Seniman Sinting

Seniman Sinting
Seniman Sinting
 Ah, dia lagi? Menyebalkan! Untuk ketiga kalinya saya duduk bersebelahan dengan laki-laki brengsek itu, dalam perjalanan kereta menuju Kota Rangkasbitung, Banten.
Oleh: Irawaty Nusa

 

Ia selalu saja naik dari stasiun Karangantu, sambil menggendong tas rangsel di pundaknya, lalu menaruhnya di atas bagasi kereta. Saya sudah naik duluan sejak stasiun Cilegon untuk suatu keperluan menjenguk ibu yang sudah sepuh, dan tinggal di daerah Karang Asem, Kota Cilegon.

Kambali laki-laki itu mengaku sebagai seniman, dan akan pulang ke rumahnya setelah seminggu bekerja dan menginap di tempat kontrakannya di daerah Karangantu, kabupaten Serang. Konon, ia harus pulang seminggu sekali, menemui keluarganya di kampung, dan katanya lagi, ia sanggup membaca pikiran orang lain.

Saya kadang melihatnya begitu kesal dan jengkel, sehubungan dengan pengakuannya itu. Dan rasa kesal itu meningkat pada sesuatu yang menyebalkan manakala beberapa kali ia telah membuktikan kebenarannya.

Dan Anda bisa membuktikan sendiri kali ini, ketika saya memanggil seorang petugas. Sebelum saya mengucapkan satu-dua patah kata, tiba-tiba dia mendahului saya, lalu bicara pada petugas yang mendekat itu: “Pak, tolong ambilkan gelas plastik yang ada gambar keretanya, soalnya anak saya suka sekali dengan gelas yang ada gambar keretanya. Kalau saya pulang nggak membawa gelas itu, dia akan nangis menjerit-jerit.”

Bayangkan, dua kalimat yang mengandung 31 kata itulah yang mau saya ucapkan dari mulut, kenapa saya sampai memanggil petugas itu.

Tak berapa lama, petugas itu datang dan membawakan gelas plastik bergambar kereta itu, lalu katanya, “Gelas keretanya sudah habis, Pak, tinggal satu ini.”

“Oo ya, nggak apa-apa. Apakah perlu saya beli, berapa harganya?”

“Tak usah, Pak, itu cuma satu-satunya, salam saja pada anak Bapak.”

Seniman itu tersenyum sumringah, dan petugas itu pun balas menyunggingkan senyumnya. Kemudian, dia berdiri dan menaruh gelas kereta itu pada bagasi, mungkin bersebelahan dengan ransel miliknya.

Tinggal saya yang melongo terbengong-bengong. Dan ketika petugas itu melengos ke arah saya, lalu bertanya, “Apa yang perlu saya bantu, Bu?”

“Oo, nggak ada, Pak,” kata saya beralasan. “Saya cuma memanggil petugas untuk keperluan si Bapak itu.”

Tak lama kemudian, saya kebelet ingin pipis. Belum sempat saya bangkit dan beranjak menuju toilet, tiba-tiba seniman sableng itu memanggil petugas lainnya, dan menanyakan toilet di sebelah mana? Kontan dia melangkah cepat-cepat menuju toilet, dan entah apa yang dilakukannya di dalam sana, apakah dia benar-benar pipis, berak, muntah atau apalah. Sebodo amat.

Kadang saya berpikir, kok ada manusia yang sebegitu pintarnya membaca pikiran orang lain. Pada minggu lalu, juga di kereta yang sama, seniman itu tiba-tiba menelpon istrinya di sebelah saya, “Halo, Mah, saya sedang di kereta nih, sebentar lagi sampai, apakah mau dibelikan roti ‘O’ di stasiun nanti?”

Nah, coba apa yang kalian pikirkan. Sebenarnya kata-kata itu milik saya yang saat itu mau menelpon suami saya di rumah. Karena dia suka sekali makan roti ‘O’ yang biasa dijual di toko roti di tiap-tiap stasiun kereta.

Lagi-lagi, saya terbengong-bengong. Bagaimana dia bisa mencuri 18 kata yang ada di pikiran saya. Hanya tinggal menganti satu kata ‘Mah’ dengan kata ‘Pah’. Itu saja. Aneh, kan?

Dalam perjalanan kali ini, seniman brengsek itu berulah lagi dengan ponsel di tangannya, sambil melirik sekejap pada mata saya.

“Apa, lihat-lihat?” kata saya menantang.

“Oo maaf, Mbak, saya hanya melihat ke arah jendela,” jawabnya serius. Sepertinya, ia kurang memiliki selera humor. Nampak jelas pada raut mukanya yang agak tegang dan memerah. Semoga saja dia tidak seperti seniman-seniman zaman Orde Baru yang konon rendah sekali kualitas humornya.

