Suasana Kampung Kita

Suasana Kampung Kita
Suasana Kampung Kita

Suasana Kampung Kita

 

Oleh: Muhamad Pauji

 

Kita semua paham bahwa orang tua kita adalah sosok yang sulit untuk berubah. Kadang-kadang kita tak sabar untuk menyimpulkan bahwa mereka memang takkan berubah, sampai kapanpun. Ketika kami berkunjung ke kampung untuk mudik lebaran tahun ini, situasinya tak berbeda dengan lima atau sepuluh tahun lalu. Sama saja. Begitu-begitu juga. Ayah bangun di waktu subuh untuk melaksanakan salat. Kemudian ia menyalakan motor tua dengan berkali-kali mengongkelnya. Setelah motor berbunyi ditinggalkannya untuk mandi pagi, lalu duduk beberapa saat di serambi sambil mengenakan kacamata dan membuka-buka kitab kuningnya.

Konon, kacamata yang dipakainya itu adalah kacamata yang selalu dikenakannya sejak bertunangan dengan Ibu, sekitar tigapuluh tahun lalu. Ia selalu menggelengkan kepalanya ketika saya menawarkan kacamata baru. Bahkan, setiap lebaran saya belikan kopiah dan sarung baru, tetapi ibu hanya menumpuknya di lemari tua dari kayu jati, dilapisi cermin yang sudah buram karena dimakan usia.

Ayah memakai sandal yang dibelikan ibu dari warung Bi Siti. Walaupun sandal itu sudah usang dan menipis, tetapi ia tetap senang memakainya. Ia merasa tersinggung dan menggerundel ketika suatu kali saya belikan sandal baru yang bermerek, hingga membuat dugaan saya meleset karena mengira ia bakal terharu dan tersanjung.

Potongan rambut Ayah agak tipis, dengan cambang yang agak menjuntai hingga pipi. Saya mengenal gaya rambut seperti itu adalah khas potongan Pak Majid, si tukang cukur puluhan tahun yang tetap masih membuka warung pangkas rambut di sekitar pertigaan kampung. Hal itu mengingatkan saya pada potongan rambut Pak Salim, si tukang warung kopi yang letaknya tak begitu jauh dari warung kelontong milik Bi Siti.

Gardu ronda yang terletak di sebelah utara masjid Darul Muttaqin, tiap malam masih diramaikan oleh mereka yang mendapat giliran ronda. Ditambah mereka yang gemar begadang saban malam. Haji Mahmud masih juga menjadi pelanggan setia di usianya yang sudah menginjak enampuluh lima tahun. Hanya saja, istrinya kini tidak lagi uring-uringan karena kebiasaannya begadang sejak dulu.

Perdebatan di sekitar gardu masih mengandung tema yang tak begitu jauh dari soal wabah Corona sebagai musibah, kutukan atau hukum alam. Juga ada yang mengait-ngaitkan dengan kedekatannya dengan hari kiamat. Bang Jali, seorang pengusaha batako, yang dulu pernah malang melintang di dunia politik, selalu menghubungkannya dengan peranan doa dan usaha, sejajar dengan fungsi takdir dan ikhtiar. Sedangkan Haji Mahmud – yang pernah menjadi guru agama – tak lepas dari persoalan debat abadi antara Jabariyah dan Qadariyah dan seterusnya dan sebagainya.

Selepas salat Subuh, seperti biasa Ibu mendidihkan air, menyeduh kopi untuk Ayah, menyiapkan sarapan, menyapu dan mengepel lantai, menyiram tanaman, hingga mengumpulkan sampah lalu membakarnya. Ia berbeda dengan Bi Siti dalam novel “Perasaan Orang Banten”, tak pernah mengomel dan selalu membiarkan Ayah begadang bila merasa suntuk lalu bergabung bersama orang-orang gardu.

Kerapkali Ayah ikut berdebat soal perkembangan politik masakini yang tak beda jauh dengan masalalu. Katanya, dari zaman ke zaman, dunia politik selalu gemar menebar janji. Dan dalam penilaian putera Kiai Muahaimin – yang kini sudah lulus perguruan tinggi – praktik politik di seluruh pelosok negeri, dari Sabang sampai Merauke, laiknya politik hangat-hangat taik ayam.

Ibu saya paham betul tentang riwayat dan silsilah leluhur keluarga. Ibu juga yang menyuruh saya membawa jeruk dan mangga, bila kami menjenguk salah seorang dari sanak-saudara yang sedang sakit.

