Tiga Wisata Museum Terpopuler di Aceh

Museum Tsunami Aceh. Foto: indesignesia

Museum Tsunami Aceh. Foto: indesignesia

NUSANTARANEWS.CO – Kata apa yang terucap ketika kita mendengar kata Aceh? Paling banyak munkin kata “Serambi Mekah”, “Sabang” dan “Tunami”. Itulah kata paling populer setidaknya kata sejumlah orang. Pastinya dengan pengalaman masing-masing.

Aceh memah berjuluk kota serambi mekah yang berada di ujung barat Indonesia. Aceh juga pernah ditimpa musibah berupa trunami tahun 2004 silam. Karenanya, tiga kata di atas menjadi populer ketika teringat Aceh.

Tapi, Aceh sangat kaya dengan wisata alam, kuliner, juga seni tradisi yang menjadi budaya di ujung barat sana. Ratusan destinasi wisata ada di sana. Mulai dari danau, lembah, pantai, air terjun, museum, taman nasional, makam wali dan raja, serta masih banyak lagi ragamnya.

Jadi, bagi para wisatawan atau bagi pembaca budiman yang ingin ke Aceh atau belum punya rencana tapi ingin pergi liburan, tak ada salahnya mencatat beberapa tempat wisata di Aceh ini. Redaksi telah memilihkan tiga wisata sejarah berupa museum di Aceh.

Ketiganya adalah Museum Tsunami Aceh, Museum Negeri Aceh dan Museum Rumah Cut Nyak Dhien. Mengapa dan bagaimana Anda haru sampai di tiga tempat wisata sejarah di ujung barat tanah air itu? Gampang, redaksi akan mengantar Anda melalui secuil informasi di bawah ini:

Museum Tsunami Aceh

Salah satu Koleksi di Museum Tsunami Aceh. Foto: ntnews.com.au

Museum ini berlokasi di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 3, Sukaramai, Baiturrahman, Kota Banda Aceh, Aceh. Sebagaimana lazimnya, museum ini sesuai dengan namanya berisi tentang benda-benda keras dan lunak seputar Tsunami. Bagi yang masih trauma dengan musibah tersebut, diwanti-wanti untuk tidak memasukinya. Why?

Sebab, kata sumber terpercaya pernah kesana, megitu masuk museum, serasa memasuki lorong gelap gelombang tsunami dengan ketinggian 40 meter dengan efek air jatuh. Setelah melewati tempat ini, puluhan standing screen menyajikan foto-foto pasca tsunami berupa kerusakan dan kehancuran serta kematian, yang penuh dengan gambar korban dan gambar pertolongan terhadap mereka.

Setelah itu masuk “Ruang Penentuan Nasib” atau “Fighting Room”, sering disebut juga The Light of God. Ruangan ini berbentuk seperti cerobong semi-gelap dengan tulisan Allah dibagian puncaknya. Keluar dari sini anda akan melihat banyak foto raksasa dan artefak tsunami. Misalnya: jam berdiri besar yang mati saat waktu menunjukkan pukul 8.17 menit atau foto jam Mesjid Raya Baiturrahman yang jatuh dan mati juga pada saat tersebut.

Artefak lainnya ialah miniatur-miniatur tentang tsunami. Misal, orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut dan berlarian menyelamatkan diri saat gelombang melebihi tinggi pohon kelapa menerjang mereka. atau bangunan-bangunan rumah yang porak-poranda oleh gempa sebelum datang air bah “membersihkannya”.

Di lantai tiga terdapat bermacam-macam sarana pengetahuan gempa dan tsunami berbasis iptek. Diantaranya sejarah dan potensi tsunami di seluruh titik bumi, simulasi meletusnya gunung api di seluruh Indonesia, simulasi gempa yang bisa disetel seberapa skala richtel yang kita mau dan kalau beruntung anda juga bisa “ikut menikmati” simulasi 4D (empat dimensi) kejadian gempa dan tsunami. Selain itu juga terdapat desain ideal rancangan tata ruang bagi wilayah yang punya potensi tsunami.