Ketika kereta sampai di stasiun Catang, tiba-tiba ponselnya bordering, dan dia pun mengangkatnya: “Ya, ya… sudah, sudah… tenang saja… sudah Papa belikan, harganya mahal sekali, Nak. Pokoknya beres… tenang saja… jangan nakal lagi, ya….”

Sesampainya di satasiun Jambu Baru, saya menyempatkan diri berbasa-basi dengannya, apakah tadi suara anaknya? Dijawab singkat, ‘ya’. Beberapa pertanyaan lagi saya ajukan: apakah Bapak dan istri sama-sama orang Rangkasbitung? Berbahasa Sunda? Masih ada garis keturunan dari leluhur Baduy? Baduy Luar atau Baduy Dalem? Bagaimana kehidupan sehari-hari orang Baduy? Bagaimana dengan kepercayaan mistik dan ajaran agamanya?

Untuk menjawab pertanyaan terakhir itu, dia terlihat gerogi dan serba-salah. Mukanya merah padam. Sepertinya, ia keberatan dengan pengajuan pertanyaan yang lebih mendetil perihal keparcayaan dan agamanya. Dan saya pun undur-diri menyudahi perbincangan dengannya. Sebodo amat.

Ketika saya memencet beberapa nomor di ponsel, tiba-tiba dia juga memencet nomor ponselnya, dan segera menghubungi istrinya. Saya pun akhirnya membatalkan menghubungi suami untuk menyatakan bahwa saya sudah mendekati stasiun Rangkasbitung, apakah mau menjemput ataukah sedang sibuk.

Seketika itu, saya segera memutuskan untuk diam seribu basa. Saya biarkan dia ngomong ngalor-ngidul bersama istrinya, seolah-olah mengatakan segala hal yang mau saya katakan pada suami saya di rumah. Dengan raut mukanya yang datar dan serius, ia bicara laiknya burung beo mengucapkan kata-kata di negeri antah barantah. Bagi saya, bolehlah dia punya kelebihan yang sulit dijamah oleh akal sehat, tetapi juga saya yakin, bahwa setiap manusia pasti punya kekurangan dan kelemahan.

Ponsel saya tiba-tiba berdering. Suami saya menanyakan sudah sampai mana? Lalu, saya pun menjawab bahwa saat ini sedang memasuki sebuah lubang hitam yang tak kasatmata, seperti memasuki lorong waktu yang akan mengeluarkan saya di negeri baru yang gerah dan pengap diselubungi gas-gas rumah kaca yang membuat terik matahari terperangkap di atas atmosfir, hingga tak sanggup memantulkan panasnya ke angkasa raya.

Saya pun segera menutup ponsel, memperhatikan perkataan seniman edan itu kepada istrinya, apakah sanggup menirukan tiap kata yang telah saya ucapkan kepada suami saya, persis sama dengan apa yang diucapkannya pada istrinya yang berasal dari tanah Baduy itu?

Tak berapa lama, kereta pun sampai di tempat tujuan. Seniman itu masih saja nyerocos menelpon istrinya, hingga saya pun menggebrak kaca jendela dan mengabarkan bahwa seluruh penumpang sudah pada turun. “Apakah kamu mau turun atau mau balik lagi ke stasiun Karangantu?” tanya saya sambil melotot.

Dia terkesiap kaget. Segeralah ia matikan ponselnya, menengok kanan-kiri, kemudian bangkit mengambil ranselnya dari bagasi, lalu mengenakannya di punggung. Ia pun melangkah cepat-cepat keluar pintu gerbong kereta.

Ada sesuatu yang masih tertinggal di atas bagasi, di sebelah ransel yang telah digendongnya tadi. Saya sudah menduga sebelumnya, seniman itu akan lupa membawanya pulang. Tetapi, saya memutuskan untuk diam saja, tak berkata apa-apa. Maka, saya pun membuka penutup bagasi itu, dan memasukkan gelas kereta itu ke dalam tas saya.

Di stasiun Rangkasbitung, suami saya sudah menunggu di depan pintu gerbang stasiun. Rupanya dia membawa serta anak kami, Anisa, yang kontan berlarian di sepanjang stasiun dan memeluk saya erat-erat.

“Bagaimana, Mah, apakah Mama sudah belikan gelas keretanya?”

“Ya, ya… sudah, sudah… tenang saja… sudah Mama belikan, harganya mahal sekali, Nak. Pokoknya beres… tenang saja… jangan nakal lagi, ya….”  (*)

Penulis: Irawaty Nusa, Cerpenis dan peneliti program historical memory Indonesia
Exit mobile version