Puisi Habib Safillah Akbariski
Buku Catatan Harian Tentang Ibu
Kepada Rumah: tempat masa kanak berlari riang
di kafe ini. aku benar-benar sendiri. selembar tisu baru saja diterbangkan angin. gelembung dari minuman—bernama Honey….—yang setengah jam lalu ku pesan hampir habis meletup sejak sampai di permukaan. kursi di depanku diduduki sepi. senja membanjiri lantai dan dinding ruangan
sedang dilantai dua. di Kota Solo
setelah hari ini
“selamat datang SENDIRI. kamu sudah jadi penjajah. lalu bagaimana caranya merdeka? aku lupa. maafkan. aku sedang tidak menikmati ini: ia meletup di dada. seperti kenangan sebagai luka-luka.”
dan aku terjebak sepi yang membuka catatan harian tentang “rumah”. tangan Ibu yang senantiasa harum ketumbar, merica, cabai, bawang, dan rempah-rempah kala aku menciumnya
aku menghirup aroma dapur milik Ibu, tempat ia menghidangkan cintanya paling tulus setiap hari. meracik sesuatu yang kami suka. mendengar suara radionya yang baru dibeli tiga bulan lalu. alasan baginya untuk mengusir sepi yang seringkali mengusik
aku teringat oven besar milik Ibu. yang menebar hawa panas kala ia tengah membuat roti, diisinya keju, cokelat, dan kacang gula.
aku teringat meja makan. ada tujuh kursi dan hanya penuh di akhir ramadan. mejanya bisa diputar, sering kami rebutan makanan kesukaan
menyantap remah tawa. tak perlu memesan apa-apa: di atas meja, Ibu sudah menyiapkan semua yang kami suka: perkedel, tempe bacem, lempah kuning, bayem, kerupuk, atau lainnya. kadang ada bonus pempek atau martabak Bangka
tentang buku catatan harianku yang terbuka di atas meja kafe ini. aku tak memesan apa-apa selain segelas minuman tadi. lalu kuteguk beberapa rasa sakit di dada
lampu di lantai dua sudah dinyalakan. rinduku memancar
tentang Ibu. ia paling paham jika ada sesuatu yang rubuh di tubuhku. aku belajar betapa indahnya rahim bungamu. di tempat ini. puluhan mil terbentang antara aku dan Ibu. ditubuhku: malam hampir ranum. memoriku berguguran. menyemai selembar kertas di depanku
dalam dadaku. kolam jiwa menciptakan arus. ia berdebur begitu kencang. dan angin bergemuruh di antara perbukitan cadas yang curam. rindu makin runcing menghunus sisa jingga yang membakar tubuhku
Ibu
bidadarikah engkau?
aku tengah terpenjara kini. tiap detik yang berdetak menyebut namamu. hanya namamu Ibu. kenapa rindu seperti dua mata pisau yang menusukku?
Surakarta, 09 September 2017
Habib Safillah Akbariski, Pria kelahiran Bandung, 10 Juni 1999 ini terlahir dengan nama Habib Safillah Akbariski dari rahim orang yang paling dicintainya, Heniar dan lelaki yang bersedia berpeluh untuknya, Otto Rikintara. Secara teknis dibesarkan di Bangka Belitung sejak umur empat tahun dan belajar merantau sejak umur 15 tahun. Sekarang tengah memulai dunia perkuliahan di Prodi Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta: berharap suka dan lulus secepatnya. Info lebih lanjut beliau bisa dihubungi di Hp/Wa: 087797252549 dan aktif bersosial media di FB: Habib Safillah, Ig: Habibsafillah. Beberapa karyanya disemayamkan di habibsafillah.tumblr.com dan di tempat yang ia kehendaki.
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com