7 Kasus Jual Beli Fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan

lembaga permasyarakatan, rumah tahanan, jual beli fasilitas, fasilitas lapas, fasilitas rutan, institusi lembaga permasyarakatan, dirjen pemasyarakatan, nusantara, nusantara news, nusantaranewsco, nusantaranews
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan). (Foto: Istimewa)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Indonesian Club kembali membongkar praktik jual beli fasilitas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan). Disebutkan, praktik tersebut bukanlah hal baru karena sudah berlangsung sejak lama, bahkan terjadi hampir di semua Lapas di seluruh Indonesia.

Budaya jual beli fasilitas ini, katanya, telah mengakar kuat dan menjadi bisnis kotor di dalam institusi Lembaga Pemasyarakatan. Terkesan ada pembiaran dan sengaja dipelihara karena dari level bawahan hingga atas di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merasa menikmati.

“Sudah hampir 5 tahun Menteri Hukum dan HAM Bapak Yasonna Laoly menjalankan tugasnya, namun praktek jual beli fasilitas Lapas tak pernah berhenti justru makin parah,” ungkap Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro, Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Menurut Gigih, terbongkarnya praktek jual beli fasilitas di Lapas Sukamiskin dan beberapa lapas lain beberapa waktu lalu seperti puncak gunung es yang menyisakan banyak persoalan. Buruknya sistem pengelolaan Lapas telah menjadi bom waktu yang siap meledak kapanpun dan akan menggerus wibawa Kementrian Hukum dan Ham, katanya.

Kata Gigih, berdasarkan hasil investigasi dan laporan masyarakat yang dikumpulkan sebagai tindak lanjut dari investigasi tentang jual beli jabatan di beberapa Lapas di Indonesia pada tahun 2017.

“Dari 528 Lapas yang ada, hampir 75 persen terjadi praktek jual beli fasilitas. Temuan kami di lapangan memperlihatkan jual beli fasilitas dengan modus operandinya,” ujarnya.

Pertama, Lapas Perempuan Kelas IIA Martapura, Kalsel. Modus jual beli remisi letter F kepada napi dengan tarif antara Rp 2-10 juta. Diduga aktor lapangan bagian register (S) yang diketahui Kalapas (Y) dan memiliki ATM berjalan dari Napi Narkoba yang dijadikan Tamping (tahanan pendamping).

Kedua, Rutan Klas I Cipinang, jual beli Pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, remisi kepada napi-napi dengan berbagai modus diduga dikoordinir oleh salah satu pejabat (H), semua urusan di Lapas harus pakai uang.

Ketiga, Rutan Kelas IA Surabaya memperjual belikan remisi kepada napi narkoba dengan berbagai tarif yang berkisar antara Rp 3-20 juta. Diduga, aktor lapangan bagian Kasubsie Adminitrasi dan Perawatan Rutan (WIK) atas sepengetahuan Kalapas (TP). Bahkan, ada jual beli untuk tidak dipindah ke Rutan lain dengan tarif Rp 10 juta.

Keempat, Lapas Klas II A pemuda Tangerang. Jual beli remisi kepada napi narkoba dengan tarif antara Rp 3-Rp 10 juta. Diduga aktor lapangan adalah Kasubsie register (TA).

Kelima, Rutan Kelas I Palembang. Modus jual beli remisi kepada napi dengan tarif Rp 2-5 juta yang diduga sebagai aktor utamanya oknum Rutan (M).

Keenam, Rutan Klas II Balikpapan. Jual beli fasilitas kamar. Untuk mengurus pembebasan bersyarat dan cuti bersyarat dengan tarif minimal Rp 5 juta, mau menjadi tamping harus membayar Rp 5 juta.

Ketujuh, Lapas Klas III Bayur Samarinda. “Kami mendapatkan informasi untuk memilih kamar dengan tarif minimal Rp 2 juta. Jual beli pembebasan bersyarat dan remisi. Untuk menjadi tamping harus membayar minim Rp 3 juta. Peredaran narkoba masih terjadi di dalam Lapas. Aktor lapangan oknum Kasubsi dan Kalapas,” ungkap Gigih.

Dia menambahkan, fakta di atas merupakan contoh kecil berbagai fasilitas Lapas di komersilkan hanya untuk melanggengkan kekuasaannya.

“Tentu Mereka tidak bekerja sendirian, ada sindikasi keterlibatan pejabat lain yang dilakukan secara sistematis, terstruktur dan sudah berlangsung lama. Sindikasi kejahatan ini telah berubah menjadi kerajaan bisnis tersendiri dari kelompok kepentingan yang berlindung di balik institusi Hukum dan Ham,” bebernya.

(gn/eda/myp)

Editor: M Yahya Suprabana

Exit mobile version