Sisi Lain Novel Perasaan Orang Banten
Oleh: Purwo Mawasdi, generasi milenial, alumni jurusan sastra dan bahasa Indonesia, Untirta Banten
Dalam novel Perasaan Orang Banten (POB), tergambar peristiwa-peristiwa
yang seakan tumpang-tindih, tetapi memiliki harmoni dan keterhubungan
antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sehaluan dengan iklim perpolitikan kita yang dinilai banyak kalangan sebagai “hangat-hangat tahi ayam”. Kalau suatu peristiwa berlangsung, masyarakat ribut dan tengkar bukan main. Hampir semuanya mengemukakan pendapat dari sumber pikiran yang berbeda-beda. Ketika esok tiba, topik pertengkaran tiba-tiba berganti dengan yang baru, hingga problem yang kemarin dibiarkan melayang dari ingatan, terbang bersama angin lalu.
Muncul pertanyaan sederhana, mengapa bangsa ini mudah terbakar sesaat? Ketika satu persoalan belum selesai diceritakan, sudah beralih pada
cerita yang lain. Inilah yang ditunjukkan oleh novel POB, seakan bangsa ini masih hidup dalam kebudayaan lisan, dan belum memasuki periode bangsa literer. Bangsa ini sekan masih mengandalkan epistimologi pengetahuannya, kesadarannya, dari mendengar hal-hal monoton, sampai pada hal-hal sepele yang memuakkan.
Budaya lisan yang tergambar pada penokohan POB tentu saja terbatas
ruang cakrawalanya, hanya mengenal dimensi ruang dan waktu sesaat.
Suatu sikap hidup yang menggantungkan diri pada kesadaran kolektif, bukan pada solidaritas umum yang bersifat universal. Perspektif
pandangan yang dangkal, seolah hanya mempersoalkan apa yang terindera
secara kasatmata. Orang-orang yang hidup secara komunal, namun merasa
kesulitan menemukan jarak dengan obyek-obyek inderawinya. Subyek mudah sekali menjadi obyek, sehingga ketika melihat satu peristiwa inderawi,
mereka tidak pernah sanggup menangkap substansinya. Mereka tidak mampu melihat ketarkaitan dari struktur peristiwa yang beraneka ragam, apalagi menghubungkan kausalitas dan hukum alam yang berlaku dari setiap peristiwa yang berlangsung.
Budaya lisan dari tokoh-tokoh yang banyak mengandalkan komunikasi di
kampung Jombang (mewakili perkampungan Indonesia), tidak mampu berpikir abstrak, hingga tergopoh-gopoh menangkap substansi dari satu peristiwa ke peristiwa lain yang dianggap tumpang-tindih tersebut. Penulisnya memang cakap menampilkan narasi-narasi dalam alur cerita yang seakan terpisah-pisah, meski pada dasarnya memiliki keterhubungan yang konkret, dan dalam struktur yang tetap. Pembaca yang sanggup menangkap substansi dari pola bercerita semacam ini, kemudian mampu menangkap hikmahnya, tentu tidak mudah terjebak ke dalam hasutan dan berita murahan (hoaks).
Mereka akan melihat dengan nalar dan akal sehatnya, bukan semata-mata
pandangan inderawinya. Mereka mampu mengambil jarak dengan segala sesuatu di luar dirinya. Segala peristiwa yang tergambar dalam novel tersebut, dapat dilihat secara obyektif apa adanya, bukan sebagaimana nampaknya. Karya sastra semacam ini mesti jelas diolah dari pikiran yang kritis, berbuat dan menggoreskan pena setelah matang betul pertimbangannya, karena ia
telah berhasil melihat perspektif dari segala kemungkinan.
Ironisnya, budaya lisan yang ditampilkan melalui tokoh-tokoh POB bukan hanya menghinggapi mereka yang kurang terpelajar, tetapi juga mereka yang sudah mencapai gelar pendidikan tinggi, baik yang terjun sebagai politisi, pengusaha hingga ke kalangan agamawan sekalipun. Orasi-orasi politik dari seorang jurkam (juru kampanye) menunjukkan kedangkalan
berpikir dari tipikal budaya lisan yang menyerambah di sekitar kita. Kita melihat juga bagaimana demo-demo kaum politikus dan aktivis partai, tak ubahnya seperti demo kaum gelandangan. Bagaimana baku
hantam terjadi di gardu ronda, warung kopi, hingga ke soal-soal sengketa rumah-tangga dan perbedaan pendapat tentang agama, pemihakan politik, ideologi dan tafsir akan kebenaran.
