Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kerap kali melakukan counter evaluasi kinerja mereka, khususnya di bidang legislasi dengan alasan bahwa bagi DPR kualitas lebih penting dibandingkan dengan kuantitas. Argumentasi DPR ini lebih tepat disebut sebagai apologi ketimbang sebagai bentuk pertanggungjawaban yang jujur atas kinerja mereka.
Kualitas sudah seharusnya menjadi proses utama kerja DPR karena untuk itulah berbagai fasilitas mulai dari anggaran hingga dukungan keahlian disiapkan oleh negara. Pembentukan legislasi, paradigma pembentukan legislasi DPR sendiri sesungguhnya sangat pro pada aspek kuantitas daftar Prolegnas. Prioritas yang ditetapkan setiap tahun selalu mengedepankan jumlah bombastis. Padahal, jika berkaca pada hasil yang dicapai setiap tahun, seharusnya target legislasi harus dikurangi agar DPR fokus pada satu dua RUU yang memang dinilai paling mendesak.
Ketika jumlah RUU yang direncanakan begitu banyak maka yang kelihatan bagaimana sosok DPR dalam mengejar target. Bayangkan saja tahun 2017 ini DPR menetapkan 52 RUU Prolegnas prioritas. Dari 52 RUU tersebut, 17 di antaranya masih dalam tahap penyusunan draft. Dana sangat mungkin ke-17 RUU malah belum terjamah sama sekali karena saat bersamaan DPR masih harus disibukkan dengan tugas penambahan RUU lain yang sudah masuk tahapan pembicaraan tingkat satu jumlah RUU yang sudah masuk tahap 20. RUU dengan jumlah sebanyak itu hampir pasti waktu yang tersita cukup signifikan sementara alat kelengkapan yang bertugas membahas RUU nyatanya hanya 11 komisi ditambah beberapa Pansus membagi waktu untuk menyusun draft RUU dan analisa serta membahas RUU pada waktu bersamaan.
Kalau pun ada waktu yang tersisa, penyusunan draft dan naskah akademik hampir pasti tak maksimal. Jika penyusunan draft dan asal-asalan, maka pembahasan selanjutnya akan banyak dihabiskan untuk memahami konsep-konsep dasar dari RUU tersebut, sesuatu yang seharusnya tidak harus tuntas dan hampir pasti tidak serius. Kondisi ini menyebabkan RUU yang dihasilkan akan mengabaikan kualitas, kekacauan manajemen perencanaan sebagaimana digambarkan di atas berdampak pada molornya pembahasan hampir semua RUU di DPR.
Sudah menjadi tradisi bahwa RUU yang tengah dibahas selalu diperpanjang. RUU KUHP misalnya, sudah lebih dari 10 kali perpanjangan waktu. Kebiasaan molor ini sesungguhnya menunjukkan kualitas DPR yang sulit untuk konsisten, padahal tatib sudah mengatur jangka waktu 3 kali masa sidang untuk menyelesaikan satu RUU walau ditambah dengan aturan yang terkesan menikahi jangka waktu tersebut melalui ikon ketentuan perpanjangan tanpa limitasi yang jelas. Pilihan DPR justru memanfaatkan celah perpanjangan waktu membuat mereka tak pernah sanggup untuk taat pada apa yang telah direncanakan pada Paripurna. Penutupan masa sidang 2 DPR kembali memperpanjang 12 RUU yang tengah dibahas, legislasi DPR khususnya untuk RUU prioritas prolegnas juga didasarkan pada konsistensi RUU yang dihasilkan DPR setiap tahunnya dengan tidak pernah melampaui 10 RUU selama 3 tahun kerja DPR 2014-2019.
Mereka layak dinilai berkinerja rendah atau buruk dalam menggapai target pembahasan RUU prioritas. Dari lima masa sidang sepanjang 2017, hanya pada masa sidang ke-4 dan 5 tahun 2016-2017 DPR mampu membukukan capaian 2 UU baru dalam daftar Prolegnas prioritas. Selain itu, ada satu masa sidang tanpa hasil sama sekali yaitu masa sidang ketiga 2016-2017 dan 2 masa sidang lainnya hanya dengan masing-masing 1 UU baru. Daftar UU baru menjadi terlihat banyak ketika sejumlah UU kumulatif terbuka juga ditambahkan konfirmasi mengenai kualitas RUU yang dihasilkan DPR pun bisa dilihat dari banyaknya RUU yang diajukan MK.
Selama tahun 2016-2017 ada 57 perkara yang diputuskan oleh MK terkait judicial review. Atas jumlah dari 57 perkara tersebut ada 16 perkara perkara putusannya ditarik kembali, 7 perkara dan putusan gugur.
Data diatas memperlihatkan banyaknya norma yang diputuskan dalam RUU yang dibuat DPR yang dimintakan pengujian materi oleh publik. Ini menandakan apa yang telah dihasilkan oleh DPR memang masih belum serentak bisa diterima oleh publik. Banyak ketentuan yang akhirnya harus berubah setelah MK melakukan pengujian. Dari sisi ini saya kira perlu dibenahi lagi kinerjanya.
Memasuki tahun 2018 DPR kembali menetapkan 50 RUU Prolegnas prioritas. Satu di antaranya sudah disahkan menjadi undang-undang yakni UU Kepalangmerahan sehingga tersisa 49 RUU dalam daftar prioritas 2018. Dengan kembali menetapkan jumlah RUU prioritas setara dengan tahun-tahun sebelumnya DPR nampak tak serius mengevaluasi diri.
Daftar RUU prioritas kelihatan hanya sekadar daftar mimpi-mimpi 2018 bidang legislasi. Apalagi tuntutan kesibukan mereka sebagai politisi sesungguhnya sulit untuk tidak mengganggu kerja utamanya. Selain itu, tahun politik pasti juga akan menyedot waktu dan energi DPR untuk mempersiapkan pertarungan di Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
Penulis: Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi)