Soal Hukum, Indonesia Adopsi Kolonial

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi bertajuk "Tinjauan UU Pemilu 2017" dan "Dampak Perppu Ormas" di kantor DPP Partai Bulan Bintang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (21/8/2017). Foto Richard Andika/ NusantaraNews.co

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dalam diskusi bertajuk "Tinjauan UU Pemilu 2017" dan "Dampak Perppu Ormas" di kantor DPP Partai Bulan Bintang, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (21/8/2017). Foto Richard Andika/ NusantaraNews.co

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dilihat dari sudut sejarah ketatanegaraan, negara RI bukanlah penerus Majapahit, Sriwijaya atau lainnya, melainkan meneruskan “semi negara” Hindia Belanda. Hal ini disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara dan Guru Besar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra baru-baru ini.

Karena itu, menurut Yusril, aturan peralihan UUD 1945 (sblm amandemen) mengatakan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku sebelum diadakan yang baru menurut UUD ini.

Yang dimaksud peraturan yang ada dan langsung berlaku itu, kata dia, baik dalam konsepsi maupun dalam kenyataan,bukanlah badan negara dan peraturan zaman Majapahit, Sriwijaya atau warisan penguasa militer Jepang, melainkan badan dan peraturan yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Adapun mengenai penduduk Indonesia, peraturan yang ada dan lembaga yang mengurus/menanganinya yang berlaku dan dipahami orang sejak zaman Hindia Belanda adalah peraturan dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Indonesia (Hindia Belanda) dalam tiga golongan. Antara lain, kata Yuzril, Golongan Eropa, Golongan Timur Asing (terutama Tionghoa dan Arab) dan Golongan “Inlander” atau pribumi atau “orang Indonesia asli” yang pada umumnya beragama Islam dan sebagian menganut agama Hindu, Buddha dan lainnya.

Orang Inlander atau pribumi yang beragama Kristen status mereka sama dengan golongan Eropa. Dalam hal kelahiran dan perkawinan, golongan Eropa dan Inlander (Pribumi) Kristen mereka tunduk pada Hukum Eropa (Burgerlijk Wetboek) dan lembaga yg mengurusijya adalah Burgerlijk Stand (Catatan Sipil). Orang Tionghoa Kristen juga sama. Sementara bagi Inlander Muslim atau Hindu/Buddha tunduk pada hukum adat masing-masing dan tidak ada lembaga negara jajahan Hindia Belanda yang mengurusinya.

Status sosial, ekonomi dan hukum bagi ketiga golongan ini menurutnya berbeda. Tiga golongan ini dapat dikatakan seperti urutan dari atas ke bawah. Tempat tinggal mereka di mana-mana juga beda. “Kalau di Jakarta Golongan Eropah tinggal di Weltevreden (sekitar lap. banteng), Mester Cornelis (Jatinegara, Polonia), Sementara Gol Timur Asing Tionghoa mendominasi daerah Pecinan Glodok. Sedangkan Inlander ya tinggal di pinggiran, Krukut, Klender, Condet, Cengkareng dan sebagiainya,” ungkap Yusril dalam keterangannya yang diterima, Selasa (17/10/2017).

Yusril menambahkan, ekonomi ketiga golongan ini jelas, golongan Eropa paling makmur, gol Timur Asing lumayan kaya. Golongan Inlander atau pribumi adalah yang paling miskin di antara semua. Maka tak heran, jika golongan Inlander inilah yang ngotot ingin merdeka karena ketidakadilan dan diskriminasi yang mereka alami di zaman penjajahan.

“Dengan latar belakang sejarah ketatanegaraan itu, kita dapat memahami maksud kata-kata dalam draf UUD 45 yang pasal 6 ayat (1) mengatakan “Presiden Indonesia adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam,” sambungnya.

Kata “beragama Islam” dihapuskan pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi syarat jadi Presiden adalah “orang Indonesia asli” yakni “Inlander” atau pribumi dengan merujuk kepada Ps 163 IS, jadi bukan orang dari Gol Eropa dan bukan pula dari golongan Timur Asing.

Demikian pula pasal-pasal mengenai kewarganegaraan dalam draf pasal 26 yg mengatakan bahwa yang menjadi warganegara Indonesia adalah orang Indonesia asli dan orang-orang dari bangsa lain yang disahkan oleh UU menjadi warganegara.

“Aturan-aturan yang diskriminatif yang dibuat oleh pemerintah kolonial itulah yang menjadi latar belakang istilah “orang Indonesia asli” atau pribumi. Saya hanya mengingatkan kita semua agar jangan sekali kali melupakan sejarah,” tegasnya. (Gendon)

Editor: Romandhon

Exit mobile version