Aspek Hanneg Pertimbangan Utama Letak Ibu Kota Negara

Pemindahan Ibu Kota Disebut Kebijakan Grusa Grusu. (Ilustrasi Istimewa)
Aspek Hanneg Pertimbangan Utama Letak Ibu Kota Negara. (Ilustrasi Istimewa)

Aspek Hanneg Pertimbangan Utama Letak Ibu Kota Negara

Pemindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia dari Jakarta ke Penajam-Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim), telah diputuskan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurut Jokowi ada tiga alasan peletakan Ibu Kota Negara di Kaltim yakni faktor keamanan, lokasi strategis, kedekatan dengan dua kota berkembang Samarinda dan Balikpapan (Liputan6.com, 26/8). Sedangkan alasan pemindahan Ibu Kota negara dari Jakarta ke Kaltim setidaknya ada empat yakni: 1) penduduk Jawa terlalu padat; 2) kontribusi ekonomi terhadap PDB; 3) krisis ketersediaan air bersih; dan 4) konversi lahan di Jawa mendominasi (Kompas.com, 27/8).

Sejarah pindahnya Ibu Kota beberapa Negara di dunia hampir semuanya dilakukan atas alasan pertimbangan Pertahanan Negara (Hanneg). Negara negara ini antara lain Ibu Kota Russia semula St. Petersburg pindah ke Moskow (1918) dengan pertimbangan sangat kecil kemungkinan diserang negara lain dan sangat sentral (Liputan6.com, 30/7); Ibu Kota Turki dari Istambul ke Ankara (1923) dengan alasan keamanan dan strategis; Ibu Kota India dari Kalkata ke New Delhi (1931) dengan alasan keamanan; Ibu Kota Pakistan semula di Karachi ke Islamabad (1967) dengan alasan keamanan; Kazakhstan semula Ibu Kotanya Almaty ke Nur-Sultan (1997) dengan alasan keamanan; Nigeria memindahkan Ibu Kotanya dari Lagos ke Abuja (1991) dengan alasan keamanan; Bezile semula Ibu Kotanya Bezile ke Belmopan (1961) dengan alasan keamanan; Tanzania semula Ibu Kotanya di Dar El Salam ke Dodoma (1974) dengan alasan keamanan. Jadi Ibu Kota Negara letaknya harus aman dan strategis.

Merujuk teori ketahanan nasional (national resilience theory) atau daya tahan bangsa (weerbaarheit: dari bahasa Belanda) bahwa “Ibu Kota Negara harus terletak di titik sentral geopolitik berdasarkan garis titik ekstreem wilayah negara, kemudian ditarik garis melingkar 360 derajat sama dengan penyanggah pertahanan negara” (bahan kuliah teori tannas dari Laksda TNI Purn RM. Soenardi, PKN UI). Letak Ibu Kota negara wajib di titik sentral geopolitik dan wajib pula memiliki wilayah penyanggah Pertahanan Negara.

Ini dimaksudkan agar Ibu Kota Negara tidak mudah diserang oleh negara lain dengan jenis senjata apapun. Meskipun disadari bahwa teori sosial politik tidak selalu sama dengan teori Ilmu Pasti Alam. Misalanya untuk mengetahui kecepatan suatu benda yang jatuh massa kali berat jenis sama dengan kecepatan benda yang jatuh. Ini selalu persis.

Cara kerja national resilince theory misalnya cukup mendekati saja sudah bisa benar. Kasusnya adalah Turki semula Ibu Kotanya Istambul di wilayah daratan Eropa Kontinental berbatasan dengan Bulgaria dan Yunani. Kemudian dipindahkan ke daratan Asia Kontinental mendekati titik sentral geopolitik Turki. Karachi bekas Ibu Kota Pakistan berbatasan langsung dengan Gujarat, India.

Dari sini sangat mudah dikacau sama India karena tanpa wilayah penyanggah. Kemudian dipindahkan ke Islamabad jauh ke darat dengan wilayah penyanggah, Lahore berbatasan langsung dengan Punjab, India dan di sebelah bawahnya ada New Delhi, Inu Kota India. Letak Abuja Ibu Kota Nigeria kurang lebih persis dengan national resilience theory. Abuja terletak di titik sentral geopolitik Nigeria. Beda dengan letak Lagos Ibu Kota semula Nigeria di tepi laut berhadapan dengan Teluk Guinea dan berbatasan langsung dengan Negara Benin, yang memang tidak sesuai dengan national resilience theory.

