Suara-Suara Aneh
Fauziah memandangi suaminya yang sedang membaca buku, suatu aktivitas yang berjam-jam dilakukannya. Ketika ia menyapa, suaminya tak bergeming. Tetap asyik membaca buku dan membolik-balik halaman dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang rokok kretek mahal kesukaannya, sambil menghisapnya dan menikmati seleranya.
Oleh: Irawaty Nusa
Bagi Fauziah, setelah makan malam yang enak, biasanya para suami mengajak istrinya ke tempat tidur. Tetapi, dia malah asyik membaca buku di sofa. Kadang sampai tengah malam, dan membiarkan istrinya tertidur sendirian.
Kalau si istri mengajaknya jalan-jalan, makan baso di alun-alun kota, atau nonton film di Twenty One, biasanya ia tak kuasa untuk menolaknya. Setelah duabelas tahun menikah, suaminya bersedia melakukan apa saja yang disenangi oleh istrinya. Tetapi belakangan ini, entah kenapa, sering muncul suara-suara aneh yang terngiang-ngiang di kepalanya, bahwa ia perlu menghantam mulut suaminya dengan asbak, suatu benda kecil kesayangan suaminya, dan terbuat dari batu sempur.
“Mau makan baso?” tanya suaminya.
“Nggak ah, masih kenyang,” jawab sang istri, “memang kenapa?”
“Nggak kenapa-napa. Kok kelihatannya suntuk amat?”
“Emang Papa melihat saya dari tadi? Bukannya sedang membaca buku?” katanya agak ketus.
“Cuma melihat Mama sepintas aja.” Sang suami tersenyum. Senyum seorang laki-laki yang masih mempertahankan istrinya setelah duabelas tahun menikah. Sepertinya ia masih mencintainya. Tapi kata yang tepat adalah menyayanginya.
Selama ini, ide untuk menghantam mulut suaminya dengan asbak tak pernah ada dalam pikirannya. Tapi sekarang, pikiran itu terus menghantui dirinya. Ia duduk di kursi sambil menggoyang-goyangkannya. Ia merasa gelisah, kemudian bertanya-tanya apa yang membuat jalan pikirannya begitu menyimpang. Ah, barangkali suatu rasa sayang yang terungkap dalam bentuk yang lain. Dan ia pun tertawa-tawa sendirian.
“Ada yang lucu?” tanya suaminya.
“Ah, nggak apa-apa kok,” katanya agak kaget.
Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah pintu. Pikirannya kalut. Ia mondar-mandir tak keruan. Lalu, memandang suaminya dalam waktu yang cukup lama. Tetapi dengan memandangi sang suami justru tidak bisa mengatasi rasa kalutnya.
Seketika ia menatap gorden yang menutupi jendela. Tali yang mengikat gorden membuatnya berpikir menyimpang lagi. Bagaimana seandainya tali itu dipakai untuk menjerat lehernya?
Hey, kenapa kamu Fauziah? Hati kecilnya berusaha untuk menyangkal. Ia berdiri di sisi luar pintu ruangan, sehingga suaminya tidak bisa melihat ke arahnya. Hey, apa-apaan kamu? Bukankah itu perbuatan tolol yang akan berdampak pada risiko yang tidak kecil.
“Mah?” panggil suaminya.
“Ya.”
“Ada yang nggak beres?”
“Nggak ada apa-apa, Pah, saya cuma mau minum,” katanya sambil pura-pura mengambil gelas di dapur.
Suara-suara itu masih saja terngiang-ngiang. Bagaimana kalau memasukkan sesuatu ke dalam gelas lalu sang suami meminumnya? Atau mendorongnya di trotoar sehingga mobil truk bisa menghantam tubuhnya? Ah tidak! Bagaimanapun saya tak tega membunuh suami sendiri. Saya ingin dia hidup, dan terus mendampingi saya. Diam kamu… diam!
Fauziah meneguk minumannya. Kembali ke ruang tengah lalu duduk. Sang suami menoleh sedikit ke arahnya, dan katanya, “Kelihatannya kamu gelisah amat?”
“Nggak tahu, mungkin karena cuacanya,” jawab Fauziah.
“Bener nih nggak pengen makan baso di alun-alun? Atau kita nonton aja malam ini, biar terasa sejuk di dalam bioskop?”
“Nggak ah, trims,” jawabnya. “Saya pengen tidur lebih awal.”
“Tidurlah kalau begitu.”
Tapi kira-kira, apa yang akan saya lakukan tanpa suami? Bagaimana saya melanjutkan perjalanan hidup ini? Siapa yang akan menikahi saya nanti, dan ke mana saya mau pergi? Lalu, bagaimana dengan perabot dan mebel-mebel? Apakah saya akan memandangi fotonya yang terpampang di dinding? Menyedekahkan pakaiannya? Lalu, apa yang mesti saya lakukan dengan rumah ini, kendaraan ini? Siapa yang akan mengurus pajak-pajak?