Hal-hal memalukan yang tergambar dalam POB sering terjadi di tengah
keseharian kita, seakan-akan mengembalikan kita ke zaman primitif, di mana budaya lisan kolektif masih hidup segar. Semua persoalan
diselesaikan dengan emosi partisipasi secara blak-blakan, tidak jarang
melalui jalan pintas kekerasan. Mereka mengandalkan akalnya hanya untuk membenarkan kepentingannya sendiri. Kesadaran mereka seakan hanya diisi oleh pendapat kolektif melalui siaran televisi, obrolan di gardu ronda, mengumbar gosip, fitnah, hingga menebar hoaks ke sana kemari. Semua persoalan sampingan yang remeh-temeh itu kemudian diangkat menjadi persoalan prinsipil. Tontonan favorit mereka, kalau bukan kasus kriminal tentu saja gosip dan celotehan kaum politisi dan selebriti.
Budaya lisan yang seakan abadi ini, menjadi tanggung jawab kita
bersama untuk membangkitkannya menjadi budaya literer. Bukan sekadar
budaya baca dalam pengertian formal, melainkan membaca yang benar,
substantif, hingga masyarakat berinisiatif mengolah bacaan serta
menulis dan menghasilkan bacaan yang baik. Di era tahun 1950-an –
menurut kesaksian sastrawan Jacob Sumardjo – hampir di setiap
kecamatan terdapat perpustakaan rakyat. Tetapi, ketika memasuki era
1970-an, di bawah kepemimpinan Soeharto (Orde Baru), perpustakaan-perpustakaan seakan lenyap, kemudian berganti dengan perpustakaan-perpustakaan swasta yang dijejali buku-buku komik dan novel-novel picisan. Gejala itulah yang mendorong manusia Indonesia seakan kembali terpelanting kepada budaya lisannya. Sebagaimana tokoh-tokoh dalam POB yang hidupnya hanya ingin memanjakan diri dengan imaji-imaji kenikmatan, kemudahan, dan kesenangan sesaat belaka.
Pembangunan manusia Indonesia berjalan secara tak seimbang, antara
pembangunan akal budi dengan materi yang bersifat inderawi. Bangsa ini
lebih bangga membangun mall-mall dan supermarket daripada gedung-gedung perpustakaan. Ironisnya, pemerintah Orde Baru beserta jajaran departemen yang membantunya, telah berdiri di baris belakang untuk menjauhi buku-buku bermutu. Mereka hanya membaca laporan-laporan resmi dari acara televisi, dan setiap menjelang tanggal 30 September, siaran-siaran politik yang bermuatan hoaks tentang G30S terus-menerus berulang hingga menjadi santapan rohani bangsa ini.
Dalam tulisan saya tentang analisis konflik yang dikemas dalam novel
ini, ditambah dengan ulasan pada penulis yang semakin marak di media
massa dan daring, kiranya tepat usulan yang saya kemukakan kepada
civitas akademika sejak tahun lalu, bahwa novel ini memang layak
menjadi rujukan para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang tengah
mempelajari materi-materi kesusastraan.
Tokoh-tokoh dalam novel POB menggambarkan suatu bangsa yang seringkali sibuk menghakimi pikiran dan perbedaan pendapat. Tetapi, apapun yang diperbuat oleh suatu bangsa, itulah cermin dari perilaku pemimpinnya. Mereka tidak pernah punya catatan, seakan tidak punya memori dan sejarah masa lalu. Begitu peristiwa hari ini muncul, peristiwa kemarin seakan hilang terbawa angin.
Itulah bangsa yang suka omong dan gemar retorika politis. Kisah-kisah
tumpang-tindih, seakan bertebaran tanpa plot dan alur cerita. Tetapi,
melalui novel Perasaan Orang Banten, segalanya telah dikemas dengan
apik dan menarik, hingga terstruktur menjadi penceritaan alternatif
yang pantas diperhitungkan dalam khazanah sastra mutakhir Indonesia.