Belajar dari Obligasi David Bowie

Belajar dari Obligasi David Bowie
Belajar dari Obligasi David Bowie
Pagi itu, Ferdi menggelar rapat penting di kantornya. Bankir muda yang namanya kerap diperbincangkan di publik ini, sedang mempresentasikan hasil perjalanan “studi tiru” nya, yang ia lakukan di sejumlah negara. Sebut saja, Kanada, USA, dan beberapa negara Eropa. “Hari ini, sudah saatnya kita meluncurkan produk perbankan berbasis aset tidak berwujud atau intangible asset,” papar Ferdi penuh semangat. “Kongkritnya kita harus berani memvaluasi nilai ekonomi aset tidak berwujud seperti: hak paten, merek dagang, hak cipta, dan seterusnya, agar bisa menjadi salah satu instrumen pembiayaan.”
Oleh: Aslamuddin Lasawedy

 

Menurut Ferdi, hak kekayaan intelektual atau IP (Intelectual Property) berupa: hak cipta, hak paten merk dagang, dan seterusnya adalah aset yang berharga dan memiliki keunggulan kompetitif. Monetisasi aset Hak Kekayaan intelektual ini bisa menjadi aset finansial yang bernilai tinggi, bahkan setara dengan aset berwujud (tangible asset). “Sebab itu, instrumen pembiayaan  berbasis hak kekayaan intelektual atau IP Financing ini, sudah waktunya dirumuskan menjadi produk perbankan,”  tutur Ferdi. “Ini merupakan terobosan baru atau inovasi finansial yang dapat menjadi solusi bagi mereka yang sulit  mendapatkan pembiayaan tradisional karena tidak memiliki aset fisik atau aset berwujud seperti; tanah, bangunan, dll.”

Meski belum begitu populer di Indonesia, penggunaan aset kekayaan intelektual di pasar finansial, dipelopori pertama kalinya oleh musisi legendaris David Bowie. Ia melakukan sekuritisasi royalty atau penjualan piutang royalti kepada pihak lain (dalam hal ini investor) atas karya-karya musik yang ia ciptakan. Melalui skema pembiayaan ini, Bowie mengumpulkan uang tanpa harus benar-benar menjual karya-karyanya atau harus menunggu bertahun-tahun untuk menerima pendapatan.

Tahun 1997, musisi yang bernama asli David Robert Jones ini menjadi orang pertama yang melakukan sekuritisasi hak cipta dengan menerbitkan obligasi senilai US$55 juta. Inisiatif merancang dan membuat obligasi ini bekerja sama dengan bankir investasi David Pullman. Obligasi ini kemudian dikenal dengan sebutan “Bowie Bonds.” Surat berharga atau obligasi yang berbasis royalti  287 lagu dari katalog musik Bowie, yang  meliputi lebih dari 25 album yang dirilis sebelum tahun 1990.  Bowie Bonds ini adalah sekuritas yang diperdagangkan di pasar modal, yang dijamin oleh aliran pendapatan masa depan dari hak cipta David Bowie. Tenor obligasi ini selama10 tahun dengan kupon bunga 7,9% atau sekitar 1,5 poin di atas patokan pasar obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) waktu itu. Ringkasnya, dengan menjual hak atas royalti dari lagu-lagu tersebut, Bowie memperoleh dana segar US$55 juta di muka, yang digunakan untuk mendanai karier dan proyek-proyek musiknya. Sebagai imbalannya, investor yang membeli Bowie Bonds menerima pembayaran bunga yang didasarkan pada royalti musik yang dihasilkan oleh karya-karya Bowie. “Bowie Bond” dijual secara eksklusif kepada Prudential Insurance Co dan mendapatkan rating A3 dari Moody’s Investors Service. Saat jatuh tempo tahun 2007,  surat utang atau obligasi ini lunas terbayar

Nah, inilah babak baru pertama kalinya industri musik masuk ke pasar finansial. Bowie Bonds menjadi contoh bagaimana penerapan IP Financing (intelectual property financing) di industri hiburan, di mana hak cipta (sebagai Iintelectual Property/IP) digunakan sebagai dasar untuk menciptakan produk finansial yang dapat diperdagangkan.

Keberhasilan inovasi finansial Bowie Bonds yang menggabungkan dunia hiburan dan pasar modal, menginspirasi banyak musisi, penulis, dan kreator lainnya  menggunakan royalti mereka untuk mendapatkan pembiayaan. Sebut saja: Rod Stewart, James Brown, dan band heavy metal Iron Maiden. Hal inilah yang membuat obligasi sejenis Bowie bonds makin populer di berbagai belahan dunia. Model instrumen pembiayaan ini menjadi bukti nyata bahwa kekayaan intelektual dapat menjadi aset finansial yang bernilai tinggi, bahkan setara dengan aset fisik.

Begitulah, waktu terus berputar, inovasi finansial David Bowie membentang luas dan menginspirasi penerapan IP Financing di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan berkembangnya ekosistem ekonomi kreatif di Indonesia, model pembiayaan IP Financing ini bisa membantu  pelaku industri kreatif memperoleh modal usaha dengan memanfaatkan aset kekayaan intelektual mereka. Ini menggambarkan bahwa aset kreatif memiliki nilai ekonomi yang signifikan, jika dikelola dan dimanfaatkan dengan tepat.

Meski masih terbilang baru dan belum begitu berkembang di Indonesia, IP financing memiliki potensi untuk menjadi alternatif pembiayaan yang penting, terutama bagi sektor usaha yang berbasis inovasi dan teknologi. Hanya saja, produk keuangan seperti IP financing ini masih menghadapi beragam tantangan  di Indonesia, terutama terkait dengan pemahaman dan kesiapan pasar akan cara valuasi dan pemanfaatan kekayaan intelektual sebagai instrumen keuangan. Pun minimnya regulasi yang mendukung dan melindungi  hak kekayaan intektual (IP). Semua itu menjadi kendala  berkembang pesatnya IP Financing di Indonesia.(*)

Penulis: Aslamuddin Lasawedy CFP®, Perencana Keuangan Independen.
Exit mobile version