Strategi Pengusiran Massal di Gaza Utara: Sebuah Rencana Zionis yang Dikalkulasi Matang

Strategi Pengusiran Massal di Gaza Utara: Sebuah Rencana Zionis yang Dikalkulasi Matang

NUSANTARANEWS.CO – Israel kini tengah melancarkan operasi militer besar-besaran di Gaza Utara sebagai bagian dari rencana strategis yang disebut “Rencana Sang Jenderal.” Rencana ini, disampaikan oleh pensiunan Mayor Jenderal Giora Eiland kepada kabinet Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada September, bertujuan mengubah situasi di lapangan dengan mengusir secara paksa sebanyak mungkin dari 300.000 warga Palestina yang masih tinggal di Gaza Utara. Tujuan utamanya adalah mengosongkan wilayah tersebut dan menjadikannya sebagai zona militer, di mana siapapun yang masih bertahan akan dianggap sebagai target.

Menurut Eiland, warga Gaza Utara diberi waktu satu minggu untuk meninggalkan wilayah tersebut. Jika tidak, mereka akan menghadapi serangan militer tanpa henti dan tanpa adanya bantuan kemanusiaan. Netanyahu menganggap rencana ini sangat masuk akal, dan sejak 7 Oktober, Israel mulai melaksanakan perintah evakuasi massal.

Serangan udara dan pengepungan Gaza Utara, terutama di kamp pengungsi Jabalia, telah menarik perhatian internasional. Amnesty International menggambarkan operasi ini sebagai “eskalasi yang mengerikan” terhadap penduduk sipil yang telah menderita akibat blokade berkepanjangan. Pasokan bantuan kemanusiaan pun terputus, memaksa warga Palestina untuk memilih antara kelaparan atau meninggalkan rumah mereka.

Tekanan dari AS: Ancaman Kosong?

Meskipun Washington, di bawah pemerintahan Joe Biden, mendukung Israel, Gedung Putih juga mengeluarkan pernyataan pada 13 Oktober yang menuntut agar Netanyahu meningkatkan akses bantuan ke Gaza. Jika tidak, Amerika Serikat mengancam akan meninjau kembali pasokan senjata ofensif yang terus mengalir ke Israel. Namun, tenggat waktu yang diberikan, yaitu 30 hari, tampaknya memberi ruang bagi Netanyahu untuk mengabaikan tuntutan ini tanpa konsekuensi nyata.

Kekejaman yang terjadi di Gaza selama beberapa minggu terakhir menunjukkan betapa brutalnya strategi yang diterapkan oleh Israel ketika semua pembatas politik dan militer dicabut. Menurut laporan Reuters, Israel berupaya memaksimalkan kerusakan terhadap Hamas dan Hizbullah sebelum pemilihan presiden AS pada November, memanfaatkan situasi geopolitik yang rumit.

Momentum yang Dicapai Setelah 7 Oktober

Serangan balasan Hamas pada 7 Oktober tahun lalu, yang dikenal sebagai Operasi Banjir al-Aqsa, menjadi pemicu eskalasi terbaru di Gaza. Israel merespons dengan serangan udara besar-besaran, menggunakan helikopter, drone, dan tank untuk menghancurkan infrastruktur Hamas serta wilayah permukiman Palestina. Tragedi ini dimanfaatkan oleh Israel untuk melancarkan strategi pengosongan Gaza, dengan alasan keamanan dan stabilitas.

Dalam sebuah makalah kebijakan yang diterbitkan oleh Misgav Institute for National Security & Zionist Strategy, disebutkan bahwa kondisi saat ini memberikan peluang “unik dan langka” untuk mengevakuasi seluruh Jalur Gaza. Dengan kesempatan ini, Israel mencoba menciptakan realitas baru di lapangan yang tidak dapat diubah oleh pemimpin politik mana pun di masa depan.

Perencanaan Pemukiman Ulang di Gaza

Sementara serangan berlangsung, para pemukim Israel di perbukitan sekitar Gaza mengamati kehancuran dari jauh. Mereka menunggu kesempatan untuk kembali menduduki wilayah tersebut dan menyita tanah serta properti yang ditinggalkan oleh warga Palestina yang terusir. Pemimpin gerakan pemukim, Daniella Weiss, secara terbuka menyatakan harapannya bahwa penduduk Palestina di Gaza akan segera “menghilang,” membuka jalan bagi pemukiman Yahudi yang lebih luas di wilayah tersebut.

Langkah ini mendapatkan dukungan politik dan publik dari kelompok-kelompok sayap kanan di Israel. Anggota parlemen dari partai Likud, Zionisme Religius, dan Kekuatan Yahudi berkolaborasi untuk mempercepat proses pengosongan dan pembersihan etnis yang sedang berlangsung. Mereka berharap untuk bisa memulai pemukiman ulang setelah Donald Trump kembali menjabat sebagai presiden AS, yang diharapkan akan memberikan legitimasi bagi perubahan permanen batas-batas Jalur Gaza.

Masa Depan Gaza di Ujung Tanduk

Apa yang terjadi di Gaza bukan hanya perang antara Israel dan Hamas, tetapi bagian dari strategi yang lebih besar untuk merubah demografi dan realitas geopolitik kawasan. Dengan dukungan senjata dan bantuan dari AS, serta celah hukum yang diberikan oleh diplomasi internasional, Israel mencoba untuk membentuk ulang Gaza sesuai dengan kepentingannya sendiri.

Namun, pertanyaan besar masih ada: Akankah komunitas internasional membiarkan pembersihan etnis ini terjadi tanpa perlawanan? Di tengah kecaman dari sejumlah organisasi hak asasi manusia, respons dunia terhadap kekerasan yang terus berlanjut di Gaza akan menjadi indikator bagaimana masa depan Timur Tengah terbentuk di tahun-tahun mendatang. (Ed/Banyu)

Exit mobile version