Bangun Dunia Keberaksaraan di Masyarakat Lewat Kenangan dan Kenyataan

Anak-anak Rumah Baca menggambar bersama (Kelompok Perempuan)/Foto nusantaranews/Dok. R.B. Bintang Alkhlas

Anak-anak Rumah Baca menggambar bersama (Kelompok Perempuan)/Foto nusantaranews/Dok. R.B. Bintang Alkhlas

NUSANTARANEWS.CO – Sejarah mencatat, tahun 1965 UNESCO tetapkan tanggal 8 September sebagai International Literacy Day atau Hari Aksara Internasional (HAI) yang dirayakan setiap tahun oleh negara-negara anggota UNESCO. Jika penetapan ini dipahami sebagaimana hari kemerdekaan sebuah bangsa, mestinya di usia HAI ke-51 tahun ini, negera-negara anggota UNESCO sudah terbebas dari belenggu tuna aksara.

Setiap 8 September, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyemarakkan HAI. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan komitmen pemerintah, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya dalam penuntasan tuna aksara di Indonesia. Namun yang berlangsung adalah ritual kebahagiaan penyelenggara, bukan kesadaran masyarakat untuk khusyuk menghayati visi di balik hari HAI.

Pemerintah sadar betapa masih banyak daerah di Indonesia yang torgolong padat angka tuna aksara. Adapun yang bekerja keras mengurangi angka itu adalah para penggerak keberaksaraan atau aktivis literasi. Lantas sejauh mana kinerja pemerintah? Bisa dilihat tanggal 20 Oktober 2016 mendatang di Palu.

Bercermin pada bagian acara HAI ke 50 tahun lalu, Nyaris ritual tahunan ini menjadi acara ceremony belaka. Sebab hingga peringatan HAI datang lagi tahun ini, sekian agenda yang diidealkan pemerintah tahun lalu, nampaknya belum menunjukkan hasil signifikan. Seperti hanya indah dalam kata, menyesakkan dalam dunia nyata.

Terlepas dari peringatan HAI ke 51, ada banyak rumah baca yang didedikasikan buat masyarakt di berbagai daerah. Para penggeraknya beragam namun dengan kesadaran yang sama, yaitu mengurangi tuna aksara di Indonesia, dan palan-pelan membangkitkan semangat baca buku.

Gairah menggerakkan keberaksaraan itu, salah satunya dialami oleh pendiri sekaligus pemilik Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Cibelut Banten, Muhammad Rois Rinaldi. Sejak sembilan tahun yang lalu, Rois bersama aktivis keberaksaraan terus membimbing anak-anak untuk cinta baca. Bahkan, berupaya mendekatkan budaya baca langsung kepada masyarakat “orang dewasa”.

Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Cibelut Banten didirikan pada tanggal 27 Mei 2007 atas prakasa Muhammad Rois Rinaldi, Bahaudin, Mufidzoh dan kawan-kawan. Ketika itu, Rois dan kawan-kawan terinpirasi atau termotivasi oleh sebuah ingatan mereka di masa kanak, ketika sekolah di desa terpencil.

“Di sekolah dasar, yang terletak tidak jauh dari lingkungan hidup kami, ketersediaan buku sangat minim. Jangankan untuk belajar ekstra, media belajarnya saja tidak ada. Bahkan ketika kami mewakili sekolah dalam ajang cerdas cermat, kami selalu kalah,” ungkap Rois berkisah kepada nusantaranews.co, Selasa (6/9).

“Mulanya kami berpikir bahwa kemampuan kami memang tidak sebanding dengan anak-anak kota. Tetapi ketika kami dewasa, masuk sekolah selanjutnya, tentu saja dengan fasilitas yang lebih memadai, ternyata kami tidak saja dapat bersaing, melainkan mampu meraih prestasi tertinggi,” kisahnya lebih lanjut.

Atas ingatan penuh, pria alumnus Ponpes Al-Mu’asyaroh ibnu Ali Sukamandi itu pun sadar bahwa, alasan mereka tidak dapat bersaing ketika Sekolah Dasar bukan karena tidak mampu, tapi karena keterbatasan. “Oleh karena itu, kami menghadirkan rumah baca ini (Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Cibelut Banten),” tegasnya.

Setelah selesai merayakan hari ulang tahunnya yang kesembilan beberapa bulan lalu, Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Cibelut Banten telah mendapat respon dan dukungan yang baik dan positif dari masyarakat sekitar.

“Masyarakat selalu menyambut program-program kami. Bahkan, masyarakat kerap meminta kami menghadirkan program-program baru dari kami. Masyarakat yang kami maksud lintas usia,” terang Rois.

Menurut dia dari kalangan orang dewasa juga sudah tumbuh minatnya. Bahkan, para orang dewasa juga turut ambil bagian dalam berbagai program yang dilaksanakan.

“Program kami tidak terpusat pada persoalan minat baca saja. Kami berusaha mempelajari kenyataan dan membuat program-program tepat guna. Program yang kami maksud di antaranya: Anak Mendongeng Ayah dan Ibu Mendengarkan; Kembali ke Huruf Pegon; Sastra Kampung; Ngaji Sabtu Kaum Muda; serta Marawis dan Seni Berbicara. Selain program-program yang dilaksanakan sebagai program harian, setiap tahun kami selalu menggelar Malam Pentas Anak,” kata Rois. (Sulaiman)

Exit mobile version