Oleh: Haris Rusly
NUSANTARANEWS.CO – Mega korupsi e-KTP tergolong salah satu bentuk perampokan APBN yang paling keji dan norak yang pernah terjadi di negeri ini. Bisa dikatakan lebih dari 51 persen anggaran e-KTP jadi bancakan politisi DPR, pejabat birokrat di Kemendagri dan swasta yang dikuasai juga oleh politisi DPR.
Jika anggaran yang dibagi-bagi di Banggar DPR saja mencapai angka 49 persen, maka sisa anggaran 51 persen tersebut pasti dirampok juga oleh perusahaan pemenang tender. Tidak menutup kemungkinan hanya 30 persen anggaran APBN untuk e-KTP yang digunakan untuk mengubah KTP kertas menjadi KTP plastik.
Jadi 70 persen anggaran E-KTP tersebut dipastikan dirampok. Hasilnya jelas, dari uang korupsi e-KTP, diantaranya dipakai para politisi tersebut untuk membiayai jadi Ketua Umum Partai (Golkar dan Demokrat), Ketua DPR, sebagian yang lain pasti dipakai untuk biaya Pileg dan Pilgub. Beberapa nama yang disebutkan dalam skandal e-KTP tersebut telah terpilih menjadi Gubernur.
Untuk itu, nyali atau keberanian sejumlah politisi bandit dalam me-mark up anggaran e-KTP patut diacungi jempol, sangat tega dan berani take risk (ambil resiko) untuk menjalankan sebuah kejahatan. Tak semua orang punya nyali dan keberanian merampok seperti itu. Karena itu, mereka para politisi tersebut pantas menerima “label” dari MURI sebagai politisi paling bernyali dan paling tega dalam merampok APBN.
Warga Negara Dirugikan Berlapis
Sebagai warga negara yang telah menjalankan kewajiban dipaksa bayar pajak, dipalak setiap berbelanja, saya merasa sangat dirugikan karena kejahatan korupsi e-KTP tersebut telah menempatkan data pribadi saya menjadi tidak aman, karena berpotensi jatuh ke tangan pihak yang dapat menyalahgunakan data tersebut.
Data pribadi saya yang telah direkam melalui e-KTP, seperti nama, tempat tanggal lahir, alamat, agama, juga data biometrik seperti golongan darah, sidik jari dan retina mata, yang merupakan rahasia pribadi, yang semestinya menjadi rahasia negara, mungkin saja telah jatuh ke tangan pihak di luar dari negara.
Jadi sebagai warga negara, saya telah dirugikan secara berlapis dalam skandal e-KTP. Pertama, pajak yang saya bayarkan menjadi APBN telah dirampok secara sangat keji dan norak. Kedua, data pribadi saya yang seharusnya dirahasiakan oleh negara besar kemungkinan telah jatuh ke tangan pihak yang tak sepantasnya memiliki. Negara telah lalai dan tak bertanggungjawab melindungi kerahasiaan data pribadi warga negara. Ketiga, menghambat saya dalam membuat identitas pribadi, karena setelah mengantri dan membayar calo, hingga saat ini tak ada kepastian untuk mendapatkan e-KTP.
Dijualnya Rahasia Negara
Sebagaimana akhirnya diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo, “poyek senilai hampir Rp. 6 triliun pada akhirnya hanya mengubah KTP yang dulunya kertas, sekarang jadi plastik. Hanya itu saja. Sistemnya dilupakan,” ujar Joko Widodo. (www.tempo.co, 11 Maret 2017). Jadi, projek KTP yang berjalan saat ini bukan e-KTP, tapi P-KTP. Bukan (E)lektronik KTP, tapi (P)lastik KTP.
Lantaran itu, kasus ini tak bisa dilihat dari aspek kejahatan korupsi semata. Skandal ini harus juga dilihat sebagai kejahatan serius terhadap pertahanan dan keamanan negara. Kenapa demikian? Karena data kependudukan sebuah negara adalah data prinsip yang seharusnya dilindungi dan menjadi rahasia negara.