Kedua kakak saya nampaknya menyayangi adik-adiknya, tetapi saya melihat mereka lebih banyak sinis. Sewaktu kecil, salah seorang kakak hanya mau mengajak jajan di warung Bi Siti manakala saya berjanji merahasiakan kenakalannya pada Ayah. Sementara satunya lagi pemalas dan – kalau bukan sedang tidur – paling banter sibuk utak-atik HP Android miliknya. Kadang-kadang ia mengirimkan sesuatu, entah kepada siapa, melalui jasa pelayanan pengiriman paket, atau kadang-kadang juga ia menerima paket yang entah dari mana.

Tetapi herannya, ia selalu mendapat nilai bagus dalam rapot-rapot sekolahnya, dan juga bernasib mujur mendapat pekerjaan bergaji tinggi di perusahaan terbesar di Kota Cilegon, Banten.

Adik saya satu-satunya, Wati selalu uring-uringan bila menyangkut urusan duit. Tahun ini ia kuliah pada semester kedua di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta). Tak beda jauh dengan remaja-remaja masakini yang mulai beranjak dewasa. Keluarga kami pernah dibuat khawatir dan cemas, karena suatu hari ia pernah memperkenalkan pacarnya, seorang pemuda yang membawa sedan merah tua bergambar kupu-kupu, dengan gaya rambut yang selalu bersemir warna ungu dan abu-abu.

Kami pernah menduga bahwa adik kami terkena guna-guna. Tetapi nyatanya, pacar adik itu cukup santun. Hanya penampilannya saja yang kelihatan urakan hingga menjengahkan para orang tua apabila salah dalam menilainya.

Tetangga kami, Sodik kini sudah memiliki taraf hidup yang lumayan. Ia membeli mobil terbaru keluaran Malaysia, setelah jabatannya meningkat dari supervisor menjadi kepala bagian di perusahaan sepatu di daerah Bandung. Masih seperti dulu, ke mana-mana ia membagikan kartu nama, mempertontonkan kesuksesannya, serta memamerkan HP merk terbaru.

Sebenarnya, ia tak pandai berpakaian. Ketika mengenakan batik berwarna kuning – hadiah dari suatu partai politik – nampak kancing pada bagian perutnya sering terlepas, hingga pusernya kelihatan jelas. Ibunya, Marfuah sering mewanti-wanti keteledorannya itu, serta memperingatkan agar mengenakan kemeja batik yang agak longgar dan panjang. Marfuah sangat bangga pada anak semata wayangnya, serta mengumbar kesuksesannya pada ibu-ibu yang sering mengikuti pengajian di pesantren Al-Inayah. Tak lupa pula ia membanding-bandingkannya dengan kebanyakan pemuda masakini, yang katanya ngelunjak, dusun, dan tidak hormat pada orang tua.

Tohir sang penjaga masjid, masih juga seperti dulu. Ia pendiam dan tak pandai bergaul. Menurut Taufik, ia telah menjadikan masjid sebagai rumahnya, kantornya, bahkan tempat hiburannya sekaligus. Ia sering menyetel lagu-lagu Iwan Fals di kantor DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) serta menyimak lirik-lirik lagu yang menyuarakan penderitaan orang-orang pinggiran dan tertindas.

Nyi Mumun masih mengemis, meski memilih jalur independen dan tidak lagi menginduk pada Mbah Durip yang pernah menjadi bosnya. Ia berusaha mencari aman, tak mau lagi berurusan dengan pihak kepolisian yang pernah menjebloskannya ke penjara karena menyewa anak balita sebagai tumbal mengemis. Konon, ia pernah menjadi pesuruh pada keluarga besar Tubagus Kusen, sang tokoh politik terkemuka di provinsi Banten. Tetapi kemudian, ia memilih hengkang setelah citra keluarga besar itu terpuruk lantaran beberapa anggota keluarganya tertangkap KPK karena kasus suap dan korupsi.

Tentu saja kita tidak melupakan sosok Jamilah yang menurut penilaian Taufik sebagai “karunia Allah untuk kampung Jombang”. Tahi lalat di pelipis kirinya, pipinya, bibirnya, lehernya, dadanya, pinggulnya, pernah membuat jiwa-raga Tohir meradang. Baginya, melihat Jamilah melintasi halaman masjid, pada saat dirinya tengah mengepel lantai masjid, sudah membuatnya senang bukan kepalang.

Dalam pandangannya, Jamilah adalah gadis yang cantik dan menarik, laiknya sosok bidadari yang tergambar dalam ayat-ayat suci Alquran. Ia pernah merasa jengkel dan marah ketika Jamilah memiliki kekasih seorang pemuda beragama Nasrani, sebagaimana kekesalan Bang Jali ketika Juminten dipersunting seorang muallaf dari keturunan Tionghoa.

