NUSANTARANEWS.CO – Maulid Nabi Muhammad SAW usai dilaksanakan dengan segenap kekhidmatan dan kekhusyu’an. Kerinduan kepada sang Nabi empunya rahmat bagi saluruh alam diluapkan dengan nyanyian haru sholawat yang indah. Di masjid-masjid, umat Islam membaca shalawat nabi dengan harapan mendapat syafaat dan menggangsi hati lagi supaya mampu meneladani sifat dan prilaku nabi.
Alangkah indahnya, alangkah tentramnya kehidupan, khususnya di Indonesia. Bilamana umat Islam yang mayoritas ini, mampu berlaku jujur sebagaimana sifat nabi yang pertama. Jujur dalam berpikir, berbicara, dan bertindak ialah kemuliaan pembawa berkah bagi kehidupan yang beradilan. Ingat sebuah jargon KPK yang dikampanyekan setiap waktu bahwa, “Jujur itu Hebat!”.
Benarlah demikian! Sebab menjadikan diri untuk jujur adalah pekerjaan yang ternyata tidak semudah dalam bayangan. Terbukti, Indonesia menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi ada karena kejujuran tidak ada. Dengan lain kata, hidup tak lagi berkualitas dan tanpa daya.
Mumpung masih ingat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, dengan bacaan sholawat dan suguhan buah-buahan ranum, mari membaca diri lagi. Kemudia dengan tanpa banyak berkhayal tentang kesejahteraan dan kemaslahatan, tegakkan komitmen diri untuk jujur sejak buah-buah ranum Maulid habis dalam genggaman.
Sungguh, seharusnya umat Islam malu dengan prestasi para koruptor ulung di Republik Indonesia tercinta ini. Toh, koruptor-koruptor itu ternyata mayoritas juga menjalankan tradisi memperingati maulid nabi. Bahkan, juga menyerukan supaya umat Islam Indonesia untuk meneladani sifat-sifat nabi. Gombal!
Sekali lagi, umat Islam Indonesia mestinya malu. Sebab, Islam yang merupakan agama terbesar di Indonesia, hingga kemerdekaan Indonesia di usia ke-71, Indonesia belum mampu bangkit dari keterpurukan. Disinilah paradoks kehidupan menjadi nampak rumit. Dimana Islam sebagai agama terbesar yang mestinya menjadi penggerak kebudayaan Indonesia yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Hingga kini masih terseok-seok terseret propaganda dunia.
Dulu, mendiang penyair WS Rendra yang notabene mu’allaf, berani menyatakan keperihatiannya terhadap keadaan umat Islam Indonesia. Apa yang Rendra prihatinkan, tak lain dan tak bukan adalah ketidakhadiran umat Islam dalam segala lini kehidupan secara fungsional.
Menurut Rendra, eksistensi ummat Islam memang besar, akan tetapi mereka tidak mampu memfungsikan kebesarannya. Dengan kata lain peran ummat Islam dalam masyarakat sangat kecil, tidak sesuai dengan kuantitas dan mayoritas jumlah pemeluknya. Karena itulah, Rendra menyatakan, bagaimana umat Islam kembali merenung dan introspeksi serta memikirkannya dengan serius. Sehingga ummat Islam mampu meletakkan dirinya pada proporsi dan posisi yang sebenarnya dalam keutuhan kebudayaan Indonesia.
Di samping itu, lanjut Rendra, ummat Islam di Indonesia harus hadir secara fungsional dalam tata kehidupan masyarakat; menjadi sahabat kemanusiaan, pemberi “rahmat” bagi dunia secara universal, tanpa meromantisir diri sebagai dewa-dewa yang tidak boleh dijamah dan dikritik.
Baca: HAKI 2016, Cak Imin: Masyarakatnya Religius, Korupsinya Tinggi
Apa yang Rendra kemukakan, tercermin dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum di Indonesia. Persis seperti yang diungkapkan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menjelaskan korupsi biasanya mengacu kepada segelintir kelompok atau perorangan yang menggunakan suatu posisi kekuasaan atau posisi tumpuan kepercayaan orang, untuk memperoleh keuntungan secara tidak jujur.
“(Korupsi) memang mengindikasikan banyak hal, namun esensi utamanya bahwa prilaku transaksional kelompok atau perorangan belum signigicant berubah. Itu sebabnya ada tanggapan semua, kita melakukan sesuatu sedikit saja berbeda dengan sebelum reformasi,” tuturnya melalui pesan singkat kepada nusantaranews.co, di Jakarta, Jumat, (9/12/2016).
Lantas upaya apa yang dilakukan oleh lembaga antirasuah untuk meminimalisir hal tersebut? (Baca: Ucapan Tak Sesuai dengan Tindakan Penyebab Suburnya Korupsi di Indonesia)
“Upaya yang dilakukan oleh KPK baik dengan pendekatan pencegahan dan penyidikan. Hambatan utamanya ialah bahwa pikiran, ucapan dengan tindakan kita tidak seiring. Karena kita tidak mau berubah, sejumlah kebijakan strategis dan taktis dibangun namun tidak maksimal untuk menghasilkan perubahan. Karena karakter kita rapuh, akibatnya ingtegritas kita, yah seperti yang kita saksikan. Jadi perlu semua komponen merenung,” pungkasnya. (Didik Hariyanto)