Bagi Mahfud MD, Hukum Harus Dibangun dengan Moralitas yang Kuat

Mahfud MD (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)
Mahfud MD (Foto Dok. NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa hukum harus dibangun dengan moralitas yang kuat. Sebab, kata Prof Mahfud, jika hanya dipahami sebagai peraturan formal hukum akan mudah dibelokkan dengan berbagai tafsir.

Mahfud menyampaikan, melakukan pembuktian terhadap tindak pidana secara hukum pun tidak senantiasa mudah. Alasannya, lantaran selalu bisa dicari dalih dan alibi-alibi formalnya.

Baca Juga:

Bagi Dewan Pengarah UKP-PIP ini, moral dan etika adalah landasan dalam tatacara berhukum

“Hukum harus dibangun dengan moralitas yang kuat. Sebab jika hanya dipahami sebagai peraturan formal hukum itu mudah dibelokkan dengan berbagai tafsir. Membuktikan tindak pidana secara hukum juga tidak selalu mudah karena selalu bisa dicari dalih dan alibi yang formal. Moral dan etiklah landasan dalam berhukum,” kata Mahfud di akun Twitter @mohmahfudmd, Selasa (26/3/2019) seperti dikutip nusantaranews.co.

Lebih lanjut Mahfud menyampaikan dua butir arahan kepada masyarakat dengan tujuan agar berlaku lurus di dalam berhukum.

Pertama, siapapun bisa melepaskan diri dari hukuman formal tetapi tidak akan pernah bisa lepas bebas dari hukuman Tuhan.

Kedua, jika ada yang berperilaku buruk kepada orang lain, pada waktunya prilaku buruk tersebut akan kembali kepada orang tersebut atau keluarganya sendiri.

Intinya, kata Mahfud, sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya ialah, semua hanya soal waktu.

“Inilah arahan agar berlaku lurus dalam berhukum: 1) Meski Anda bisa melepaskan diri dari hukuman formal tapi takkan bisa lepas dari hkmn Tuhan; 2) Jika Anda berlaku buruk kepada orang, pada saatnya Anda atau keluarga Anda akan mengalami perlakuan buruk oleh orang. Semua hanya soal waktu,” kata Mahfud.

Saat ditanya oleh warganet apakah hukum seperti halnya karma, mahfud menjelaskan apa beda bahasa agama dan bahasa budaya soal hukum.

“Ada ajaran yang bisa didalilkan, “Jika engkau berbuat aniaya kepada orang lain, engkau takkan mati sebelum engkau mengalami derita penganiayaan yang setara”. Balasan dari Allah yang seperti itu dalam bahasa budaya disebut karma. Jadi substansinya sama, bedanya: yang satu bahasa agama, yang satunya bahasa budaya,” imbuhnya.

Sebagai contoh, kata Mahfud, antara lain adalah Umar ibn Khaththab, Jadge Bao, Alexander, dll.

Mahfud pun membenarkan anggapan warganet bahwa jika moral dan imat itu kuat, sesungguhnya peraturan tidak perlu dibuat rumit. Hanya saja, kata Mahfud, hal tersebut adalah hal yang kurang mungkin sebab akan ada saja orang yang melanggar hukum.

“Betul, tapi itu tak mungkin sebab akan ada saja orang yang melanggar. Sama dengan kata Umar, “Kalau salat ditegakkan oleh ummat, tugas pemerintahan selesai sebab jika salat tegak takkan ada penjahat”. Tapi masih ada saja yang melanggar. Maka Allah memerintahkan ada hukum, peradilan, dan hakim,” terangnya untuk akun @Ayub_ta.

Sementara itu, ada warganet yang mempertanyakan soal arahan Mahfud pada point kedua. “Pada poin 2 kenapa mengikutkan “keluarga” pak, dalil/sumber bisa ditambahkan? agar lebih tercerahkan,” tanya @Firmanhamzah15.

“Dalilnya, a.l., “Maa nabata min haraam fannaar ahaqqu bihi”, daging yang tumbuh dari perbuatan atau makanan haram akan menimbulkan penderitaan”. Hasil perbuatan dan makanan haram bisa tumbuh juga di daging-daging keluarga. Maka banyak koruptor yang terlihat aman secara formal tapi keluarga yang hancur,” jawab Mahfud. (mys/nn)

Editor: Achmad S.

Exit mobile version