‘Terorisme’ Bukan Bahasa Indonesia

akar terorisme, penyebab terorisme, motif teroris, aksi terorisme, kemiskinan, studi terorisme, osama bin laden, anders breivik, nusantaranews
Pelaku tunggal serangan Norwegia 2011, Anders Behring Breivik. (Foto: Getty)

NUSANTARANEWS.CO, JakartaTerorisme bukan bahasa Indonesia. Kamus Oxford versi online mendefinisikan istilah terorisme adalah penggunaan tidak resmi dan tidak sah dari kekerasan dan intimidasi dalam mengejar tujuan politik. Sayangnya, definisi ini tidak menjadi konsesus bersama untuk dijadikan sebagai acuan utama dalam studi terorisme dan kontra-terorisme di seluruh dunia, mungkin juga tidak di Indonesia.

Kata atau istilah terorisme selalu menjadikan bahasa Inggris sebagai acuan utama. Bahkan hampir setiap hari digunakan oleh seluruh media di dunia dalam artikel maupun pemberitaan. Terutama pasca Serangan 11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar pencakar langit milik Amerika Serikat yakni World Trade Center di New York City dan Washington, DC.

Tragedi 9/11 menewaskan sedikitnya 3500 orang. Dan sepuluh hari pasca serangan itu, Presiden George Walker Bush langsung mengeluarkan istilah teroris atau organisasi teroris sebagai pelaku serangan yang belakangan dituduhkan kepada organisasi Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Bahkan, Bush sempat menyebut akan digelar perang salib (crusade) meskipun ucapan ini kemudian ditariknya.

Masih ingat Anders Behring Breivik? Ya, dia adalah pelaku tunggal Serangan Norwegia 2011 dengan meledakkan bom mobil di luar gedung pemerintah di Oslo dan menewaskan sedikitnya delapan orang. Dia kemudian melanjutkan aksinya dengan melakukan penembakkan massal di perkemahan musim panas oleh Liga Pemuda Buruh di Pulau Utoya dan membunuh 69 orang.

Sejumlah media barat menyebut aksi Breivik dengan istilah pembunuhan massal (Norwegian mass murderer atau Norway mass killer). Ada juga istilah ekstrimis yang disematkan kepada Breivik lantaran dirinya merupakan seorang militan sayap kanan dan seorang nasionalis ekstrim. Hanya sedikit media yang menyebut tindakan brutal Breivik sebagai aksi terorisme, atau setidaknya melabelkannya sebagai seorang teroris.

Demikian pula insiden brutal yang dilakukan Stephen Craig Paddock di Las Vegas yang menembak kerumunan massa yang tengah menonton sebuah konser musik di Route 91 Harvest, seberang hotel Mandalay Bay tahun 2017 lalu. Muncul istilah ‘gunman(the suspected gunman) yang disematkan kepadanya. Padahal, sedikitnya 58 orang tewas dan sekitar 515 orang lainnya mengalami luka-luka.

Bahkan, peristiwa pembunuhan presiden ke-25 Amerika Serikat McKinley pada 1901 silam disebut sebagai tindakan anarkis oleh sejumlah media, dan tidak menulisnya dengan istilah teroris. Mungkin lebih kepada penggambaran sebuah serangan yang brutal.

Terlepas dari itu, hampir tidak ada perbedaan terjemahan bahasa Belanda dan Inggris terkait kata terorisme. Namun, bukan berarti tak mungkin ada banyak bahasa lain di mana kata terorisme diterjemahkan dan terdengar sangat berbeda. Dan bahkan mungkin juga memiliki arti yang berbeda.

Lantas, bagaimana cara kita memahami terorisme jika kita tidak menggunakan bahasa Inggris melainkan menggunakan bahasa ibu kita? Dengan kata lain, bagaimana kita menterjemahkan terorisme dalam bahasa Indonesia, atau mencari padanannya, apakah masih memiliki arti yang sama? Demikian pula dengan bahasa Inggris, apakah ada ada istilah lain sebagai padanan kata terorisme?

Jadi kata teroris dalam bahasa Inggris yang kini menjadi rujukan, pada dasarnya memiliki makna yang berbeda dalam kurun waktu yang berbeda. Sehingga sampai hari ini belum ada definisi terorisme yang bisa berlaku umum dan komprehensif melainkan berbeda-beda di setiap negara.

Di Indonesia, pemerintah dan DPR menyepakati definisi terorisme secara terminologi adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan negara.

(red/berbagai sumber)

Editor: Eriec Dieda

Exit mobile version