Badut Masha Menuju Ibukata – Puisi Setiyo Bardono

BADUT-BADUT KOTA KITA, karya I Ketut Sadia, ukuran 100x120 cm, media: akrilik di kanvas, tahun 2010/Foto: Dok. artkimianto blog

BADUT-BADUT KOTA KITA, karya I Ketut Sadia, ukuran 100x120 cm, media: akrilik di kanvas, tahun 2010/Foto: Dok. artkimianto blog

BADUT MASHA

Badut Masha meletakkan kepalanya
di tong separuh berkarat dekat pagar stasiun kereta.

Isi tong itu – mungkin oli bekas, sisa aspal, pikiran-pikiran liar,
atau endapan peradaban. Bisa juga kosong bila nyaring bunyinya.
Tapi tong lebih banyak berdiam diri, tak membuka rahasia isi.

Isi kepala badut – kosong. Ada atau tak ada,
wajahnya tetap ceria, tak tergoda perubahan cuaca.

Kepala yang sebelumnya ada dalam kepala badut Masha
menyandar di tong berkarat. Matanya kosong menatap kereta
berderak penuh beban berat.

Ember plastik kecil dekat kaki kosong melompong.
Isinya mungkin sudah menyusup dalam kantong,
atau memang benar-benar kosong.

Senja mengendap ke dalam tong berkarat.
Badut Masha melangkah ringan
menuju mulut gang kecil yang tak pernah sepi.

Tangannya menenteng kepala pengamen muda yang matanya berbinar ceria,
serupa kereta telah menumpahkan selaksa beban di peron stasiun,
setelah menempuh perjalanan penuh peluh dari ibukota.

KRL Commuter Line, 10 Maret 2016

MENUJU IBUKATA

Di hari istimewa, puisi naik kereta kata.

Syahdan, naik kereta cara tercepat menuju ibukata,
belantara tempat huruf-huruf menempa dirinya.

Lebih dari itu, puisi ingin belajar keteraturan hidup kereta,
tertib menjalani laku, piawai menerjemahkan sinyal kehidupan
: tak ragu berjalan, memahami mengapa berhenti, bersabar di persilangan.

Puisi yang biasa bebas berekspresi, belajar menahan diri.
Di dalam kereta banyak aturan dan larangan,
dibatasi demi keamanan dan kenyamanan.

Puisi tersenyum membaca tanda: Dilarang membawa senjata tajam!
Mungkin penjaga tak percaya, pena lebih tajam dari pedang,
puisi bisa menyayat perasaan. Lidah tak terjaga juga berbahaya.

Di hari istimewa, puisi berdesakan menuju ibukata,
sepanjang perjalanan, dipungutinya sampah kata
yang berserakan di lantai kereta.

KRL Commuterline, 21 Maret 2016

*Setiyo Bardono, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com.

Exit mobile version