Fauziah bangkit dari tempat duduk dan menyalakan televisi. Acara talkshow dan dialog-dialog panjang tentang pemilu begitu membosankan, dan ia pun mematikannya lagi. Ia melangkah melewati sang suami menuju ke rak buku. Ia mengambil satu buku kemudian satu lagi. Membuka-buka dan membaca beberapa paragraf mengenai karakteristik manusia Indonesia melalui novel Perasaan Orang Banten. Apakah saya akan menghantam kepala suami saya (katanya dalam hati), seperti yang dilakukan orang-orang Batak terhadap Tohir di restoran Padang itu? Tetapi, saya sangat mencintainya, dan belum sanggup menerima kematiannya?
“Mah, ” kata suaminya lagi. “Apa Mama sedang mencemaskan sesuatu?”
“Nggak kok Pah,” jawabnya. “Saya baik-baik aja.”
“Buku apa yang sedang Mama baca?”
“Novel tentang perasaan orang Banten.”
“Apakah ada yang menarik dari novel itu?”
“Iya, terutama ketika orang-orang Batak… bukan, maksud saya, tentang cinta Yosef pada Jamilah kekasihnya.”
Ia terdiam sesaat, menggeser duduknya sedikit, dan katanya lagi, “Malam ini Mama kelihatan gelisah. Sakit ya?”
“Nggak apa-apa,” jawabnya. “Mungkin sedikit flu.”
“Coba sini, biar saya pegang keningnya.”
Fauziah datang dengan patuh dan membungkuk, sehingga suaminya dapat meletakkan tangannya di atas keningnya. Dengan sentuhannya yang lembut Fauziah berkata pada dirinya sendiri, “Oh, suami saya ini begitu pengasih dan mulia. Sungguh menyesal apa-apa yang ada di pikiran saya akhir-akhir ini.”
“Iya benar, mungkin Mama agak sedikit demam. Sebaiknya Mama tidur saja.”
“Sebentar lagi,” katanya. “Sekarang saya belum ngantuk.”
“Gimana kalau saya bikin teh manis? Atau susu?” tanya suaminya.
“Makasih Pah… tapi, nggak usah ah.”
Ia pun mulai berpikir kongkrit. Seandainya sebatang rokok ia rendam dalam kopi, keesokannya akan menjadi nikotin murni, dan bisa membuat orang mabuk karena keracunan. Lalu, ia akan menelepon dokter, lalu polisi, baru kemudian ipar laki-lakinya, selanjutnya saudara perempuannya. Menceritakan hal yang sama kepada mereka semua, dengan suara yang dibikin-bikin dengan isak tangis. Kalau soal menghilangkan sidik jari, hal itu bisa diatur dengan mudah.
“Mah,” kata suaminya masih dalam posisi membaca buku.
“Apa Pah, mau saya bikinkan kopi?” tanyanya mengagetkan dirinya sendiri.
“Nggak usah, tadi Papa udah minum dua cangkir.”
Ia menggeser posisi duduknya, kemudian berdehem sekali, dan katanya, “Kira-kira Mama punya musuh nggak?”
“Musuh? Kenapa Papa bicara begitu?”
“Ini di buku,” ia membuka-buka halaman tengah, “dibicarakan mengenai ciri-ciri musuh sejati.”
“Maksud Papa?”
“Musuh dalam selimut.”
Untuk sesaat ia memandang istrinya dengan serius, dan kemudian tersenyum dan berkata, “Kalau Papa, mungkin punya puluhan atau bahkan ratusan musuh-musuh yang tak kelihatan.”
“Kenapa Papa tanya begitu? Kalau Mama nggak punya… maksud Mama, nggak ada musuh.”
“Tapi kalau Papa ada.” Ia diam sejenak, kemudian lanjutnya dengan tiba-tiba, “Kenapa Papa punya musuh?”
Suaminya tidak meneruskan kata-katanya. Fauziah agak curiga, apa yang hendak dikatakan suaminya itu. Pandangannya terpusat pada asbak batu tadi, mengkilat warna-warni terkena cahaya dari lampu baca. Ia telah mencuci asbak itu tadi pagi, dan ketika itu tak terlintas apapun di benaknya.
Ia bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri sang suami kemudian menyandarkan diri pada kursi di belakang sofa. Tangannya mengelus-elus pundak suaminya sambil berkata, “Pah, malam ini terasa romantis. Belum pernah kita mengalami saat-saat seromantis ini. Mama sayang banget sama Papa.”
Dengan diam-diam ia memindahkan puntung rokok yang masih menyala. Seketika ia teringat ceramah seorang kiai di layar televisi bahwa asap-asap rokok bukan hanya merusak paru dan menzalimi diri sendiri, tetapi ia juga merusak paru orang lain. Berarti menzalimi banyak orang, termasuk istrinya sendiri.
Ketika sang suami mencari-cari rokok di atas asbak, ia tidak menemukan rokok di sana. Tetapi justru di atas meja, kemudian ia segera memungutnya. Seketika ia memeriksa bagian bawah meja, apakah mejanya terbakar atau tidak. Ia bangkit dan kembali ke tempat semula sambil menggerutu, “Apa mau kamu bakar rumah ini?” katanya sambil melotot.
Asbak batu itu sudah berada dalam genggaman Fauziah, kemudian ia menghantamkan benda itu ke mulut suaminya! ***