaan berinisiatif mendorong pentingnya membuat pedoman khotbah yang lebih mendidik. Khotbah yang dapat mencerdaskan masyarakat dan penuh nuansa perdamaian jauh lebih dibutuhkan agar masyarakat tidak terpecah dan umat terbentengi dari paham radikal.

“Bukan kurikulum khotbah, tetapi pedoman khotbah. Dulu saya pernah membuat materi dakwah terurai, menjelaskan temanya apa, bicaranya apa dan arahnya ke mana dan ilustrasinya seperti apa, hanya satu halaman. Nanti bisa dipakai oleh khatib atau penceramah sebagai pedoman untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat atau jamaahnya,” katanya.

Terakhir, Dede mengatakan, perlu ada buku kecil bagi pengurus masjid yang menjelaskan indikator radikalisme.

Pewarta: Roby Nirarta
Editor: M. Yahya Suprabana

Exit mobile version