NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Disetujuinya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden dalam revisi KUHP telah mempertegas siapa sosok Joko Widodo. Begitu juga DPR, yang diketahui menyepakati pasal tersebut menunjukkan bahwa mereka lebih memilih untuk melindungi penguasa ketimbang masyarakat. Sebab, kritik terhadap pemerintah selama ini lebih banyak datang dari masyarakat ketimbang parlemen.
Pasal penghinaan ini menjadi kabar buruk bagi demokrasi di tanah air. Rakyat Indonesia tengah menghadapi para pemimpin yang tidak mau dikritik dan anti kritik, yang menjadi salah satu jalan untuk menuju kediktatoran.
RKUHP yang disetujui pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu besifat delik umum. Dengan kata lain, proses hukum bisa dilakukan tanpa harus terlebih dahulu adanya suatu pengaduan dari korban. Itu atas usulan pemerintah. Namun masih digodok DPR.
Diketahui, pasal penghinaan presiden diatur dalam Pasal 239 ayat (1) RKUHP yang menyebutkan bahwa setiap orang di muka umum menghina presiden dan wapres, dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun, atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Dan celakanya, tak hanya penghina presiden dan wapres, orang yang menyebarluaskan penghinaan juga dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun. Menkumham berkilah, presiden dan wapres adalah simbol negara.
Sejak pertama kali memimpin, Jokowi terus dihujani kritik tajam. Kritikan paling menohok datang dari seorang aktivis, Bambang Tri Mulyono, penulis buku Jokowi Undercover. Buku itu dituduh menghina presiden. Alhasil, Bambang Tri diringkus kepolisian dan dijebloskan ke penjara.
Buku Jokowi Undercover pun dilarang beredar. Dan dengan gagahnya, Kapolri menuding apa yang ditulis Bambang Tri adalah fitnah. Yang menarik, Jokowi sendiri tidak melaporkan buku tersebut kepada kepolisian. Namun, pihak yang melaporkan adalah Hendropriyono dan Michael Bimo Putranto. Dan sekadar mengingatkan bahwa judul buku Bambang Tri adalah Jokowi Undercover, bukan Hendro dan Bimo Undercover.
Kemudian, Polda Jawa Tengah melaporkan Bambang Tri ke Mabes Polri dengan tuduhan menghina presiden. Padahal, Jokowi diketahui tidak memberikan surat kuasa kepada Polda Jateng melainkan atas inisiatif sendiri untuk mengajukan laporan tindak pidana kepada Mabes Polri. Dalam pasal delik aduan, tidak diperbolehkan pihak yang bukan korban menjadi pelapor.
Dengan kata lain, disetujuinya pasal penghinaan presiden dalam revisi KUHP adalah sebuah upaya pemerintah dan DPR melegalkan tindakan penangkapan seseorang tanpa adanya pengaduan terlebih dahulu, agar kasus seperti penangkapan Bambang Tri diperbolehkan di masa mendatang.
Pasal penghinaan presiden dan wapres ini segera menuai polemik. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah misalnya, menyebut bahwa masih adanya pasal penghinaan presiden di RKUHP adalah bentuk kemunduran demokrasi.
Sebab, pasal penghinaan presiden dan wapres itu merupakan warisan jaman Belanda yang ditujukan untuk penghina pemimpin kolonial; Ratu Belanda dan Gubernur Jenderal. “Ini harus dihentikan, kemunduran yang luar biasa,” kata Fahri di Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Namum demikian, DPR masih menggodok RKUHP tersebut, terutama soal pasal delik antara delik aduan atau delik umum (biasa). Pemerintah mengusulkan delik umum. Artinya, pemerintah sejak awal memang menginginkan orang yang menghina presiden dan wapres bisa ditangkap tanpa harus adanya pengaduan terlebih dahulu. Inikah demokrasi ala pemerintahan Jokowi-JK? (red)
Editor: Gendon Wibisono