Semangat Persaudaraan dalam Pilpres 2019

Sandiaga Uno Cium Tangan Kiai Ma'ruf Amin Seusai Debat Capres Cawapres 2019 pada Kamis, 17 Januari 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta (Foto ANTARA/Sigid Kurniawa)
Sandiaga Uno Cium Tangan Kiai Ma’ruf Amin Seusai Debat Capres Cawapres 2019 pada Kamis, 17 Januari 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta (Foto ANTARA/Sigid Kurniawa)

Semangat persaudaraan dalam Pilpres 2019. Pemilihan Presiden yang akan diselenggarakan pada tanggal 17 April 2019 yang akan datang sungguh unik dan fenomenal. Ada banyak catatan sejarah yang akan dituliskan dalam Pilpres 2019 ini. Sang Petahana Presiden Jokowi, menjalankan strategi dan taktik dengan memilih pasangan calon Wakil Presiden KH Mar’ruf Amin, figur senior dari kalangan Ulama Islam.

Logika sederhananya untuk meredam isu politisasi agama Islam yang sempat menggelinding kencang dalam Pilgub DKI lalu. Pesan lain yang ingin disampaikan, Presiden Jokowi memilih selalu dekat dengan rakyat mayoritas serta para Ulama Islam.

Sungguh unik dan tidak terduga sama sekali, ternyata Prabowo Subianto sebagai kompetitor tunggal Jokowi akhirnya memilih Sandiaga Uno, sosok pengusaha nasionalis yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sebagai Cawapresnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah sistim politik multi partai, pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden berasal dari Partai Politik yang sama.

Padahal gerakan arus bawah yang dibangun para pendukungnya berharap Prabowo Subianto akan memilih Ulama Islam sebagai Cawapresnya.

Realitas politik bersejarah ini patut diapresiasi oleh seluruh bangsa Indonesia. Sangat rasional dan bisa dipahami, jika Jokowi memilih Ulama Islam yang jadi Cawapresnya karena ‘kalkulasi politik’ dan ‘realitas pilihan’ yang tersedia memang hanya itu adanya. Langkah bijaksana Prabowo Subianto yang akhirnya memutuskan untuk tidak memilih Ulama Islam sebagai Cawapresnya, membawa bangsa Indonesia untuk tidak terjebak dalam arus politisasi agama.

Tidak bisa dibayangkan kemunduran (set back) bagi bangsa Indonesia dan risiko perpecahan yang mungkin terjadi, jika terus mengedepankan agama sebagai basis utama politik dan sistim demokrasi kita.

Kontestasi Pilpres 2019 ini juga akan dicatat sejarah sebagai ajang pertarungan kedua dan yang terakhir bagi Prabowo Subianto dan tentunya bagi Jokowi sebagai petahana. Kedua Capres ini sesungguhnya memiliki hubungan persahabatan dan sejarah yang panjang. Prabowo Subianto adalah salah seorang tokoh utama pendukung Jokowi saat memenangkan Pilgub DKI 2012 lalu.

Jika saat ini kesan diantara keduanya terlihat bertarung sangat sengit, tapi sesungguhnya keduanya tetap menjalin persahabatan dan hubungan silaturahmi yang sangat baik.

Realitas ini yang perlu dan wajib disadari oleh kedua kubu pendukung militan Jokowi dan Prabowo Subianto. Jokowi dan Prabowo adalah para negarawan sejati, yang pasti selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, apalagi kepentingan partai politik.

Budaya dan karakter asli bangsa Indonesia cinta damai dan juga terkenal dengan keguyubannya. Azas kekeluargaan dan semangat persatuan bangsa merupakan warisan dari nenek moyang asli bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan pernah melupakan sejarah. Sekian abad kita pernah dijajah, karena bisa dipecah-belah dan diadu-domba. Kontestasi dalam Pilpres 2019 ini hanyalah untuk memilih pemimpin nasional kita. Tujuannya semata-mata untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional kita.

Kepercayaan dan ketaatan kita pada kekuasaan Tuhan Sang Pencipta, mengingatkan kita bahwa pemimpin tertinggi suatu bangsa merupakan takdir dan pilihan Tuhan Yang Maha Kuasa. Tegas dan jelas dinyatakan dalam Kitab Suci semua agama yang bersandar pada Tuhan Sang Pencipta. Bagi umat Islam, juga tegas dan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Penguasa atau Ulil Amri itu adalah amanah yang diberikan Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Tidak ada satupun manusia, siapapun dia, yang bisa mengatur apalagi melawan kehendak-Nya. Tuhan Yang Maha Kuasa memiliki rahasia-Nya sendiri, kepada siapa dan dengan alasan apa, diberikan amanah kekuasaan menjadi pemimpin tertinggi suatu bangsa.

Jokowi-KH Ma’ruf Amin Paling Berpeluang Memenangkan Pilpres 17 April 2019

Sejujurnya tidak mudah bagi Saya untuk menentukan pilihan dan dukungan dalam Pilpres 2019 ini. Saya memiliki sejarah panjang dengan Presiden Jokowi, karena sudah mendukung dan membantu Jokowi sejak Pilgub DKI tahun 2012 dulu, hingga membantunya memenangkan Pilpres 2014 lalu. Ketika Prabowo Subianto akhirnya bulat memutuskan sahabat baik saya Sandiaga Uno sebagai Cawapresnya, semakin dilematis pilihan bagi saya dalam Pilpres 2019 ini.