Kini, rumah Ustaz Bahrudin seakan menjelma sebagai monumen masa lalu di kampung Jombang. Dulu, di halaman rumahnya anak-anak sepantaran tujuh hingga sepuluh tahun, menggelar tikar dan belajar mengaji selepas salat Magrib. Tetapi belakangan, telah dibangun di sekitarnya minimarket Indomart dan Alfamart yang membuat sebagian lahannya terpangkas hingga monumen itu seakan terhimpit oleh minimarket dan ruko di sebelah kirinya. Hampir tak tersisa cukup tempat untuk bermain petak-umpat, gatrik, bentengan, apalagi bulutangkis dengan memakai piring sebagai raketnya. Bahkan, anak-anak sekarang pada bermain bola melalui internet dan PlayStation.

Pohon sawo dan mangga yang berada di dekat gubuk Mbah Durip, kini sudah ditebang habis. Berganti dengan ruko-ruko yang dipasangi paving block di sekitarnya. Setelah pembelian mesin otomatis, puluhan tenaga kerja dikeluarkan dari pabriknya Bang Jali. Suami Nyi Hindun juga sering sakit-sakitan setelah pensiun dari keanggotaan TNI. Pernah ia menuruti saran Pak Majid agar melakoni jejak Pak Syafaat dan Tutut Chosimah, yang pernah terjun ke kancah politik. Tetapi karena wawasan politiknya pas-pasan, ia pun kandas di tengah jalan, meskipun sempat nekat mendaftarkan diri selaku anggota dewan.

Sementara itu, Haji Mahmud dan beberapa rekannya, kini diperbantukan seorang pengusaha Cina untuk mendirikan lembaga pendidikan di samping pesantren Al-Inayah, sebagai upaya peningkatan toleransi beragama yang dicanangkan pihak pemerintah.

Bangunan tempat penyewaan kaset DVD kini sudah tutup. Begitu juga wartel yang telah berganti dengan toko HP dan penjualan pulsa dan kuota internet. Toko buku dan kitab masih ada, itu pun karena ditambah dengan penyediaan barang-barang ATK untuk keperluan komputer, printer, laptop dan seterusnya.

Pada saat bersamaan, apa pula yang perlu dirisaukan ketika para kuli angkut dan bangunan harus digantikan oleh mesin-mesin berat seperti beko, forklift hingga crane. Bahkan di tingkat mal-mal, banyak pekerja yang beralih fungsi dari tukang panggul menjadi penjaga di control room. Termasuk para petugas pintu tol yang selalu mengonsumsi asap-asap karbon dari mobil mewah bos-bos perusahaan, bukankah perlu membutuhkan cara kerja efisien di control room juga?

Pasar kelapa kini telah berganti nama menjadi “pasar lama”. Kotornya dan baunya masih seperti dulu. Beberapa becak dan delman bersama kusirnya yang sudah uzur, masih juga bertahan, meski bengkel-bengkelnya sulit ditemui. Bahkan, para pekerja bengkel motor yang dulu hanya menguasai motor bergigi, kini harus ditraining untuk menangani service bagi motor-motor matic.

Jalan-jalan tol serba baru, rel kereta, uang elektronik, bandara, terminal serba baru. Belanja juga serba online, ojek dan taxi online, semua diikuti dengan perubahan besar teknologi terbaru.

Sementara itu, gedung-gedung tua seperti Kantor Pos, PDAM, PLN di sekitar kampung Jombang, masih beronggok nyaman dengan fasilitas terbaru yang dipaksakan. Sedangkan manusia-manusia sebagai operator dan tenaga kerjanya, tetap bermental dan berpikir seperti dulu-dulu juga.

Saya masih terkenang beberapa minggu seusai lebaran kemarin, ketika Ibu menyarankan untuk menjenguk Bu Guru Tuti, guru SD saya yang sedang berbaring di rumah sakit. Ibu menyuruh saya membawa jeruk dan mangga, sambil memberikan sedikit wejangan bahwa sekecil apapun kebaikan, pasti akan dipetik hikmahnya di kemudian hari. Hal ini mengingatkan saya setahun lalu, ketika menjenguk Pak Sutrisno, guru fisika yang terserang stroke kemudian meninggal dunia.

Guru adalah orang tua kedua bagi kita semua. Tetapi entah mengapa, dalam sepanjang sejarah republik ini, nasib para guru selalu mengalami hal-hal tragis, justru di saat banyak hal mengalami pembaharuan. Setiap kali menjenguk mereka dalam keadaan berbaring, saya tak dapat menahan air mata yang tahu-tahu sudah berlinang… (*)

 


Penulis: Muhamad Pauji, Esais dan cerpenis generasi milanial, juga pegiat organisasi OI (Orang Indonesia)
Exit mobile version