Tali, Silet dan Shotgun – Puisi Muhamad Kusuma Gotansyah
Tali
Sempitnya kulkasmu adalah pengejawantahan
duka. Sisa sarden kaleng yang sudah pindah rumah
ke kotak plastik, susu botol berisi seperempat,
dua-tiga potong pizza bekas pesta minggu lalu,
rendang kering kiriman ibumu, apel, jus jeruk dalam
kemasan gelas plastik, dan tangisan lainnya.
Kalau saja kamu tidak terburu-buru bunuh diri, kamu
masih ada kesempatan untuk menghabiskan/menghabisi
semuanya. Tanpa sisa. Tidak seperti Hitler yang
menyisakan seorang Yahudi. Tidak seperti
guru-gurumu yang menyisakanmu.
*
Sampaikan salamku pada teman-teman barumu di
akhirat. Terima kasih banyak karena telah
mewakili kami semua.
2018
Silet
Dunia adalah seekor vampir, kata band
kegemaranmu. Kamu pemarah dan suka teriak
di kamar mandi. Dunia hanya ingin darah, katamu
pada cermin yang memantulkan wajah
pucatmu.
Kamu akhirnya mempelajari bahwa kontribusi
donor darah manusia terbesar adalah dari bunuh
diri.
2018
Shotgun
Pelatuk dan moncong senjata yang malang, harus menyaksikan sebuah pembunuhan. Jari-jari yang terkunci dan mata yang terpejam. Sepasang lagu favorit di kiri kanan telinga; teman baik setiap berduka. Kamu yakin ini akan menjadi duka terakhir bagi seluruh senjata api di muka Bumi (dan di muka Mars kalau saja di
sana juga ada senjata yang serupa). Ciumanmu yang terakhir dan paling romantis adalah pertemuan bibir pucatmu dengan bibir peluru. Di akhirat, kamu harap surat izin memegang senjata api dihanguskan, karena tidak perlu lagi ada tembakan di dunia. Selesailah perang, kedengkian, keisengan, hasrat memburu,
nafsu membunuh, dan lubang pada dada. Sayonara isak tangis ambulans dan sirene kuburan. Tidak akan ada lagi malam yang berisik karena perampokan. Tamatlah terorisme. Akan berdiri padang bubuk mesiu yang lahir dari kebosanan manusia
memicu pelor. Anak-anak akan membenci pistol-pistolan. Kamu yakinini akan menjadi duka terakhir bagi seluruh senjata api di muka bumi.
2018
Balkoni
Lihat ke atas sini,
aku ada di surga.
Bersama Bowie, dan kanker
prostat, dan secarik surat.
Aku merasa tanah terlalu
kering dan laut terlalu basah
untukku.
Terbang sebenarnya sangatlah
sederhana. Kita hanya perlu percaya
ada akhirat di atas sana.
2018
Hantu
Gentayangan ternyata asyik juga. Berjubah putih menyebalkan,
berkeliaran pukul dua pagi, menakut-nakuti banci-banci yang lewat
di gang-gang sempit. Seorang pemabuk tersandung kakiku dan
jatuh ke dalam selokan. Ah, ternyata aku memang sudah jadi setan.
Melewati rumah ibuku, aku punya niat iseng. Aku ingin mengejutkannya, lalu menampakkan diriku, dan berkata padanya bahwa aku tidak gila dan aku masih hidup. Aku mengetuk jendela kamarnya dari luar sebanyak tiga kali, dan ia menoleh kaget. Ia memeriksa jendela, membukanya, lalu memperhatikan kiri dan kanannya. Kemudian aku muncul di hadapannya sambil tertawa dan berkata, aku yakin Ibu pasti kangen aku.
Tetapi ibuku tidak berkata apa-apa. Ia menutup jendela dan mematikan lampu kamarnya dan tidur. Aku lupa dimensi kita berbeda. Aku lupa aku sudah setan. Aku lupa banyak sekali hal.
2018
Muhamad Kusuma Gotansyah, lebih dikenal dengan panggilan akrabnya yaitu Gotan. Lahir di Tangerang, 2002. Menetap dan bersekolah di Kuala Lumpur. Gemar bermusik, menulis, dan membaca. Beberapa karyanya berupa cerpen dan puisi pernah dimuat di media-media online seperti Litera dan Nusantaranews. Ia juga memiliki blog yang beralamat di berisiklegal.wordpress.com
__________________________________
Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: redaksi@nusantaranews.co atau selendang14@gmail.com