Beberapa orang sahabat yang sangat dekat dan para tokoh senior pendukung utama Presiden Jokowi, mengingatkan dan meminta saya untuk tetap mendukung Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019 ini. Sungguh tidak mudah untuk menolak harapan dan permintaan mereka, karena hubungan emosional dan sejarah yang panjang di antara kami pada masa lalu.

Ternyata perjalanan kehidupan mengantarkan saya untuk akhirnya utuh dan bulat mendukung secara total Presiden Jokowi untuk periode kedua memimpin kembali bangsa Indonesia. Saya menyampaikan permohonan maaf pada Sahabat baik saya Sandiaga Uno, karena tidak jadi mendukungnya dalam kontestasi Pilpres 2019 ini. Kami berdua bersepakat untuk tetap menjaga tali silaturahmi dan persaudaraan (brotherhood) hingga kapanpun.

Semangat persaudaraan dan persatuan seperti ini, juga wajib diwujudkan oleh seluruh pendukung Jokowi-KH Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pasangan calon Presiden nomor 01 dan 02. Karena kita semua bersaudara sebangsa dan setanah air, yang sudah memilih kontestasi Pilpres sebagai sarana dan wahana sistim demokrasi, sebagai cara untuk membentuk pemerintahan Kita.

Sebagai petahana, pasangan dengan nomor urut 01, pasangan Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, secara otomatis mendapat keuntungan karena memiliki infrastruktur pendukung yang lengkap termasuk seluruh sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Seluruh prestasi dan pencapaian selama lima tahun pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, secara otomatis tentunya bisa dipromosikan sebagai rekam jejak keberhasilan dan bukti pengalaman Joko Widodo sebagai pemimpin bangsa.

Presiden Jokowi cukup diuntungkan dengan situasi perekonomian global, termasuk harga minyak dunia yang sedang berada pada titik terendah, serta kurs US Dollar yang mulai jinak dan bisa dikendalikan. Presiden Jokowi juga sangat diuntungkan karena bisa menjual keberhasilan pembangunan infrastruktur dan berbagai program kerakyatan seperti dana bantuan desa, dana bantuan kesehatan, dana bantuan pendidikan, dan sedemikian banyak program pembangunan dan program bantuan lainnya.

Yang juga menjadi kekuatan utama bagi Presiden Jokowi adalah karena isu korupsi apalagi penyalahgunaan kekuasaan sangat jauh dari citra dirinya. Sungguh tidak mudah bagi sang penantang untuk bisa mengalahkan sang petahana, jika di benak publik tidak ada kelemahan yang nyata serta tidak ada skandal yang menderanya.

Merupakan persepsi yang salah juga, jika ada yang menganalogikan apalagi menyamakan Pilpres di Indonesia, kontestasi antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, dengan Pilpres di Amerika, kontestasi antara Donald Trump dengan Hillary Clinton pada tahun 2016 lalu. Harus selalu diingat bahwa Trump bisa menjadi Presiden Amerika karena memenangkan kontestasi ‘electoral votes‘, bukan karena memenangkan kontestasi ‘popular votes‘.

Jika mengikuti sistem demokrasi di Indonesia, maka yang seharusnya terpilih dan dilantik menjadi Presiden Amerika adalah Hillary Clinton. Sistim demokrasi, Pemilu dan Pilpres di Amerika memiliki keunikan sendiri, karena yang terpilih dan dilantik menjadi Presiden adalah yang memenangkan ‘electoral votes‘, walau sebesar apapun selisih suara dengan lawan politik yang memenangkan ‘popular votes‘.

Sedangkan di Indonesia serta hampir semua negara di dunia, diterapkan sistim demokrasi di mana yang terpilih menjadi Presiden adalah yang memenangkan ‘popular votes‘. Sistem demokrasi seperti di Indonesia ini yang sering dikenal dengan ‘Suara Rakyat, Suara Tuhan’.

Situasi dan kondisi, budaya dan karakter bangsa Indonesia juga sangat berbeda jauh dengan di Amerika. Jika pun diberdayakan dan dimanfaatkan semua konsultan politik atau siapapun yang telah membantu pemenangan Donald Trump jadi Presiden Amerika dalam Pilpres 2016 lalu, maka bisa dipastikan mereka tidak akan bisa berbuat banyak di Indonesia.

Seperti kata pepatah, lain lubuk, lain ikannya. Amerika adalah Amerika, Indonesia adalah Indonesia. Indonesia memang memiliki banyak kesamaan dengan Amerika, tapi bangsa Indonesia juga memiliki banyak ketidaksamaan dengan bangsa Amerika.

Insyaallah, jika kelak sekitar 2 bulan yang akan datang pada tanggal 17 April 2019, mayoritas rakyat Indonesia memberikan kepercayaan kepada pasangan nomor 01 Jokowi-KH Ma’ruf Amin untuk memimpin Indonesia, sudah pasti itu bukan karena pasangan nomor 02 Prabowo-Sandiaga Uno lebih buruk dari pasangan nomor 01 Jokowi-KH Ma’ruf Amin.

Semua ini tentunya hanya karena kebetulan pasangan nomor 01 yakni Jokowi-KH Ma’ruf Amin yang mendapat amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemikiran ini juga sama sekali tidak untuk mendahului takdir dan kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena bisa saja yang terjadi sebaliknya. Namun suka atau tidak suka, inilah pemikiran dan prediksi saya yang jujur dan apa adanya.

Oleh : Johan O Silalahi, Pendiri Negarawan Indonesia

Exit mobile version