Data kependudukan sebuah negara tak bisa dilihat kegunaannya dari segi politik Pemilu semata, yaitu untuk menyusun daftar pemilih pada saat Pileg, Pilpres dan Pilkada. Data kependudukan yang dihasilkan melalui Sensus Penduduk atau direkam melalui e-KTP adalah dokumen dasar yang dalam menentukan strategi pembangunan, baik perencanaan hingga operasional.
Demikian juga data sumber daya alam, data kekayaan negara dan data perpajakan, semestinya menjadi rahasia negara yang diproteksi oleh negara melalui Badan Intelijen Negara. Di negara tetangga, seperti Malaysia, bibit kelapa sawit hasil riset saja masuk dalam kategori rahasia yang diproteksi oleh intelijen negara. Di Thailand, hasil riset untuk menemukan bibit pertanian sangat dirahasiakan dan dilindungi oleh intelijen negara.
Dalam skandal Mega korupsi e-KTP, tak menutup kemungkinan data kependudukan yang direkam melalui projek e-KTP tersebut telah jatuh ke tangan musuh negara, karena baik mereka yang merencanakan hingga yang menjadi pemenang tender dari projek tersebut adalah para politisi, birokrat hingga kontraktor yang telah terbukti bermental rampok.
Jika data kependudukan tersebut dijual atau jatuh ke tangan musuh negara, baik negara asing maupun korporasi asing, perbankan, asuransi, telekomunikasi, dll. maka data tersebut dapat digunakan untuk menguasai perekonomian negara kita.
Negara kecil seperti Singapura, yang telah menguasai perekonomian kita, dapat menggunakan data kependudukan tersebut untuk untuk merancang strategi dalam menguasai dan mencengkram makin dalam perekonomian dan keuangan nasional kita.
Jika data tersebut jatuh ke tangan intelijen asing, maka data tersebut sangat berguna dalam menentukan strategi spionase dalam medan peperangan bentuk baru, baik peperangan dalam bentuk war by proxy, asimetris war, komplex war maupun hibrid war, untuk tujuan mengacaukan atau menguasai negara kita.
Di Mana Server e-KTP?
Bocor atau dijualnya data kependudukan dalam e-KTP pernah dikuatirkan oleh Deddy Syafwan, pakar teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) (kompas.com, 16/11/2014).
Ternyata anggaran senilai Rp. 6 triliun dalam project e-KTP tersebut tidak menyentuh pembangunan server di dalam negeri, tetapi konon katanya menyewa server punya negara lain. Sejumlah ahli teknologi informasi mengatakan, jika server e-KTP disewa dan diletakan di luar negeri, maka sama saja dengan menjual data sensitif kependudukan yang dimanfaatkan negara lain untuk kegiatan spionase dan penguasaan ekonomi dan politik bangsa kita.
Dengan bocornya data kependudukan baik data-data pribadi dan biometrik (golongan darah, sidik jari dan retina mata) penduduk Indonesia, maka dapat dibayangkan betapa republik ini akan menjadi sasaran empuk bagi predator global, baik korporasi maupun negara-negara asing.
Karena itu, sangat tepat pendapat Dedy Syafwan yang dilontarkan pada tahun 2014 bahwa skandal e-KTP adalah kejahatan yang sangat serius, yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara, karena diduga telah dijual atau bocornya rahasia negara ke tangan negara asing atau korporasi yang berkeinginan menguasai Indonesia.
Dari sudut pandang kejahatan korupsi, sudah sangat jelas kerugian negara dari kejahatan e-KTP tersebut bahkan melebihi skandal Century yang hingga saat ini belum juga kelar.
Karena itu, melalui tulisan ini, saya sebagai warga negara mendesak Pemerintahan Joko Widodo khususnya Kemendagri, Kemenkominfo dan Badan Intelijen Negara (BIN), untuk menyampaikan klarifikasi terkait bocornya kerahasiaan data pribadi dan biometrik (sidik jari dan retina mata) yang telah direkam melalui projek e-KTP. Kami juga mendesak kepada Pemerintah untuk mengklarifikasi penyewaan server e-KTP di luar negeri yang berpotensi membocorkan rahasia negara.
*Haris Rusly, Petisi 28 dan Kepala Pusat Pengkajian Nusantara Pasifik (PPNP).