Berita UtamaKolomRubrikaTerbaru

Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Budaya Pop dan Dinamika Hukum Kontemporer

Jarum jam berputar cepat. Tengah malam tiba. Anto, mahasiswa fakultas hukum semester terakhir sebuah perguruan tinggi ternama di Jakarta, terlihat masih sibuk mengutak atik gawainya. Meja belajarnya terlihat berantakan. Beragam buku dengan topik seputar hukum dan budaya pop tergeletak begitu saja di atas meja. “Apa ya yang menarik jadi tema besar skripsiku ?” batin Anto, penuh tanda tanya.
Oleh: Aslamuddin Lasawedy

 

Tiba tiba, mata Anto terhenti melihat info di gawainya seputar film “Vina: sebelum 7 hari,” yang tayang pada tahun 2024. Film ini menarik perhatian khalayak ramai, dan ditonton lebih dari 5 juta orang.  “Aha, ini dia kasus yang menarik diangkat jadi tema besar skripsiku,” kata Anto dalam hati.

Film yang diadaptasi dari kisah nyata ini, disutradarai oleh Anggy Umbara. Pemeran utamanya adalah Nayla D. Purnama, Lydia Kandou, dan Gisellma Firmansyah. Setelah tayang di bioskop, film ini mencuri perhatian banyak pihak, hingga mendorong terbukanya kembali investigasi kasus pemerkosaan dan pembunuhan Vina Dewi Arsitan dan kekasihnya Muhammad Rizky Rudiana atau Eky yang tewas dikeroyok anggota geng motor di jln Perjuangan depan SMP 11 Kali Tanjung Cirebon, Sabtu dinihari, 27 Agustus 2016 silam.

Alur cerita film ini menjadi perbincangan publik, dan menjadi viral, lantaran kasusnya tak kunjung terungkap tuntas. Tak ambil waktu lama, Bareskrim Polri bergerak cepat menurunkan tim khusus mengungkap kembali kasus pemerkosaan dan pembunuhan ini. Sejumlah pihak dimintai keterangan, termasuk para terpidana yang sudah dijatuhi hukuman dalam kasus ini. Hingga akhirnya, tiga pelaku yang masih buron tertangkap.

Baca Juga:  Ikatan Pedagang Pasar Indonesia Dukung Cagub Risma di Pilgub Jatim

Ringkasnya, film “Vina: sebelum 7 hari” menginspirasi penegakan hukum menjadi lebih baik. Sebuah contoh bagaimana fenomena sosial yang lagi trend, mampu mempengaruhi dinamika hukum kontemporer. Persisnya menjelaskan bagaimana dampak fenomena budaya pop (pop culture) terhadap perkembangan hukum terkini.

Budaya pop yang meliputi tren, media, hiburan, mode, film dan musik yang digemari secara luas, memang kerap mempengaruhi bagaimana hukum dirumuskan, dinterpretasikan, dan ditegakkan. Sebaliknya, hukum juga dapat membatasi atau malah mendorong tumbuh kembangnya beragam aspek dari budaya pop.

Sebagai salah satu sarana kebebasan berekspresi, budaya pop sering menjadi alat untuk menyuarakan pandangan budaya, politik, hukum, dan sosial. Masalah pun muncul, saat ekspresi budaya pop melanggar norma sosial atau norma hukum setempat. Inilah alasannya mengapa film, musik, atau karya seni yang menyinggung nilai-nilai agama atau politik tertentu kerap disensor, bahkan dilarang oleh pemerintah.

Hadirnya budaya pop, memang tak bisa disangkal, terkadang bertabrakan dengan norma moral atau norma agama. Beberapa kasus seperti ; video musik atau film yang menampilkan konten pornografi atau vulgar, dilarang tayang atau dibatasi penayangannya lantaran dianggap melanggar moralitas publik. Fakta inilah memunculkan aspirasi untuk membuat regulasi yang mengatur bagaimana sepatutnya mengekspresikan budaya pop.

Baca Juga:  Advokat DePA-Ri Kalsel Dilantik, Luthfi Yazid: Integritas dan Optimisme Sangat Penting di Era Disrupsi Hukum

Meningkatnya penggunaan platform digital dan media sosial juga menjadi tantangan hukum tersendiri. Hukum dituntut harus mampu mengakomodir dan beradaptasi dengan perkembangan zaman hari ini. Seperti ; pengaturan penggunaan data pribadi, perlindungan konsumen, serta pengawasan konten yang mungkin melanggar hukum (seperti, ujaran kebencian atau hoaks). Kasus publikasi selebriti misalnya, seperti paparazzi atau berita hoaks, sering dianggap mengganggu privasi dan mencemarkan nama baik selebriti. Kasus-kasus seperti ini, selalu bermunculan dan menjadi perbincangan publik, dan viral di berbagai belahan dunia. Seperti kasus Amber Heard atau Johnny Depp yang ramai ditulis media global.

Perkembangan platform digital, seperti YouTube dan TikTok yang begitu cepat, butuh antisipasi hukum yang segera, berupa rumusan hukum terbarukan. Ini penting untuk mengakomodasi cara baru berbagi dan mendistribusikan konten, sekaligus melindungi kekayaan intelektual, semisal hak cipta, paten, dan merek dagang. Alasannya sederhana, artis, pembuat film, musisi, dan pencipta lainnya mesti dilindungi dari pelanggaran hak atas karya-karya mereka. Semisal penggunaan ilegal karya mereka, seperti pembajakan atas karya karya mereka.

Pemanfaatan tren budaya pop untuk tujuan komersial, juga harus jelas regulasinya. Seperti; regulasi yang mengatur iklan, endorsement, dan sponsorship. Sejumlah negara memberlakukan regulasi yang ketat, berkenaan dengan bagaimana produk dan layanan dapat dipromosikan, terutama di media sosial. Bahkan, influencer sekalipun diwajibkan secara hukum untuk menyatakan dengan jelas ketika mereka mempromosikan produk atau layanan tertentu melalui konten berbayar di media sosial.

Baca Juga:  Pelantikan DPD PERATIN Jakarta Dirangkai Dengan Diskusi Bidang Hukum

Di era serba digital ini, budaya pop juga menjadi sarana untuk mengangkat isu-isu sosial, seperti hak-hak minoritas, kesetaraan gender dan lain lain. “Gerakan MeToo” misalnya, menjadi contoh bagaimana budaya pop menginspirasi perubahan besar dalam hukum terkait pelecehan seksual di tempat kerja, yang mendorong legislasi baru dan penguatan kebijakan perusahaan. Adalah Tarana Burke, seorang aktivis sosial dan organisator komunitas, yang memulai menggunakan frasa “Me Too” pada tahun 2006, di jejaring sosial Myspace. Ia mempromosikan “pemberdayaan melalui empati” di kalangan penyintas perempuan kulit berwarna yang telah mengalami pelecehan seksual. Tarana Burke lahir di Bronx, New York USA, pada tanggal 12 September 1973.

Nah, hari demi hari tren sosial dan nilai nilai baru terus bermunculan, yang memicu perubahan penting di dunia hukum. Kian lama hubungan budaya pop dan hukum makin kompleks. Hukum dapat membatasi atau malah memfasilitasi ekspresi budaya pop. Dan, jarum jam terus berputar, hukum dan budaya pop terus bergerak maju dan berdialektika di lintasan sejarah.(*)

Penulis: Aslamuddin Lasawedy, Pemerhati masalah budaya dan politik.

Related Posts

1 of 16