Tragedi Memilukan dalam Karya Sastra

Tragedi Memilukan dalam Karya Sastra
Tragedi Memilukan dalam Karya Sastra

Tragedi Memilukan dalam Karya Sastra

Istilah “juggernaut”, bila diterjemahkan secara bebas berarti suatu penemuan ilmiah berlatar teknologi tinggi yang pada awalnya bisa disetting dan diarahkan, tetapi lambat laun bergerak di luar kontrol dan kendali penciptanya.
 Oleh: Eeng Nurhaeni

 

Dalam literatur Islam dikenal istilah “istidraj”, yakni hasrat duniawi yang menaikkan derajat seseorang setahap demi setahap, namun kesuksesan yang diraihnya tidak mendatangkan kebahagiaan dan ketentraman hidup. Selalu saja dirundung masalah dan malapetaka, padahal segala keinginan duniawi sudah tercapai, baik pangkat, titel, kedudukan, harta maupun kekuasaan.

Kadang sang pemikul istidraj mengira bahwa apa-apa yang telah dicapainya adalah “karomah” padahal hanya semu, nisbi, dan fatamorgana belaka. Di dunia sastra, kita sering mengamati alur cerita yang berakhir dengan suasana chaos, absurd atau “sad ending”, yakni akhir cerita yang menimbulkan malapateka mengenaskan yang dialami para tokohnya. Misalnya Yukio Mishima (Jepang) yang pernah menyuguhkan novel menarik berjudul “Kuil Kencana”, tentang perjalanan dinasti yang dibanggakan selama berabad-abad dalam tradisi bushido samurai. Tapi kemudian, istana kekaisaran yang megah itu, akhirnya luluh-lantak dan hancur-lebur oleh kelengahan manajemen internal yang ternyata korup, rapuh dan keropos.

Kondisi yang terperangkap dalam juggernaut, seringkali dibangga-banggakan dunia pos-modern sebagai simbol kemajuan dan kemegahan. Namun pada waktunya, ia dapat bergerak di luar kontrol seakan-akan sulit dikendalikan (unstoppable). Pada prinsipnya, juggernaut terjadi karena para penciptanya tidak mengoptimalkan fungsi nalar dan akal sehatnya secara manusiawi. Ia hanya menuruti kemauan ego dan hawa nafsu untuk mengejar target-target secara obsesif dan ambisius, tanpa punya kemampuan untuk mengukur risiko dengan sebaik-baiknya.

Hal tersebut mengingatkan kita pada kisah menegangkan dalam film “Frankenstein” yang disutradarai Paul McGuigan (2015), seakan kita membayangkan awal penciptaan manusia sebagai khalifah yang ditentang oleh Iblis karena keangkuhan dan kesombongannya. Film ini diangkat dari novel Mary Shelley, dengan judul yang sama, “Victor Frankenstein”, berkisah tentang Victor yang berambisi menghidupkan kembali orang yang sudah mati dalam percobaan laboratoriumnya. Namun, tanpa diduga oleh Victor sendiri, sang mayat bisa berkembang menjadi monster raksasa yang kemudian meneror penciptanya sendiri.

Tetapi pada prinsipnya, baik mereka yang menuhankan rasio maupun yang irasional, sama-sama mengambil peran sebagai perampas atau pengambil-alih hak prerogatif Tuhan dengan menciptakan iklim ketakseimbangan yang bersifat korup. Ilmu dan logika yang dipakainya seakan berseberangan dengan hukum alam (sunatullah) yang merupakan keniscayaan bagi munculnya peradaban baru yang dipelopori manusia-manusia beriman dan berperadaban tinggi.

Di sisi lain, sifat dari juggernaut nampaknya megah dan mentereng, tetapi sesungguhnya hanyalah semu dan fatamorgana belaka. Kita juga memahami karakteristik fatamorgana yang seakan-akan air di tengah panas terik matahari, sangat menggiurkan bagi yang haus dan dahaga. Tapi faktanya, hanyalah bayang-bayang semu belaka. Terkait dengan ini, berapa banyak penguasa-penguasa lalim di muka bumi ini yang telah diberi kesempatan berkuasa selama puluhan tahun. Karena memang waktu puluhan tahun hanyalah sesaat, tak berarti apa-apa di mata Tuhan. Juga harta kekayaan dengan segala aksesoris berlapis emas dan permata, tak punya arti apa-apa di mata Tuhan. Sangat mudah bangi Tuhan untuk mewujudkannya, sebagaimana mudahnya Ia untuk menariknya kembali.

