Budaya / SeniKreativitas

Borobudur Writers & Cultural Festival 2016 Merayakan Karya Besar Nusantara

NUSANTARANEWS.CO – Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2016 kembali memberikan apresiasi terhadap karya-karya sastra klasik. BWCF yang telah memasuki tahun ke-5 tetap konsisten mengangkat tema-tema budaya klasik Nusantara.

Karya Klasik yang diusung tahun ini adalah Serat Centhini dan I La Galigo. Demikian kata Direktur Festival BWCF  2016, Yoke Darmawan seperti dikutip dari laman resmi BWCF, Sabtu (10/9).

“Itu adalah suatu upaya untuk menggali khazanah klasik guna memahami dan membentuk kebudayaan Nusantara dalam konteks kekinian dan masa depan,” terang Yoke.

Yoke menjelaskan bahwa Serat Centhini adalah karya besar kesusastraan Jawa yang disusun pada awal abad ke-19, dengan genre puisi panjang yang digubah dalam bentuk lagu. Serat Centhini digagas oleh Putera Mahkota Kerajaan Surakarta, Adipati Anom Amangkunagara III yang kemudian menduduki tahta dengan gelar Sunan Paku Buwana V.

“Setelah menjadi raja, kata dia, Sunan Paku Buwana V meminta tiga pujangga keraton, yaitu Ranggasutrasna, Yasadipura II dan Sastradipura untuk meneruskan penulisan cerita mengenai segala hal tentang kehidupan dalam bentuk tembang macapat. Serat Centhini ditulis selama kurang lebih 9 tahun, dari tahun 1814 hingga 1823 Masehi,” tuturnya.

Baca Juga:  Pencak Silat Budaya Ramaikan Jakarta Sport Festival 2024

Menurut dia Serat Centhini berisi tentang sejarah, pendidikan, geografi, arsitektur, falsafah, agama, mistik, ramalan, sulapan, ilmu kekebalan, perlambang, hingga perihal flora, fauna, dan seni. “Dalam kitab ini juga terdapat ulasan mengenai khazanah erotika,” terang dia.

Naskah ini dapat dikatakan sebagai “ensiklopedi” kehidupan orang Jawa sampai awal abad ke-19. Khusus mengenai ulasan tentang seksualitas, hal itu memperlihatkan pandangan khas yang bertolak dari Tantrayana yang berkembang pada masamasa sebelumnya, yaitu pada masa Singasari dan Majapahit. “Pandangan tentang seksualitas semacam itu tidak hanya terdapat pada kitab-kitab sastra klasik, melainkan berlanjut pada karya sastra kontemporer,” imbunya.

Tak hanya itu, dalam kurun 10 tahun terakhir, kata Yoke, Serat Centhini muncul dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris dengan versi lebih singkat, pelbagai novelisasi, seni tari, teater, fotografi, ziarah perjalanan tempat-tempat dan rekontruksi kuliner yang tercantum di dalamnya. “Segala kegiatan tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap Serat Centhini sebagai kitab klasik budaya Jawa,” cetus Yoke meyakinkan.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Dia menilai bahwa, selain Serat Centhini, di Nusantara terdapat epos panjang, bahkan dapat dikatakan yang terpanjang di dunia, yaitu Sureq Galigo atau I La Galigo yang diciptakan oleh masyarakat Bugis pada abad ke-13.

“Yaitu kitab besar yang berisi kisah penciptaan manusia dan petualangan tokoh Sawerigading ke berbagai penjuru dunia. Kitab ini,  dapat dikatakan sebagai “esiklopedi” dari Bugis tentang kehidupan manusia dan segala hal yang berkaitan dengan alam semesta.” tambahnya lagi.

Adapun tema perhelatan yang melibatkan para budayawan terkemuka, akademisi, pakar sejarah, sastrawan, arkeolog, rohaniwan, penulis buku, dalang, filolog dan sebagainya tahun memilih tema: “Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara”.

Perhelatan yang diselenggarakan oleh Samana Foundation ini akan digelar di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, dan Yogyakarta, pada tanggal 5-8 Oktober 2016. Acara utama perhelatan ini adalah seminar, pidato kebudayaan, musyawarah penerbit-penulis, workshop penulisan cerita pendek, pemutaran film, pameran foto, pameran lukisan, pameran buku, pementasan pergelaran kesenian dari berbagai daerah di Indonesia, dan pemberian penghargaan Sang Hyang Kamahayanikan Award.

Baca Juga:  Ketum APTIKNAS Apresiasi Rekor MURI Menteri Kebudayaan RI Pertama

Pada pertemuan tersebut akan tampil para pembicara seperti Prof. Dr. Timbul Haryono, Prof. Dr. Robert Sibarani, Dr. Halilintar Lathief, Dr. Karsono W. Saputro, Dr. Muhlis Hadrawi, Dr. Gadis Arivia, Dr. Emanuel Subangun, Dr. Katrin Bandel, Sudibyo, M Hum., Arswendo Atmowiloto, Dr. Kris Budiman, Prof. Dr. Suwardi Endraswara, Prof. Dr. Faruk HT, Elizabeth D. Inandiak, Kartika Setyowati, Drs. Dwi Cahyono, M.Hum., Agus Wahyudi, KH. Agus Sunyoto, Tommy Christomy, Ph.D., Salfia Rahmawati, Raja Suzana, Dinar Rahayu, dll. Festival ini juga terbuka bagi masyarakat umum, baik sebagai peserta maupun penonton.

Acara pertunjukan seni akan menampilkan kesenian dari Komunitas Lima Gunung, monolog Happy Salma, pementasan PM Toh, pembacaan puisi para penyair dari berbagai daerah, Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan), Reyog Bulkiyo, Blitar, Gazer Lana, dll. Samana Foundation sebagai penyelenggara festival ini adalah sebuah lembaga nir-laba yang didirikan oleh sekelompok anak muda pecinta sejarah dan budaya Nusantara. Kali ini Samana Foundation bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif. (Selandang)

Related Posts

No Content Available