Selain benda-benda yang bisa dilihat, berkunjung ke museum ini, anda bisa menikmati beberapa kue kering khas Aceh seperti keukarah, ceupet kuet, gula u tarek dan lainnya di Ruang Souvenir. Terdapat juga kaos-kaos dan souvenir khas Aceh seperti rencong, bros rencong dan bros pinto aceh dan ada banyak lagi. Turun ke bawah, anda bisa bersantai dipinggir kolam jembatan Harapan sambil melihat ikan-ikan hias yang berenang ke sana kemari atau mengambil beberapa moment foto di geladak museum.

Museum Negeri Aceh

Museum Negeri Aceh. Foto: IndonesiaKaya.com

Posisi Museum terletak di Jalan Sultan Alaiddin Mahmudsyah No.10, Baiturrahman, Peuniti, Baiturrahman, Kota Banda Aceh. Museum ini menyimpan berbagai pernak-pernik peninggalan sejarah masyarakat Aceh sejak era prasejarah. Berbagai jenis perkakas, peralatan pertanian, peralatan rumah tangga, senjata tradisional dan pakaian tradisional ada di dalamnya. Tak hanya itu, berbagai koleksi manuskrip kuno, dokumentasi foto sejarah dan maket dari perkembangan Masjid Agung Baiturrahman pun tersedia.

Menerut sumber NusantaraNews.co, museum ini didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda yang diresmikan pada tanggal 31 Juli 1915 oleh Gubernur Sipil dan Militer Aceh Jenderal H.N.A Swart. Museum ini dikepalai oleh FW Stammeshaus yang menjabat sebagai Kepala Museum sekaligus Kurator hingga tahun 1931.

Waktu itu, museum ini hanya berbentuk sebuah rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh) yang keberadaannya masih tetap dipertahankan dalam area halaman museum hingga saat ini. Bangunan berbahan dasar kayu ini berbentuk rumah panggung dengan sistem konstruksi pasak yang dapat dibongkar pasang secara fleksibel.

Rumoh Aceh dipertunjukkan dalam Pameran Kolonial (De Koloniale Tentoonsteling) yang berlangsung di Semarang pada tahun sebelumnya. Dalam pameran tersebut, kebanyakan koleksi di Paviliun Aceh merupakan koleksi pribadi Stammeshaus ditambah berbagai koleksi benda pusaka peninggalan kesultanan Aceh. Dalam pameran ini, Rumoh Aceh memperoleh anugerah sebagai Paviliun terbaik dengan perolehan 4 medali emas, 11 perak serta 3 perunggu untuk berbagai kategori.

Diantara koleksi yang cukup populer dari museum ini adalah sebuah lonceng yang usianya telah mencapai 1400 tahun. Lonceng ini bernama ‘Lonceng Cakra Donya’ yang merupakkan hadiah dari Kaisar Cina dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad Ke-15, yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho. Lonceng ini dibawa ke Aceh saat Sultan Ali Mughayat Syah dari Kesultanan Aceh menaklukkan Pasai pada tahun 1524 M.

Museum Rumah Cut Nyak Dhien

Museum Rumah Cut Nyak Dhien. Foto: @paramastrianindha

Museum ini berada di Lampisang, Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. Koleksi museum ini sangat banyak dan beragam. Di halaman museum terdapat sebuah Rumoh Aceh (Rumah Aceh) lengkap dengan ukiran khas Aceh serta koleksi barang antik di dalam rumah tersebut.
Sedangkan di samping pintu utama museum Aceh, terdapat lonceng cakra donya, dimana lonceng tersebut adalah lonceng yang diberikan oleh Laksamana Cheng Ho, seorang kaisar china kepada sultan Aceh sebagai bentuk persahabatan kedua negara.

Rumah ini merupakan bangunan baru hasil renovasi rumah Teuku Umar yang dibakar Belanda. Sebagaimana bangunan khas Aceh, berupa rumah panggung dengan berbagai ruangan, ada kamar tidur utama, kamar tidur pembantu, kamar tidur pengawal, ruang tamu, ruang makan serta dapur. Rumah dilengkapi dengan sebuah sumur yang dibuat tinggi permukaan bibirnya.

Hal ini dikatakan oleh pemandu agar tidak dapat diracun airnya. Dalam beranda dilengkapi berbagai dokumentasi dan gambar-gambar, seperti silsilah Tjut Nyak Dhien dan Teuku Umar, foto perjuangan beliau dll.

Penulis: Istiara Sekar Panggalih
Editor: Achmad S.

Exit mobile version