Kalau yang dicari bangsa ini hanya “izin Allah” dan bukan “ridho Allah”, sangat mudah bagi-Nya untuk mewujudkan keinginan seseorang tercapai seketika. Seorang politisi juga bisa meraih kemegahan dan kekuasaan hingga puluhan tahun, atau bahkan memperoleh umur panjang hingga 100 tahun. Tapi apalah arti 100 tahun dalam perhitungan waktu Tuhan? Apalah arti uang milyaran ataupun tinggi kedudukan dan jabatan, semuanya itu kecil dan nihil semata di mata Tuhan.

Anda bisa saja memaksa Tuhan agar meraih apa-apa yang bukan merupakan takdir hidup Anda. Tapi jangan lupa, semua itu hanyalah “istidraj” atau “juggernaut” yang pada akhirnya nanti akan menggilas Anda dalam percaturan sejarah.

Hanya Tuhan Yang Maha menentukan rejeki dan ajal dari setiap makhluk-makhluk-Nya. Tidak ada jaminan bagi sang dukun yang meneluh dan menyantet wartawan akan lebih panjang umurnya ketimbang wartawan yang disantetnya. Biarpun ada kekuatan mistik yang merecoki dan menutup pintu bagi penyebaran ilmu melalui media massa maupun daring, Tuhan sudah memperingatkan kami tentang adanya ribuan pintu untuk penyebaran ilmu demi pencerdasan dan pendewasaan rakyat Indonesia.

Saat ini, masyarakat kita sudah memasuki era kecerdasan dan kesadaran untuk membuka dan berkaca diri. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi untuk mendakwahkan ilmu Tuhan, meskipun terasa pahit bagi yang mendengar dan membacanya. Bagi yang terkungkung pada mindset lama (mitos-mitos leluhur) kiranya perlu memahami proses disrupsi ini. Memang tidak mengenakkan bagi yang terlampau membanggakan status quo, tetapi toh hukum alam terus berjalan. Dan selalu yang menjadi pemenang adalah pemikiran yang memiliki dimensi lebih tinggi, daripada yang dangkal, urik dan instan belaka.

Ingin saya akhiri tulisan ini, sambil mengutip film yang diangkat dari kisah nyata “All The Money In The World” (sutradara Ridley Scott). Digambarkan dalam film tersebut, bagaimana kekayaan yang dihasilkan dinasti pengusaha minyak Paul Getty, harus menelan korban cucunya yang kemudian disandera teroris, sehingga Getty pun berkata: “Ada satu masalah penting yang didambakan orang-orang kaya di seluruh dunia, yakni kebebasan. Orang yang terlanjur kaya seperti saya bagaikan hidup di atas tebing jurang yang menganga, tak bisa bebas ke mana-mana. Kalaupun bukan saya yang terperosok jurang itu, ia bisa mengorbankan rumah-tangga, perkawinan, anak-cucu maupun saudara-kerabat sendiri.”

Pesan moral dari film tersebut sehaluan dengan novel Perasaan Orang Banten, bahwa hakikat juggernaut (istidraj) sesungguhnya karena ulah perbuatan tangan-tangan manusia, berdasarkan nafsu eksplorasi berlebihan yang tak terkendali. Bedanya dalam novel tersebut, sang penulis menampilkan narasi-narasi estetis, di samping para tokohnya menghadapi nasib tragis (absurd) karena ulah perbuatannya, tetapi juga diberikan solusi yang genuine mengenai jalan keluarnya.

Tetapi seumumnya sastrawan dan sineas Barat yang mendasarkan karyanya pada absurditas (eksistensialime), mereka akan membiarkan tokoh-tokohnya jatuh terpuruk ke dalam jurang-jurang, dengan tetap membiarkan para pembaca mengambil hikmah dari keterpurukan itu. ***

Penulis: Eeng Nurhaeni, menulis opini dan esai keislaman di berbagai media nasional dan lokal,
Exit mobile version