Kita masih ingat kedekatan sosok Zaid bin Tsabit dengan pribadi Rasulullah. Ketika bocah berusia belasan tahun, Zaid sudah dikenal sebagai penulis yang produktif, juga sanggup menghafal 17 surah Alquran dan membacakannya secara fasih.
Oleh: Eeng Nurhaeni
Dalam sejarah Islam, Nabi pernah melarangnya untuk turut-serta dalam pertempuran Badar. Di samping usianya yang masih belia, Nabi juga seakan membaca prospeknya sebagai bocah cerdas dan jenius, hingga kelak mengangkatnya sebagai sekretaris pribadi.
Ketika beranjak dewasa, Rasul pernah memerintahkannya agar mendalami bahasa Ibrani, yang biasa dipakai oleh kebanyakan orang Yahudi. Tak berapa lama, ia pun dengan cepat menguasai bahasa Ibrani, sampai kemudian Rasul bukan hanya mengangkatnya selaku sekretaris, melainkan juga sebagai penerjemah (mutarjim) dalam urusan-urusan lintas bahasa dan negara. Selain itu, tiapkali wahyu turun, Rasul seringkali mencari-cari Zaid dan menyuruhnya agar segera mendokumentasikan, karena ia memang ahli dan cekatan dalam soal-soal kearsipan.
Sepeninggal Nabi, Zaid-lah yang menjadi rujukan utama perihal wahyu-wahyu yang diturunkan, hingga kemudian – di masa Khalifah Abu Bakar – Zaid ditunjuk selaku ketua panitia penghimpunan Alquran, sekaligus editor utama pada saat Alquran disepakati menjadi satu mushaf di masa kekhalifahan Utsman bin Affan.
Posisinya yang tinggi sebagai ilmuwan muslim (ulama) diakui oleh Abdullah Ibnu Abbas, seorang kerabat Nabi yang juga dikenal dengan keluhuran dan kekayaan ilmunya. Suatu hari, ketika rombongan Ibnu Abbas berjumpa dengan Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas turun dari kudanya seraya menunduk dan menjabat tangannya dengan penuh hormat. Seketika itu, Zaid pun turun dari kudanya seraya menghormat pada Ibnu Abbas. Ketika seorang sahabat bertanya, kenapa Ibnu Abbas begitu menghormati Zaid, ia pun menjawab: “Kita diperintahkan untuk menghormati setiap ahli ilmu.”
Lalu sebaliknya, kenapa Zaid juga begitu menghormati Ibnu Abbas, padahal ia lebih sepuh dan senior darinya. Seketika, Zaid pun menjawab: “Kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Rasulullah.”
Di hari kematian Zaid, para sahabat sangat berduka dan merasa kehilangan. Tak terkecuali Abu Hurairah yang serta-merta berkomentar, “Hari ini, kita telah kehilangan Sahabat Zaid bin Tsabit, beliau adalah sumber dan lautan ilmu, semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penerusnya.”
Karya-karya Imam At-Thabari
Setiap pemikir dan ilmuwan seumumnya layak disebut “mujtahid” yang independen. Ia tidak berafiliasi pada mazhab dan partai apapun. Ia bisa tampil seakan mendirikan mazhab tersendiri, sebagaimana para pengikut Imam Thabari yang menamakan jamaahnya sebagai pengikut “mazhab Thabariyah”.
Karya-karya Imam Thabari tetap bertahan dan diakui validitasnya hingga memasuki era milenial ini. Tafsir At-Thabari terbit dalam 24 jilid, dan terus menjadi rujuan dan kajian-kajian ilmu yang sangat berharga hingga saat ini. Judul asli dari karangan tafsir tersebut adalah “Jami Al-Bayan (at-ta’wil ayil qur’an)”. Buku sejarah yang ditulis Imam Thabari juga dikenal dengan nama “Tarikh At-Thabari”, meskipun judul aslinya adalah “Tarikh ar-Rusul wal Muluk”. Buku ini dengan cermat mengisahkan perjalanan hidup para rasul dan raja-raja terdahulu.
Selain itu, ada “Tahdhib al-Athar”, sebuah koleksi hadis-hadis Nabi yang disusun sesuai alfabet, berdasarkan urutan nama-nama sahabat yang menjadi rujukan dan sumber periwayatan. Banyak ulama dan intelektual muslim menilai karya ini sebagai salah satu kitab koleksi hadis terbaik, meskipun kepopulerannya masih di bawah himpunan Bukhari-Muslim.
Warisan Luhur Literasi Islam
Tradisi literasi yang diajarkan para ilmuwan dan intelektual muslim seharusnya mengejawantah dalam kehidupan para intelektual muslim Indonesia. Umat Islam telah mewarisi tradisi ilmu pengetahuan yang sangat kaya. Ada ribuan ulama dan ilmuwan muslim yang mewarisi genuinitas Zaid bin Tsabit hingga Imam Thabari, serta mampu menggoreskan penanya hingga ribuan dan jutaan lembar kertas. Senantiasa kita merasa bangga dengan tradisi luhur ini, hingga layak bagi umat Islam mendapat predikat “the nation of knowledge”. Suatu bangsa yang memiliki etos pengetahuan, dan layak menjadi contoh dan teladan bagi umat-umat lainnya.
Di sisi lain, kita juga bisa mengutip kitab “As-Silah” yang ditulis Abu Muhammad Farghani (w.362 H), sahabat dekat Imam Thabari: “Syekh Muhammad Al-Maliki menyebutkan murid-murid Imam Thabari yang mencoba menghitung seluruh karya yang pernah ditulisnya, kemudian dibagi dengan jumlah umur dalam hidupnya (86 tahun). Hasilnya adalah sebagai berikut: setiap hari Imam Thabari telah menulis sebanyak 28 halaman kertas, yang telah ia lakukan nonstop sepanjanag hidupnya.”
Dengan demikian, alangkahkah tepat jika Islam pantas dinyatakan sebagai agama yang luhur (ya’lu wala yu’la alaihi). Dan kita harus yakin tentang kebesaran dan keutamaan kaum muslimin, yang merupakan umat yang paling tangguh dan paling siap menghadapi tantangan di era milenial ini. (*)