Sajak-Sajak Anam Mustofa

Sajak-Sajak Anam Mustofa
Sajak-Sajak Anam Mustofa
Setapak Jalan

 

Angin menyalami tubuh kita

Rerumputan basah membasuh tapak kaki

Kaum Petani

Diatas tanah, butir-butir air ikhlas jatuh

Tulus mengalir.

Langit biru muda siang itu

Mengundang alur angin menghantar senyum

Untuk ladang sawah.

Kini engkau berpidato

Tentang Negeri yang pernah kita dambakan.

Sesuatu yang engkau makan,

Tak perlu konsolidasi kebohongan.

Sesuatu yang kau minum,

Tak perlu persekusi kebenaran.

Kedaulatan hanya asap sisa pembakaran

Yang raib entah kemana.

Garis senyum di pipimu

Ingin ku rasi: melayar ke sejahteraan.

Jamasih, 2018

 

 

Sudut Kamar

 

Gerimis malam itu

Kaki-kaki hujan mengetuk jendela

Suaranya lembut memeluk telinga

Dingin di luar masuk ke dalam kamar

Aku sendiri di kota tanpa nama

Mungkin doa-doa sudah banyak dilangitkan

Oleh bibir ibu, kenangannya membekas dipipi.

Garis kulit diam memaknai angin,

Engkaukah yang datang dari utara bekas kota kelahiran

Menghantar kabar.

Mata kosong takdim memandangi tanah

Menafsiri gerimis: lembut mencium tanah.

Engkaukah yang jatuh pelan-pelan membawa kenangan.

Aku sendiri di kota tanpa nama

Isi perut dan kepala: dalam usaha.

Purwokerto, 2019

 

 

Rumah Malam

 

Bermandikan gelap, dirangkul bintang gemintang

Cahaya bulan samar menusuk genting

Kesepian bertengger di ruang tamu

Ingin ku jamu malam bersama dikau

Berbincang dunia yang lengang tentang

Seonggok daging yang tidak pernah tahu apa-apa,

Manusia yang lahir tanpa memilih,

Seorang yang hidup penuh tanda tanya.

Di dalam rumah

Dapur lama menjelma sepi

Sekawanan sawang malang melintang

Bumbu-bumbu masak dijarah waktu.

Bila fajar datang, angin menyelinap ke sela-sela jendela

Engkau ramah memanggil

Malam oh malam

Kenangan yang menggigil

Dukuhtengah, 2019

 

 

Sebungkus Sunyi

 

Malam itu

Bulan datang dengan menggigil,

Kemerdekaan yang telanjang

Hanya mengingat aspal yang mencium butir hujan,

Malam itu

Kegelapan menjarah waktu

Rumah oh rumah’, dimana hatimu yang megah

Mataku lunglai meraba nyamanmu

Malam itu

Sejahtera telah kuyup

Sudah saya gantung bersama kalender

Menanti-nanti hari besar mu.

Brebes, 2020.

 

 

Di Sebuah Desa

 

Katakanlah terpencil, wajahnya mendalam menutup seluruh isi keindahannya.

Mata pencahariannya ialah bersyukur, merasa puas, bagi hasil dengan semesta.

Bila hujan turun

Suaranya begitu lembut menendang-nendang atap rerumahan.

Hujan begitu pemalu bila ingin badai ditengah perhelatan dusun itu.

Orangnya terbuat dari sabar, pekerjaannya merakit ramah,

Tamu yang datang pun dapat melepas pakaian resah.

Disebuah desa.

Malam hari, kesunyian selalu bertamu.

Suara burung hantu, dan hewan-hewan malam bersimfoni

Tidurnya terbuat dari puas

Mengolah lahan, memeras keringat

Untuk dimakan dan diminum.

Orang-oranngnya tidak tumbuh dengan banyak slogan.

Visinya merasa cukup

Misinya mengambil seperlunya dari alam.

Disebuah desa,

Kemajuan tumbuh begitu asing

Meski asing tetap dipaksa tumbuh.

Di sebuah desa,

Aku dan kau saling bertanya.

Apa itu modernitas?.

Disebuah desa,

Aku dan kau seharusnya saling menjawab.

Modernitas bukan digusur atau menggusur.

Brebes, 2020.

 

 

Lampu-lampu di Atas Sawah

 

Di kota mu.

Kemakmuran di jual berapa?

Bila musim bawang, lampu-lampu itu menjaga malam

Bersaing dengan cahaya bulan.

Lampu-lampu itu tumbuh menjalar

Menyikut kegelapan.

Brebes, 2021.

 

 

Tubuh Bulan

 

Bulan semalam telah nyenyak

Tertidur diatas tumpukan gelap, lelap jauh menyumur ke mimpi

Lekuk tubuhnya berloncatan riang, menginjak-injak kesunyian.

Bulan semalam mengabdi suntuk

Menyangga tubuhnya, lamun yang kian menebal

Cahayanya saling menyilang, menabrak pori-pori kegelapan.

Bulan semalam telah wafat

Dimandikan aliran nestapa, dibungkus kalimat berpintal-pintal

Dihantarkan ke pemakaman pasrah.

Tanah dan kembang-kembang menjelma serpihan doa

“Tenang lah, kau terkenang”

Brebes, 2021.

 

Karya: Anam Mustofa, manusia biasa kelahiran: Brebes,
Exit mobile version