Sebuah Cerpen: Jangan Gusur Makam Ayahku

sebuah cerpen, makam ayahku, jangan gusur, bagus sulistio, nusantaranews, kumpulan cerpen, cerpenis, cerpen indonesia
Sebuah Cerpen: Jangan Gusur Makam Ayahku. (Foto: Ilustrasi batu nisan kuburan/BSY)

Sebuah Cerpen: Jangan Gusur Makam Ayahku
Oleh: Bagus Sulistio

Suara buldoser di samping rumah terdengar oleh Paijo. Hendak melewati kebun belakang rumahnya.

Paijo keluar dari rumah dengan arit di tangannya. Ia menghadang boldoser itu. Seketika kendaraan tersebut berhenti. Supir turun dari angkutannya yang besar. Kemudian terjadilah perdebatan diantara keduanya.

“Kamu gak iso main gusur kebonku sembarangan. Gak bakal ada yang oleh gusur kebon Iki,” bentak Paijo.

Lelah mendengarkan ocehan Kakek tua itu, si supir pergi meninggalkannya dengan muka yang masam. Ia pergi menuju buldosernya. Paijo tersenyum sinis tatkala buldoser itu hendak pergi. Namun setelah buldoser itu jauh, menetaslah air matanya. Dengan langkah layaknya orang tua, ia jalan menuju tengah kebun. Ditemukannya sebuah gundukan tanah dengan sepasang batu diujung gundukan. Setelah ia melihat itu, Paijo menangis menjadi-jadi.

Baca juga: Orang-orang Tanpa Tangan, Sebuah Cerpen

Belum tuntas air mata Paijo, datang seorang pria berjas dan berdasi. Ia ditemani oleh dua orang bermuka sangar. Pria berjas bertanya ke Paijo, tentang apa yang ia lakukan. Tetapi Paijo hanya nenggok dan melotot kearah pria tersebut. Bukannya takut, Kardi malah menertawai Paijo, ia heran dengan tingkah Kakek itu. Tak terima diejek, Paijo mengusirnya.

“Pergi! Aku nggak mau liat orang kaya kalian-kalian pada!”

Mereka tak mengangkat kakinya. Kardi mencoba berdiskusi tentang pengusuran ini. Ia berjanji akan memberikan tempat tinggal yang layak, jika Paijo menuruti kemauannya. Tapi Paijo kekeh ingin tetap tinggal disini. Meskipun pabrik semen itu didirikan, Ia tetap menjaga bapaknya serta peninggalannya. Bagi Paijo ini bukan masalah tentang harga tanah, ini adalah harga sebuah kenangan yang tak ternilai. Sebuah harga memuliakan orangtuanya.

Kardi mengambil telfon genggamnya. Kemudian menelfon seseorang. Baru dua menit. Datang dari belakangnya seseorang membawa koper besar. Ia berikan kepada pria itu. Kardi mencoba bernegosiasi kembali dengan Paijo. Tetapi saat ini, ia langsung membuktikan apa yang dikatakan. Bos semen itu membuka kopernya. Terlihat uang ratusan ribu berjajar dengan rapi. Siapa yang tak tergoda dengan uang itu. Tapi Paijo berusaha menahan nafsunya. Kardi memberikan waktu tuk menentukan nasib kebun tersebut. Ia akan kembali lagi di Minggu depan.

***

Matahari berada tepat di atas kepala Paijo. Walaupun panasnya membakar kulit Kakek itu, ia tak bersantai-santai. Dicabut rumput-rumput liar yang tumbuh di kebun dan makam bapaknya. Kemudian ia sapu daun-daun yang berjauhan. Paijo sangat menikmati pekerjaan ini. Ia sangat menyukai kebunnya yang bersih. Sangat disayangkan jika kebun serindang ini harus diganti dengan bangunan, truk, dan semen-semen.

Setelah selesai, Paijo duduk di dekat makam bapaknya. Ia menceritakan keluh kesahnya. Saat air matanya hampir menetes, datang pria berjas dengan koper ditangannya. Tentu dengan dengan ajudannya yang kemarin. Sebelum membuka pembicaraan, Kardi tersenyum sinis kepada Paijo.

“Mau apa kalian ke sini??!!” sambil menghapus air yang mengganjal matanya.

Kardi malah tertawa mendengar perkataan Paijo. Setelah puas mengejek dengan menertawakannya. Kardi melempar kopernya ke hadapan Paijo. Koper itu mengenai dadanya yang kurus kering. Tak terima dengan perlakuan Kardi, ia mengambil salah satu batu di ujung makam bapaknya. Kemudian dilemparkannya ke Kardi.

Daaakk..

Batu tersebut mengenai kepala Kardi. Ia mengaduh kesakitan. Dipegang kepalanya, ternyata ia lihat tangannya berlumuran darah. Dia menjerit. Kemudian menyuruh ajudannya menghajar Paijo. Seperti budak diperintahkan tuannya. Si gondrong dan botak bersiap menghajar Paijo. Paijo membungkuk, kedua tangannya menutupi kepala sendiri sambil meminta ampun. Tetapi sesuruhan Kardi tak mendengar permintaan ampun Paijo. Si botak malah menarik baju Paijo. Dan..

Bukk..

Botak melayangkan tinjunya ke pelipis Paijo. Paijo terjungkal ke tanah. Belum sempat berdiri, tendangan dari si gondrong ditujukan ke perut Paijo. Tak cukup memukul, botak ikut menendang Paijo. Kebrutalan kedua bawahan Kardi tak bisa dipungkiri lagi. Pukulan dan tendangan menghajar tubuh Paijo. Hingga Paijo tak dapat bergerak lagi.

Kardi memerintahkan keduanya untuk menghentikannya. Ia mencoba mengecek nafas Paijo. Nafasnya tak keluar, denyut nadinya tak bergetar lagi. Kardi pucat. Ia langsung pergi bersama ajudannya. Meninggalkan jasad Paijo itu.

 

 

Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Arab dan bergiat di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Karyanya terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen di antaranya Indah Pada Waktunya (Jejak Publisher,2018), Ya Allah Izinkan Kami Menjadi Birrul Walidain (Event 7 Pejuang Antologi, 2018) dan Retorik (Ellunar Publisher,2019). Dan tersiar pada media Negeri Kertas, Kabar Madura dan Solopos.

Exit mobile version