EkonomiOpini

Ekonomi Nol Derajat

NUSANTARANEWS.CO – Di pelbagai pehelatan, Presiden Jokowi acapkali galau. Galau terhadap indikator ekonomi nasional. Stabilitas moneter kondusif, anggaran negara terkelola baik, IHSG makin menunjukkan taringnya, surplus neraca perdagangan on the right track, cadangan devisa terdongkrak hingga membumbung US$130 miliar, pertumbuhan kredit mulai terkerek, EoDB meloncat dari rangking 120 (2014) kemudian masuk ke angka 72 (2017), bahkan beberapa lembaga pemeringkat internasional selalu mengacungi jempol.

Tidak hanya itu, harga komoditas pun juga sudah membaik. Lantas mengapa pertumbuhan ekonomi nasional berjalan sempoyogan? Apa yang salah Bapak Presiden?

Iya, onderdil anatomi ekonomi secara makro memang bagus dan dipersepsikan sehat wa alfiat. Tapi, harap diingat, onderdil di tingkat mikro masih kepayahan dan kurang sentuhan afirmatif karena semuanya dikalkulasi secara politis. Ekonomi rakyat terseok-seok; pemihakan pada petani dan nelayan lips services serta sekadar menggugurkan kewajiban program alias proyek; program kemitraan penuh intrik, instant, dan kurang ketulusan; inovasi rakyat dan kaum terpelajar kurang diapresiasi, dan seterusnya.

Baca Juga:  Kapal Cepat Sirubondo-Madura di Rintis, Ekonomi Masyarakat Bisa Naik

Adakah ini semua menandakan bahwa ekonomi Indonesia sudah masuk dalam middle income trap yang acap membayangi negara-negara berkembang? Apakah ini “takdir” sebelum Tuhan “menakdirkan kita”? Jebakan itulah yang memantik ekonomi bergerak stagnan, sehingga Bapak Presiden pun terjebak dalam kegalauan yang amat sangat.

Saya teringat sebuah buku menarik dari pemikir strukturalis Johan Galtung “Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization“, Oslo, (1996). Galtung menyebut, ada enam aliran pemikiran ekonomi yang disimbolkannya Warna-Warni. Ada tiga warna dasar yakni: Merah, Biru dan Hijau. Biru adalah lambang ekonomi kapitalis yang berintikan pasar dan modal. Warna Merah mewakili ekonomi sosialis yang bertumpu pada negara dan kekuasaan. Sedangkan warna Hijau mewakili ekonomi Dunia Ketiga yang sedang berkembang. Ketiga aliran yang lain merupakan ekonomi campuran.

Tapi pengertian “campuran” menurut Galtung, yakni Pertama, campuran antara Biru, Merah dan Hijau, yang menjadi warna Merah Muda atau Merah Jambu (pink). Tapi, representasi aliran Merah Muda ini adalah negara-negara Eropa Barat minus Inggris, terutama negara-negara Nordic, yaitu negara-negara yang mengikuti konsep negara kesejahteraan.

Baca Juga:  Politik Identitas dan Regenerasi pada Pilkada Serentak 2024

Sedangkan campuran antara warna Biru dan Merah menghasilkan warna Kuning yang diwakili oleh negara-negara Timur Jauh, khususnya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapur, yang menggabungkan secara tegas unsur-unsur pasar dan negara, modal dan kekuasaan. Aliran pemikiran lain yang disebutnya adalah campuran antara Hijau, Merah Muda dan Kuning yang dinilai sebagai kombinasi yang ideal, karena tidak langsung mencampur warna Biru dan Merah. Aliran ini masih merupakan “angan-angan”, belum ada representasinya.

Pertanyaannya adalah apakah kegalauan Presiden Jakowi, yang kemudian memicu jebakan kelas menengah (jebakan pendapatan perkapita US$3.500) terkait ketidakjelasnya “jenis kelamin” yang dimiliki oleh arah dan orientasi ekonomi Indonesia? Ataukah ekonomi Indonesia bergerak, sesuai makna kategoris Galtung yang menuju campuran antara Hijau, Merah Muda dan Kuning? Berarti ekonomi Indonesia masih dalam angan-angan alias mimpi. Ataukah Presiden dalam keadaan mengigau?

Penulis: Dr. Mukhaer Pakkana, SE,M.Si, Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Related Posts

1 of 74