Benarkah, Pembubaran Ormas HTI Mirip Aksi Komunis Indonesia?

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Irfan S Awwas. Ilustrasi: NusantaraNews.co

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Irfan S Awwas. Ilustrasi: NusantaraNews.co

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia ditengarai sebagai tindakan yang mencirikan aksia kaum Komunis. Benarkah demikian? Adakah ciri-ciri tertuntu yang menunjukkan bahwa keluarnya Perppu Ormas kemudian pencabutas SK Badan Hukum HTI mencirikan aksi kaum komunis Indonesia?

Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Irfan S Awwas tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa, Komunis Indonesia, benar-benar tidak sabaran ingin mendominasi kekuasaan negara RI.

“Sekalipun mereka telah bercokol di pemerintahan Jokowi, mendapat perlindungan PDIP, tapi mereka belum puas sampai Pancasila 17 Agustus diganti dengan pancasila 1 Juni. Artinya, kembali ke masa nasakom,” kata Irfan dalam tulisannya “Aksi Komunis Bubarkan Ormas” yang disiarkan pada 8 Mei 2017 atau sehari sebelum hari ulang tahun PKI ke-103 yang jatuh pada tanggal 9 Mei 2017.

Menurut Irfan, segala cara ditempuh, mulai dari propaganda intoleransi, anti kebinekaan; hingga label makar dan anti pancasila terhadap ormas Islam. “Membenturkan sesama ormas: GP Anshar serang HTI, ancam FPI, dan bubarkan pengajian Salafi, termasuk bagian dari propaganda sesat itu. Serangan ganas berupa kriminalisasi ulama dengan tuduhan makar juga jadi jualan para ekstrimis itu,” ungkapnya.

Dua peristiwa baru baru ini, kata Irfan, menguatkan fakta bahwa komunis sedang melaksanakan misi kudeta. Seperti dikatakan Mao tse Tung: “Kuasai pemerintahan, ekonomi, dan media masa. Maka semua agama akan berada di bawah telapak kakimu.”

“Pertama, kolom agama diisi aliran kepercayaan. Pemerintah melalui Mendagri menyetujui kolom agama diisi aliran kepercayaan. Hal ini jelas melanggar konstitusi, karena aliran kepercayaan tidak termasuk kategori agama di Indonesia. Hal ini pernah diusulkan tahun 80an, tapi ditolak oleh MUI yang dipimpin Buya Hamka. Alasannya, aliran kepercayaan bukan agama karena itu eksistensi mereka dikembalikan saja pada agama masing masing,” sebutnya.

“Kedua, pembubaran ormas HTI. Tindakan pemerintah ini zalim dan sewenang wenang. Apalagi, seperti dikatakan Menko Polhukam Wiranto, bahwa pembubaran HTI atas perintah langsung presiden Jokowi. Alasannya, “sebagai ornas HTI tidak berperan positif dalam pembangunan bangsa,” sambung Irfan.

Jika ini alasannya, kata dia, rezim Jokowi sendiri tidak berperan positif dalam perbaikan Indonesia. Misalnya, tindakan inkonstitusional Jokowi adalah menandatangani perubahan kelahiran pancasila menjadi 1 juni seperti dikehendaki PDIP. Kebijakannya banyak yang tidak manusiawi dan melanggar hukum, antara lain membiarkan penista agama berkeliaran, membuat aturan yang meresahkan umat mayoritas, menghapus perda bernuansa syariah dll.

“Pembubaran ormas Islam mengingatkan kita pada kezaliman rezim orla pimpinan Sukarno. Atas tuntutan PKI, dulu penguasa membubarkan Masyumi, GPII, PII, dan HMI. Masyumi dan GPI berhasil dibubarkan, tapi PII dan HMI gagal dibubarkan lantaran jenderal Ahmad Yani pasang badan, tidak setuju pembubaran ormas tersebut. Sokarno pun bergeming, sehingga mengundang kemarahan PKI. Karena alasan itulah, antara lain jenderal Ahmad Yani dibunuh PKI dalam peristiwa Pemberontakan G30S/PKI. Jadi TNI AD sejak dulu bermusuhan dengan PKI dan dekat dengan umat Islam, seperti yang ditunjukkan Panglima TNI jenderal Gatot Nurmantyo sekarang. Tapi sayang, Wiranto yang mantan Pangab justru mengikuti kemauan Jokowi bubarkan HTI. Kenapa ya?,” ungkap Irfan terang-terangan.

Ia menambahkan, akibat kecondongan Sukarno pada ekstrim kiri PKI, ini pula yang menjadi alasan SM Kartosuwiryo menentang rezim komunis Sukarno dan mendirikan Darul Islam (NII). Dalam analisis politik Kartosuwiryo, pemerintah RI kala itu sudah tidak bisa diselamatkan dari pengaruh komunis.

“Kita berharap HTI melakukan perlawanan hukum atas kezaliman penguasa ini. Umat Islam, apapun organisasinya agar bersatu padu, bangkit berjihad,  serta menyamakan persepsi perlawanan terhadap ancaman komunis,” cetusnya.

Mengakhiri tulisan gamblanya ini, Irfan berseru: “Jangan takut berkata benar agar mereka yang salah tidak merasa benar. Diamnya orang yang benar akan dianggap pembenaran atas kebathilan. Ayo berterus terang dengan kebenaran”.  (red02)

Editor: Ach. Sulaiman

Exit mobile version