NUSANTARANEWS.CO – Terkait landasan hukum untuk penetapan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama setidaknya ada tiga model teknis hukum yang bisa ditempuh. Hal ini dibenarkan oleh M Taufik Budiman selaku Direktur Eksekutif Nasional Lembaga Badan Hukum (LBH) Solidaritas Indonesia.
“Secara teknis hukum, setidaknya ada 3 aturan yang digunakan Penyidik Polri dalam memproses kasus pidana, yaitu; KUHAP, Per Kapolri tentang Manajemen Penyidikan, dan Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014,” ungkap M Taufik Budiman kepada Nusantaranews, Sabtu (5/11/2016).
Lebih lanjut Taufik menjelaskan dalam KUHAP, pasal 20, 21 telah secara jelas mengatur kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan terhadap tersangka pelaku dugaan tindak pidana.
“Pada pasal lain, juga telah dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan sebutan tersangka dan kapan seseorang bisa dijadikan tersangka, termasuk apa saja yang menjadi hak-hak tersangka,” imbuhnya.
Dalam pasal 3 Peraturan Kapolri (Perkap) sudah disebutkan bahwa prinsip manajemen penyidikan antara lain legalitas, profesional, proporsional, prosedural, transparan, akuntabel serta efektif dan efisien.
Selanjutnya menurut Taufik, Perkap tersebut mengatur secara detail tentang proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk rencana waktu dan penentuan bobot (urgensi dan atensi) penanganan perkara.
Sementara itu, dalam pasal 71 ayat (2), gelar perkara khusus bisa dilakukan jika kasus tersebut menjadi perhatian publik secara luas atau berdampak massal atau kontinjensi. Hal ini cukup menguatkan sebagai acuan untuk mengkasuskan Ahok.
Berikutnya dalam alasan kuat untuk memproses tindak pidana Ahok. Hal ini mengacu pada Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang diputuskan pada tanggal 28 April 2015. Menyebutkan antara lain; status tersangka hanya dapat dikenakan terhadap seseorang jika orang tersebut sebelumnya telah diperiksa dalam status yang lain (bukan/calon tersangka). (Adhon)