Serangan teroris Al-Qaeda yang sekarang bermetamorfosis menjadi Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di pedesaan Aleppo dan bagian barat kota ini tidak hanya memperburuk situasi kemanusiaan, tetapi juga membuka kembali bab lama terkait keterlibatan Amerika Serikat (AS) dan Israel dalam perang ini.
Oleh: Agus Setiawan
Pada 30 November 2024, pasukan pemberontak dan teroris dukungan AS dan Barat berhasil menekan pasukan pemerintah Suriah dalam sebuah serangan kilat dari berbagai arah yang terkoordinasi di kota Allepo dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah kota itu setelah delapan tahun dipukul mundur.
Pasukan pemerintah Suriah telah menguasai Aleppo sejak 2016, hampir setahun setelah Rusia melakukan intervensi untuk mendukung Presiden Bashar al-Assad.
Seperti diketahui, sejak dimulainya operasi penggulingan Presiden Suriah Bashar al Assad oleh AS dan sekutunya pada 2011, kota Aleppo menjadi medan perebutan kekuasaan yang sarat kepentingan strategis hingga hari ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan serangan HTS baru-baru ini sebagai langkah taktis guna menjaga intensitas konflik bersenjata di Aleppo.
Tak tinggal diam Israel pun terus melancarkan serangan udara terkoordinasi dengan para teroris dan pemberontak di Suriah. Serangan ini menciptakan “kebetulan taktis” yang secara kasat mata menandai hubungan tak langsung antara kelompok teroris dan kepentingan Israel.
Dalam beberapa dekade terakhir, AS dan Israel memainkan perang proksinya dengan mendukung kelompok-kelompok bersenjata yang diciptakannya untuk menekan Suriah, Iran, dan Hizbullah – bahkan AS dan Barat menggunakan Ukraina untuk melancarkan perang proksi melawan Rusia.
Serangan udara Israel baru-baru ini di perbatasan Lebanon-Suriah – merupakan pola serangan yang konsisten dalam menargetkan jalur pasokan logistik Hizbullah sekaligus memberi momentum ofensif bagi HTS di Aleppo untuk menyerang pertahanan Damaskus.
Dan tentu saja semua itu tidak akan berjalan tanpa koordinasi dengan AS – yang membidani kelahiran Al Qaeda yang sukses melancarkan perang hibrida di kawasan Balkan. Tidak mengherankan bila kelompok teroris ini memiliki beragam senjata canggih buatan AS dan Barat, termasuk akses informasi intelejen sehingga kelompok teroris terlatih ini mampu mempertahankan sebagian besar wilayah provinsi Idlib yang dikuasainya sejak 2015.
Teridentifikasi beberapa jenis senjata buatan AS dan Barat yang digunakan oleh para teroris dan pemberontak di Idlib antara lain: Sistem Pertahanan Anti-Tank TOW (Tube-launched, Optically-tracked, Wire-guided). Lalu ada senapan standar serbu militer AS seperti M16 dan M4; juga FN FAL, dan Steyr AUG buatan Eropa, termasuk sistem Pertahanan Udara Portabel (MANPADS) FIM-92 Stinger, artileri M224 60mm, dan Howitzer Kaliber Menengah. Tak ketinggalan pula Kendaraan lapis baja Humvee, drone pengintai, serta perangkat teknologi komunikasi canggih. Dan yang terpenting adalah pasokan amunisi dan logistik yang selalu tersedia.
Dalam konteks geopolitik yang lebih luas, serangan teror al Qaeda ini menunjukkan bagaimana wilayah seperti Suriah tetap menjadi medan pertempuran proksi, di mana tujuan nasional sering kali dikaburkan oleh permainan kekuatan global yang lebih besar. Aleppo, sekali lagi, menjadi pusat konflik yang melampaui perbatasan nasionalnya, mencerminkan kelanjutan “strategi kekacauan abadi” dan terjaganya instabilitas di kawasan Timur Tengah. (*)