Stanza di Desa Blora, Siluet di Pulau Garam

seorang gadis, aku belajar, mencintaimu, puisi, puisi karya ahmad zubaidi, kumpulan puisi, nusantaranews

Lukisan Dinding Gadis Bergaun Merah. (Foto: aliexpress.com)

Kepada Umniyaty dan Puisi-puisi Ahmad Nyabeer
Ilustrasi – (Foto: Amang Rahman Jubair/Anak Wayang)

Kosarasa Pecinta

Abjad mulai berbarisan
Menyusun angka penuh pertanyaan
Fragmen-fragmen juga sudah disatukan
Berpadu satu dalam biang harapan

Dentingan jam tempat kesalahan;
Seiring detik menit yang membengkak
Tak karuan
Menghampiri bibir tua mengelupas bertaburan
Berlalu-lalang mereka adakan

Si perjaka berambut pirang
Itulah olokan bagi para bajingan
Mencekam layaknya harimau abjad
Dari ciuman,pelukan semua beraroma sabetan
Jadilah ia raja angin malam

Gadis balita menghambur ruakan
Bandung,kota jakarta menjelma pemukiman

Perawan janda ikut andil dalam suaka
Tak pandang bulu atau rupa
Asal setia pasti ku jaga
:begitu katanya

Sebait puisi suci
Menyuci hati mati
Menamai kursi bumi pasutri
Entah adanya pun tak berdarah

Sebagai penikmat rasa:
Aku adalah bagian diri manusia
Bertempat jantung luka
Dan terus mendekap lara
Penuh romansa

Annuqayah 2019

Stanza di Desa Blora

Buliran air menjalar rasa awan
Angin pun ikut cemburu
Melihat keduanya bermadu
Seperti daun pada debu
Saling menyatu dalam kusut lusuh

Hamparan sajadah memeluk hening
Berdebur ombak gelombang
Menggema lembar-lembar aksara
Seraya mengecup tinta hitam pasundan
Melukis wajah-wajah kusam
Diselat neraca; partitur terangkai

Dari bunga-bunga jalanan
Duri memberi perih hati
Namun, sungguh sakit tak kurasa
Lantaran kalbu tergenang meradang masa

Hai,belantara desa blora
Adakah senja bertapak akan dada
Sementara ku lihat bentang lintang
Menghampar lindang
Seamsal hujan jatuh menyutubuhi ladang
Berbekas kecupan nuansa darah

Ruang Literasi IBB, 2020

 

Siluet Pulau Garam

Memikul cangkul penuh semangat
Menjajal petani pada ladang sawah
Tetes demi tetes keringat menggenang
Menitip mimpi intan di karang

Bertahun-tahun menunggu sua pemerintah
Namun, ucap tak kunjung membasah
Berharap kembali dipimpin arya wiraraja
Sayang itu hanya angan belaka

Aduhai…
Sangat bosan bila harus menanti
Katamu tunggu dulu!
Sampai kapan kami harus termangu?
Perut-perut,tenggorokan kian keruh
Lantaran susu dan tuba
Kau campur satu

Kongkalikong yang gopong kau gotong
Berjalan memotong ocehan kososng
Geliat tangan-tanganmu kerangka
Hingga bergerak pun tak ku sangka

Sebuah aliran siasat penuh muslihat
Menembak lajur rangkaian masa.
Tapi,mengapa dirimu memilih sirih
Apa karna mereka bukan kurir
Atau lantaran kusut busuk
Yang kian menumpuk otakmu
Maaf tuan!
Dalam darah soekarno,tan malaka
Jelmaannya
Di tiap hembusan saut situmorang,kiwo
Pembimbingnya

Jangan kerap kau khayal mengusap
Keluh kesah
Kalau enggan mencumbu durjana.
Benar kali saat kau ucap
“Negara butuh bersih asri”
:namun, tak lah juga diembat
Harta dan hak asasi.
Bolehlah tahtamu selaksa mercusuar
Menawan di angkasa
Namun,tidak untuk bumi kami

Jika hati tak lagi berkiri
Bersiaplah hancur dalam bakteri
Sebab; kepala dan matamu menampung sampah
Tangan kakimu menuju neraka
Dan anak negeri kau asuh pada serigala
Hingga aku pun turut larut
Dalam dilema antara demokrasi dan korupsi
Menurutku itu sama saja.

Annuqayah, 4 Desember 2020

 

Anacarakaku akan Bahasa

Monopoli Aksara?permainan indah tanpa gumpita.
Tak ada aturan atau kesadaran
Cukup dipatrikan lewat abjad-abjad neraca.

Kocar-kacir para barisan
Membuat penyair ikut ambil bagian.
Sebagai pengokoh dan pencipta rasa
Kosakata kian saja menggema
Lewat lautan, daratan lalu menjulang
Tinggi ke awan
:sampai suci takkan jernih pada diri.

Logat Sunda berkata
(kumaha damang)
Lalu Jawa pun menyapa
(apik-apik wae kang)
Entahlah, mereka berbicara penuh tanda tanya
Berbeda namun bisa berasa.
Bukti negeri harus suaka
Bukan berdiri berkebiri
Lalu menyimpamg
Disimpang jalan

Hei…
Kau yang berambut putih
Mana anak putumu?
Masih adakah tubuh sayupnya
Kala belantara tak lagi sedih
Tanah-tanah ikut gersang memuja lahan
Rerumputan pun setia menari
Diatas bahagia atau duka

Anacarakaku akan bahasa,
seiring nadaraga merasuk kawan-kawan serupa gelandangan
bagi yang tak lafal mengucap:detasawele
harus tunduk dibawah mayapada.

Sayup-sayup tembang genderang perang
Membuka lembar-lembar ibu kota negara
Pada mulut dan mata manusia
Tanggungan kehidupan

 

 

Tentang penulis

Mahesa Asah nama pena dari Anshori Ahmad salah satu alumni di Ra As-syafi’iyah,MI Hidayatul Aliyah,MTs 1 Annuqayah dan kini duduk dibangku kelas X-Bahasa MA 1 Annuqayah.bergiat di Kompas (komunitas menulis pasra),Sanggar Kotemang,dan Sanggar Poar Ikstida.

Exit mobile version