Sukamto Ungkap 5 Prinsip Dasar Membangun Indonesia di Tengah Keberagaman

Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, H. Sukamto, SH saat menjadi narasumber pada acara Sarasehan tentang “Hidup Bersama Orang Lain” dengan tema “Membangun Indonesia Baru dalam Keberagaman Agama” yang digelar oleh TIM Kerja Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan, Dewan Pastoral Paroki Nanggulan, di Gedung Pelayanan Pastoral, Minggu, 3 November 2019. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)
Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, H. Sukamto, SH saat menjadi narasumber pada acara Sarasehan tentang “Hidup Bersama Orang Lain” dengan tema “Membangun Indonesia Baru dalam Keberagaman Agama” yang digelar oleh TIM Kerja Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan, Dewan Pastoral Paroki Nanggulan, di Gedung Pelayanan Pastoral, Minggu, 3 November 2019. (FOTO: NUSANTARANEWS.CO)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB, H. Sukamto, SH menilai praktek diskriminasi dan intoleransi masih menjadi momok yang menakutkan di masa-masa akan datang.

Pihaknya, mengutip laporan Harian Jogja yang dipublikasikan pada tanggal 21 Desember 2018 menyebutkan sebuah hasil riset Setara Institute yang terakhir menempatkan Jogja berada di peringkat ke 41 dari 98 kota di Indonesia dalam persoalan toleransi.

“Walaupun data terakhir menunjukkan bahwa indeks kasus intoleransi di DIY sudah engalami penurunan dari tahun ke tahun—dimana tahun 2015 ditemukan 23 kasus, 2016 sebanyak 9 kasus, tahun 2017 ada 9 kasus, 2018 sebanyak 10 kasus dimana empat kasus merupakan kasus dari 2017 serta kasus terakhir yang dialami Slamet Jumiarto (42) warga pindahan yang sempat ditolak warga untuk tinggal di Dusun Karet, Desa Pleret, Kab. Bantul lantaran beda agama menegaskan bahwa isu keberagaman menjadi persoalan serius ditengah-tengah masyarakat (2/4/2019),” urai Sukamto.

Hal tersebut disampaikan Sukamto pada acara Sarasehan tentang “Hidup Bersama Orang Lain” dengan tema “Membangun Indonesia Baru dalam Keberagaman Agama” yang digelar oleh TIM Kerja Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan, Dewan Pastoral Paroki Nanggulan, di Gedung Pelayanan Pastoral, Minggu, 3 November 2019.

Sukamto menyampaikan, demikian maraknya praktek kasus intoleransi di D.I. Yogyakarta, tidak tanggung-tanggung Gubernur DIY telah mengeluarkan Intruksi Nomor 1/INSTR/2019 sebagai langkah pencegahan potensi konflik sosial akibat praktek-praktek diskriminasi dan intoleransi.

Menurut Sukamto, berangkat dari uraian tersebut setidaknya ada beberapa prinsip dasar yang perlu dibangun dan dikukuhkan.

Pertama, kata dia, Menghargai Keberagaman. “Kita sadar betul bahwa Indonesia negara bangsa yang dibangun atas landasan keberagaman. adat istiadat, seni budaya, bahasa, dan ras serta agama (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khonghucu),” katanya.

“Keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan kekayaan dan keindahan bangsa. Agar keberagaman bangsa Indonesia juga menjadi sebuah kekuatan, kita bangun keberagaman bangsa Indonesia dengan dilandasi persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia,” imbuhnya.

Kedua, papar Sukamto, adalah kebersamaan dalam perbedaan. Perbedaan, kata dia, seringkali menjadi pemicu masalah yang berlanjut menjadi konflik. Perbedaan mestinya dipandang sebagai sebuah keniscayaan (fitrah kemanusiaan) dan anugerah. Dalam hal ini perbedaan justru diperlukan untuk memperkaya khazanah dan fungsional bagi kehidupan sosial yang dinamis dan produktif.

Ketiga, lanjutnya, ialah saling menghargai antar sesama. Dalam kebersamaan, dituntut untuk selalu rendah hati, dan tidak selalu menang sendiri. Dengan rendah hati, dituntut untuk tidak mengedepankan ego, baik pribadi maupun kelompok. Karena itulah, jihad yang sebenarnya adalah melawan diri sendiri, bukan melawan orang lain.

Keempat, kata dia, tak lain dan tak bukan menjadi dewasa dalam beragama. Menurut dia, kedewasaan dalam beragama sangat dibutuhkan dalam menghadapi berbagai isu agama dalam keberagaman.

“Dengan kedewasaan beragama, umat tidak mudah terpancing dan terprovokasi dengan berbagai isu yang mengadu domba antar pemeluk umat. Kedewasaan dalam beragama tercermin dalam menyikapi berbagai isu dengan penuh bijaksana dan menjunjung tinggi rasa toleransi antarumat beragama,” jelasnya.

Sedangkan yang Kelima, adalah hidup toleran. Para pendiri bangsa  telah menyadari kemajemukan bangsa kita ini serta ancaman terhadap kerukunan dan persatuan. Kemajemukan bangsa merupakan potensi untuk membangun kehidupan bersama, berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan beragama. Kerukunan dan toleransi antar sesama manusia, merupakan tuntutan kebutuhan dan kewajiban kemanusiaan dari setiap orang.

“Hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai pemeluk agama lain adalah merupakan salah satu perwujudan dari rasa toleransi,” ujarnya.

“Saya yakin, pembangunan Indonesia kedepan akan berjalan sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional kita jika antar warga bangsa terus memupuk pola hubungan yang saling menghargai dan menghormati. Keragaman dan kebhinekaan justru akan meningkatkan kerjasama yang produktif dalam hal-hal yang menjadi tujuan bersama dalam kehidupan beragama, tanpa harus saling curiga. Pada titik inilah, edukasi kepada masyarakat terkait dengan aturan/pola hidup dalam bingkai kebangsaan dan keberagaman (nation character building) menjadi penting. Dalam hal ini, 4 Pilar Kebangsaan (Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, UU 1945) harus terus digalakkan dan dipraktekkan secara massif dalam kehidupan bermasyarakat,” jelas Sukamto. (akb/nn)

Editor: Achmad S.

Exit mobile version