Letak Dodoma Ibu Kota Negara Tanzania sesuai national resilience theory. Baik letak Ibu Kota Negara yang persis dengan national resilience theory maupun yang tidak persis, namun memiliki kata kunci yaitu adanya wilayah penyanggah Pertahanan Negara. Semua letak baru Ibu Kota Negara di atas, memenuhi kriteria national resilience theory atau weerbaarheit.

Keputusan Sepihak Jokowi Abaikan Aspek Hanneg

Jokowi telah memutuskan secara sepihak (Eksekutif saja), untuk memindahkan Ibu Kota Negara RI di Kaltim. Menurut rilis Bappenas bahwa “letak Ibu Kota Negara RI di Penajam dan Kutai Kartanegara, Kaltim, telah memenuhi syarat Pertahanan Negara”. Jika benar demikian, maka seyogyanya telah memenuhi kriteria titik sentral letaknya menurut geopolitik Negara RI dan memiliki wilayah penyanggah yang strategis. Terutama bila diukur dari kemungkinan adanya serangan dari negara lain hingga sekecil apapun untuk terjadi.

Titik letak Kaltim dalam geopolitik wilayah RI memang sesuai garis tengah, tetapi letaknya diujung garis tengah di sebelah Utara RI. Padahal menurut national resilience theory, harus berada di titik sentral geopolitik Negara RI. Itulah kesalahan pertamanya. Kesalahan kedua diukur dari national resilience theory, yaitu tidak memiliki wilayah penyanggah Pertahanan Negara. Sehingga titik letak Ibu Kota Negara RI di Penajam dan Kutai Karta Negara sangat terbuka untuk langsung menerima serangan dari negara lain dalam siklus 24 jam. Terdapat tiga kemungkinan asal serangan Arteleri Pertahanan Udara yang menggunakan Rudal.

Pertama, dari Sabah Malaysia Timur cukup diletakkan di wilayah perbatasan Sabah langsung diluncurkan ke arah Ibu Kota Negara RI di Penajam dan Kutai Karta Negara di Kaltim. Mungkin hanya memerlukan waktu 8-12 menit Rudal itu sudah bisa menghunjam Ibu Kota Negara RI. Kemungkinan kedua, serangan Rudal diluncurkan dari perbatasan Sarawak, Malaysia Timur, ke Ibu Kota Negara RI. Mungkin hanya memerlukan waktu 9-14 menit sudah menghunjam Ibu Kota Negara RI. Kemungkinan ketiga, serangan Rudal diluncurkan dari Kapal Perang Filipina dari Laut Sulu dan Laut Sulawesi di perbatasan Laut Filipinan Selatan dengan Indonesia. Mungkin serangan Rudal ini hanya memerlukan waktu sekitar 15-20 menit setelah diluncurkan sudah bisa menghunjam Ibu Kota Negara RI di Kaltim.

Implikasi Negatif Pemindahan Ibu Kota Negara RI

Terdapat banyak implikasi negatif pemindahan Ibu kota Negara RI di Kaltim. Namun yang ingin dibuka di sini hanya beberapa yang menonjol saja. Implikasi negatif pertama, peletakkan Ibu Kota Negara RI di Kaltim, “menyodorkan diri untuk diserang dengan mudah oleh musuh dari negara lain”. Hal ini sangat memungkinkan karena letak Ibu Kota Negara RI di Kaltim sama sekali tanpa wilayah penyangga strategis.

Bandingkan dengan letaknya di Jakarta. Letaknya sangat strategis di “titik sentral geopolitik wilayah RI”. Karena itu wilayah penyanggah strategis terpenuhi. Malaysia, Singapura, Australia, PNG, dan Timor Leste tidak mudah melakukan serangan Rudal ke Jakarta.

Rudal baru diluncurkan beberapa menit sudah bisa ditembak jatuh oleh TNI AL dan TNI AD yang diletakkan pada wilayah penyanggah strategis. Implikasi negatif kedua, pemindahan Ibu Kota Negara RI di Kaltim hanya untuk memancing investasi Cina Komunis masuk ke Indonesia namun menanggung peluang ancaman yang sangat berat dan berbahaya. Implikasi negatif ketiga, Jokowi berada dalam misi penggalangan kebijakan politik Luar Negeri Cina komunis untuk menghidupi Cina Komunis. Artinya, Jokowi membukakan jalan bagi Cina Komunis untuk menginvestasikan dananya demi menghidupi Cina Komunis melalui pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, Indonesia dianeksasi Cina Komunis!

Oleh: M.D. La Ode, Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Pengkajian Ketahanan Nasional (PKN) Universitas Indonesia (UI)

*seluruh isi konten sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis.

Exit mobile version